tirto.id - Militer kembali berkuasa di Sudan, negara di kawasan Afrika Utara yang berbatasan langsung dengan Mesir. Peristiwa terbaru ini bak sejarah yang terus berulang sejak puluhan tahun lalu.
Sejak 2019 Sudan berada di bawah kendali Sovereign Council, badan kerja sama sipil dan tentara. Dalam badan transisi ini Jenderal Abdul Fattah al-Burhan memimpin untuk mengawasi kinerja kabinet sipil Perdana Menteri Abdalla Hamdok.
Kemesraan sipil-militer ini tidak bertahan lama. Akhir Oktober lalu, PM Hamdok dan jajarannya ditahan seiring Burhan mengambil alih pemerintahan.
Namun rakyat Sudan lebih sudi dipimpin oleh figur sipil. Ini terbukti dari ribuan demonstran yang menyemut di ibu kota Khartoum dan kota terbesar Omdurman untuk memprotes kudeta militer. Selain digerakkan oleh organisasi prodemokrasi, ajakan turun ke jalan berasal dari partai-partai lama Sudan, partai islamis moderat Umma, dan Partai Komunis—yang juga menyerukan mogok kerja.
Dikatakan sejarah yang berulang sebab sejak merdeka dari Inggris dan Mesir 65 tahun yang lalu militer memang sudah berkali-kali duduk di tampuk kekuasaan. Dan selama itu pula mahasiswa, buruh, dan organisasi politik terus berusaha menggoyang kemapanan para pemegang senjata. Selain pada 2019 yang menghasilkan masa transisi, gerakan prodemokrasi besar juga terjadi pada 1964 dan 1985.
Konflik Bersaudara Warisan Kolonial
Gerakan prodemokrasi 1964 dan 1985 terkait erat dengan perang saudara antara pusat yang ada di utara dan Sudan selatan pada 1955-1972 dan 1983-2005. Akar konflik keduanya bisa ditelusuri sejak era pemerintahan kolonial. Selama lebih dari setengah abad, Inggris dan Mesir—yang berada di bawah kontrol politik dan militer Inggris—menguasai Sudan. Duet penjajah ini disebut Anglo-Egypt Condominium.
Dosen sejarah di Loyola University Chicago Kim Searcy dalam artikel di ORIGINS: Current Events in Historical Perspective menjelaskan bahwa Inggris-Mesir tidak menjajah Sudan sebagai satu kesatuan, melainkan dipecah dua—disebut kebijakan “divide-and-rule”. Maksudnya, memisahkan orang-orang yang beragama Islam dan berbicara bahasa Arab di daerah utara dengan masyarakat multikultural dengan etnis, agama, dan bahasa suku yang beragam di selatan.
Di utara, arabisasi dan islamisasi dilanggengkan melalui berbagai cara seperti membiayai pembangunan masjid atau ibadah haji. Penjajah juga memodernisasi institusi ekonomi dan politik. Otoritas kolonial juga mengembangkan layanan kesehatan dan pendidikan dengan mendirikan sekolah swasta, sekolah dengan kurikulum Mesir yang berorientasi Inggris, dan sekolah-sekolah lain yang menggunakan bahasa pengantar Arab dan Inggris.
Mereka tak melakukan itu semua di selatan. Di mata pemerintah kolonial, orang-orang selatan belum siap menyambut dunia modern seperti di utara. Wilayah pinggiran Sudan lain di daerah barat (seperti Darfur) dan timur juga termarginalkan.
Pada akhirnya, “divide-and-rule” melahirkan ketimpangan sosio-ekonomi yang besar antara Sudan utara dan kawasan lain.
Kolonialisme Inggris juga menjadikan suku-suku di utara, yang mendiami pinggiran Sungai Nil, sebagai pemimpin untuk seluruh negeri. Mereka termasuk grup-grup Shaigiyya, Jailiyyin, dan Dongola—yang sampai hari ini masih punya pengaruh kuat. Sebagai contoh, diktator Omar al-Bashir yang lengser tiga tahun silam berasal dari kelompok Jailiyyin.
Dengan membekali utara kemajuan, kekuasaan, dan otoritas, tulis Searcy, Inggris sudah “menciptakan hierarki sosial di Sudan yang menimbulkan ketidakpercayaan, ketakutan, dan konflik di kalangan masyarakat Sudan yang beragam.”
Sudan di Bawah Jenderal Pertama (1958-1964)
Sudan dihadapkan pada percobaan besar pertama sebelum merdeka pada 1956: perang sipil yang kelak bertahan selama 17 tahun. Setahun sebelumnya tentara Sudan selatan angkat senjata, memberontak terhadap pusat.
Melansir tulisan Alex de Waal di The Nation, rakyat selatan yang mayoritas berkulit gelap dan bukan Islam terus angkat senjata setelah Sudan merdeka karena menganggap para pejabat baru sama saja dengan pemerintah kolonial Inggris. Mereka dipandang akan meneruskan praktik diskriminasi sosio-ekonomi, bahkan akan lebih gencar mengekspansi budaya Arab serta Islam.
Akhirnya pemerintah sipil pascakemerdekaan yang terdiri dari koalisi parpol disibukkan dengan konflik sektarian alih-alih fokus menyusun agenda politik terpadu.
Merasa memiliki peluang, pada 1958, Jenderal Ibrahim Abboud mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Supreme Council of the Armed Forces. Di bawah rezim ini, partai politik dan serikat pekerja dilarang, aspirasi politik secara umum juga diredam baik yang disuarakan rakyat utara maupun selatan.
Scopas S. Poggo di jurnal Northeast African Studies (2002) mencatat Abboud adalah pemimpin Sudan pertama yang merancang dan menerapkan program-program islamisasi dan arabisasi di Sudan selatan. Ia melakukannya dengan cara-cara kekerasan seperti mengerahkan militer hingga yang lebih lunak seperti berinvestasi pada sumber daya manusia dan keuangan. Pembangunan masjid digencarkan, begitu juga khalwa (tempat belajar Al-Quran dan bahasa Arab) dan sekolah keagamaan ma’had. Kemampuan berbahasa Arab juga mulai dijadikan syarat untuk siapa pun yang hendak bekerja di pemerintahan.
Kebijakan yang disebutkan terakhir menghalangi warga selatan—yang tidak bisa berbahasa Arab—untuk bekerja di pemerintahan dan mengabdi di militer. Menurut Poggo, kebijakan bahasa Arab yang memarginalkan rakyat selatan dari lapangan pekerjaan ini adalah “perbudakan politik”.
Namun segala kebijakan Abboud tidak berdampak pada peningkatan jumlah muslim di selatan. Mayoritas kelompok etnis masih bertahan dengan budaya dan keyakinan masing-masing. Ada pula sejumlah penganut Katolik—agama yang penyebarannya dibantu oleh para misionaris sejak era kolonial.
Setelah menyadari strategi represif untuk mempersatukan rakyat selatan tidak berjalan efektif, Abboud mulai membuka keran kebebasan berpendapat. Pada Agustus 1964, pemerintahannya mendirikan panitia khusus untuk memberikan saran tentang perbaikan hubungan dengan rakyat selatan. Masyarakat umum, baik di utara dan selatan, juga diperbolehkan mengekspresikan opininya. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan dengan maksimal oleh intelektual kampus dan mahasiswa.
Dalam artikel di Journal of Modern African Studies (1967), Yusuf Hasan menjabarkan bagaimana pelonggaran ekspresi ini berujung pada meletusnya demonstrasi besar yang dikenal sebagai Revolusi Oktober 1964. Dosen ahli hukum konstitusional sekaligus aktivis Ikhwanul Muslimin Hassan al-Turabi disebut berperan besar menggeser isu selatan menjadi perkara yang berpusar di pemerintahan pusat. Dalam satu ceramah, dia berpendapat bahwa konflik tersebut berkaitan dengan “susunan konstitusional negara dan tidak dapat diatasi kecuali dengan cara-cara demokratis.”
Pandangan Turabi membuat militer waspada karena berpotensi melahirkan kritik-kritik lebih tajam kepada pemerintah. Mereka pun akhirnya melarang segala diskusi tentang perkara selatan. Akan tetapi, para mahasiswa—apa pun afiliasi politiknya, mulai dari kalangan Ikhwanul Muslimin sampai kubu komunis—nekat menentangnya.
Menurut artikel Hasan, kali pertama intimidasi fisik dilancarkan oleh aparat kepada kelompok mahasiswa terjadi pada malam hari 21 Oktober. Ketika itu Serikat Mahasiswa Universitas Khartoum hendak memulai diskusi, ketahuan polisi, dan diminta bubar. Meskipun disemprot gas air mata, mahasiswa bertahan dengan melemparkan batu-batuan dan botol. Akhirnya salah satu mahasiswa, Ahmad al-Qurashi, tewas diterjang peluru polisi.
Seiring upacara pemakaman Quraishi diikuti puluhan ribuan orang, seruan mogok sipil terdengar dari kalangan akademisi dan profesional lain seperti dokter, pengacara, teknisi, dan serikat dagang. Partai-partai politik seperti Umma, National Unionist Party, Partai Komunis, dan Ikhwanul Muslimin turut berpartisipasi. Bersatu sebagai United National Front, mereka semua berdemonstrasi menentang kebrutalan pemerintahan Abboud. Pelajar sampai kaum buruh ikut bergabung bersama mereka.
Administrasi militer Abboud, yang belum pernah berhadapan dengan protes dan tekanan sebesar itu, akhirnya menyerah. Sekitar satu minggu setelah kematian Qurashi, Abboud membubarkan administrasinya. Tokoh-tokoh sipil dari partai politik diangkat ke pucuk pemerintahan.
Jenderal Kedua, Jafaar Nimeiry (1969-1985)
Pemerintahan sipil pasca-Abboud yang terpilih secara demokratis sayangnya dianggap gagal memenuhi harapan-harapan dari kalangan intelektual urban pencetus Revolusi Oktober 1964. Hal ini misalnya dijabarkan dalam bukuCivil uprisings in Modern Sudan: The Khartoum Springs of 1964 and 1985 (2015) karya Willow Berridge. Dikatakan bahwa Presiden Isma’il al-Azhari (Democratic Unionist Party) dan Perdana Menteri Muhammad Ahmad Mahgoub dan Sadiq al-Mahdi (sama-sama dari National Umma Party) malah sibuk berkompetisi.
Di samping itu, mereka gagal mencapai perdamaian dengan selatan. Bahkan mereka pun melakukan hal yang serupa rezim otoriter: Melarang Partai Komunis Sudan sejak Desember 1965. Sikap ini meyakinkan kubu komunis bahwa “demokrasi liberal tidak mungkin hidup berdampingan dengan politik progresif.”
Kurang dari empat tahun setelah Revolusi Oktober, persisnya akhir Mei 1969, pemerintahan sipil dilengserkan Kolonel Jafaar Nimeiry. Di bawah kepemimpinannya, Sudan berhasil menjalin kesepakatan damai dengan Sudan Liberation Movement di Sudan selatan setelah 17 tahun berkonflik. Perjanjian Addis Ababa yang ditandatangani pada 1972 memberikan semacam otonomi kepada provinsi-provinsi di Sudan selatan.
Pada tahun yang sama, Nimeiry menancapkan sistem satu partai dengan mendirikan Sudan Socialist Union, seiring reformasi sosialis berikut kebijakan-kebijakan berorientasi pan-arabisme diterapkan. Sebelumnya kubu komunis direpresi dan tokoh-tokohnya sudah digantung mati atas tuduhan percobaan kudeta. Figur partai Islam berhaluan politik kanan di balik Revolusi Oktober juga dianggap sebagai ancaman—meskipun kelak mereka sempat dirangkul kembali.
Nimeiry tetap memberikan ruang untuk kalangan buruh dan profesional. Administrasinya menyediakan kursi di Majelis Rakyat bagi petani sampai dokter hewan. Itulah mengapa, menurut Berridge, administrasi Nimeiry bisa bertahan jauh lebih lama daripada rezim militer sebelumnya. Berridge mencatat, seperti negara-negara Arab lain (Mesir, Suriah, Irak) kala itu, Nimeiry menggunakan strategi “korporatis”. Ia mengerahkan kekuasaannya untuk membirokratisasi dunia kerja serta menyatukan badan-badan pekerja di dalamnya.
Namun kejayaan Nimeiry tetap harus berakhir. Penyebabnya adalah karena pada awal dekade 1980-an dia mulai mendekat dengan kalangan islamis dan memberlakukan hukum syariah di seantero negeri padahal masyarakat etnis di Sudan selatan punya kepercayaan masing-masing dan ada juga yang Nasrani. Akhirnya, pada 1983, perang dengan Sudan selatan kembali berkecamuk.
Di samping itu administrasinya korup dan kurang efisien dalam perencanaan ekonomi. Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, utang negara meroket dua kali lipat jadi 7 miliar dolar pada 1984. Akibatnya IMF mendorong kebijakan pengetatan anggaran yang berdampak pada pengurangan subsidi harga pangan dan bahan bakar. Bersamaan dengan itu kekeringan muncul dan memicu bencana kelaparan. Ribuan orang meninggal, terutama di daerah yang termarginalkan sejak era kolonial: kawasan timur, barat, dan selatan.
Kedekatan dengan pemerintah Amerika Serikat juga menjadi faktor lain yang membuat rakyat muak dengan rezim Nimeiry. Nimeiry misalnya menyokong perjanjian damai Mesir dengan Israel pada 1979 yang difasilitasi AS padahal itu menimbulkan kemarahan dunia Arab. Nimeiry juga bersepakat dengan Presiden Ronald Reagan untuk menerima limbah nuklir beracun asal AS agar dibuang di daerah dekat Darfur yang tertimpa bencana kelaparan. Selain itu, bersama badan intelijen AS, Israel, dan Afrika Selatan, Sudan ikut berperan dalam Operasi Moses, misi untuk memindahkan 10 sampai 13 ribu orang Etiopia keturunan Yahudi ke Israel.
Mirip seperti Revolusi Oktober 1964, dalam protes 1985 intelektual urban kembali turun ke jalanan menyerukan Nimeiry mundur. Mereka juga menuntut hukum syariah dihapuskan, otonomi bagi kawasan Sudan selatan, sistem pemerintahan multipartai, dan kebijakan luar negeri yang independen.
Meskipun secara pengaruh dikuasai oleh serikat mahasiswa, pekerja profesional, dan partai politik, sejumlah besar demonstran adalah buruh kecil di sektor informal dan pengangguran atau gelandangan yang disebut shamasa. Shamasa datang ke ibu kota Khartoum untuk mencari peruntungan karena kawasan pinggiran tempat mereka berasal diabaikan oleh pusat. Masih mengutip tulisan Berridge, demo kali ini lebih dipicu oleh permasalahan struktural yang nyaris ditemui di seluruh sudut Sudan.
Dalam demonstrasi yang dikenal sebagai Intifada April 1985 itu Nimeiry tengah berada di AS. Tanpa kesulitan berarti, militer di dalam negeri mengambil alih kekuasaan darinya.
Selama kurang lebih satu tahun, Sudan berada di bawah pemerintahan militer transisi. Setelah itu, kekuasaan diberikan kepada pemenang pemilu, Ahmed al-Mirghani (presiden) dan Sadiq al-Mahdi (perdana menteri). Keduanya adalah tokoh dari parpol islamis, Umma, yang pernah berkuasa pada awal dekade 1960-an.
Namun, sekali lagi, faksionalisme dan korupsi menjangkiti administrasi sipil mereka, seiring hukum syariah era Numeiry tetap dipertahankan.
Pemerintahan Mirghani dan Mahdi yang rentan ini akhirnya dengan mudah digilas oleh Kolonel Omar al-Bashir pada 1989. Bashir tumbuh menjadi diktator terlama Sudan—30 tahun—sampai digulingkan dalam demonstrasi besar tiga tahun silam.
Editor: Rio Apinino