tirto.id - Bom mobil meledak di luar gedung Nedbank Square di ibu kota Afrika Selatan, Pretoria, yang menewaskan sedikitnya 16 orang dan melukai lebih dari 130 orang. Serangan pada 20 Mei 1983 ini dilakukan oleh Umkhonto we Sizwe, sayap bersenjata Kongres Nasional Afrika (ANC).
Dua anggota ANC, Freddie Shangwe dan Ezekial Maseko, mengendarai mobil yang berisi bom dan meledakkannya di Church Street dekat markas besar Angkatan Udara Afrika Selatan.
Ledakan ini juga menyebabkan kematian dua pelaku karena bom meledak sepuluh menit lebih awal. Pemerintah mengutuk insiden tersebut sebagai aksi teroris dan menuduh ANC berupaya menggulingkan pemerintahan minoritas kulit putih.
Seperti dilansir BBC, insiden ini menyoroti kekerasan dan ketegangan yang sedang berlangsung di Afrika Selatan ketika ANC berjanji untuk mengintensifkan kampanyenya melawan apartheid.
Kevin Carter menyaksikan kejadian tersebut saat masih berseragam Angkatan Darat Afrika Selatan. Kejadian itu menjadi titik balik awal kariernya sebagai seorang fotografer lepas.
Salah satu foto ikoniknya memenangkan Hadiah Pulitzer pada tahun 1994. Gambar yang ia ambil sangat memilukan, menunjukkan seekor burung nasar yang dengan sabar mengamati seorang anak kecil Sudan yang kelaparan.
Ia menghadapi tekanan mental yang kuat akibat pekerjaannya yang sering kali menghadirkan rasa mencekam.
Dua bulan setelah menerima Hadiah Pulitzer, Carter bunuh diri di usia 33 tahun.
Ketidakadilan di Depan Mata
Pada 1979, Carter menjalani wajib militer di Angkatan Darat Afrika Selatan (SADF) selama empat tahun dan menyaksikan langsung kekerasan serta ketidakadilan apartheid.
Ia sering dipukuli karena kerap membela beberapa pelayan kulit hitam yang dihina dan dimaki oleh prajurit lain. Situasi yang mengingatkan pada masa kecilnya di Johanesburg ketika sering menyaksikan penggerebekan polisi untuk menangkap orang kulit hitam yang dianggap tinggal secara ilegal.
Lahir pada 13 September 1960 di Johannesburg, Afrika Selatan, Carter merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang eksekutif senior di sebuah perusahaan kimia, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Tumbuh di lingkungan yang banyak didominasi warga kulit putih kelas menengah, ia sering kali geram karena sikap tak mau tahu dari kedua orang tuanya tentang perlakuan rasis di sekitarnya.
Saat berusia 11 tahun, ayahnya meninggal dan peran kepala keluarga beralih ke ibunya yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga.
Pendidikannya dimulai di sekolah Katolik di Pretoria. Setelah lulus dari sekolah menengah pada tahun 1976, Carter mendaftar di sekolah farmasi. Namun, dia keluar setahun kemudian karena nilai akademiknya buruk.
Setelah meninggalkan militer pada 1983, Carter mulai bekerja sebagai fotografer lepas. Dia meliput berbagai peristiwa, termasuk kerusuhan anti-apartheid dan pemilihan umum pertama di Afrika Selatan yang demokratis pada tahun 1994.
Carter dikenal karena memotret subjek seperti eksekusi di depan umum, anak-anak yang kelaparan, dan tindakan kekerasan. Ia sering kali merasa gentar tetapi percaya bahwa itu adalah tugasnya untuk mendokumentasikan kenyataan pahit.
Dia juga mengabadikan momen eksekusi seorang korban bernama Maki Skosana yang dituduh memiliki hubungan dengan seorang perwira polisi.
Hadiah Pulitzer
Kevin Carter kemudian bergabung bersama Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, dan João Silva dalam satu wadah bernama Bang-Bang Club. Nama Bang-Bang mengacu pada kekerasan yang terjadi di kota-kota yang mereka dokumentasikan dan suara tembakan.
Grup fotografi ini banyak melahirkan karya, khususnya dalam menangkap kekerasan yang merajalela di Afrika Selatan. Mereka sering bersama-sama menjelajah sudut kota yang sedang berkonflik.
"Di sebuah pemakaman, beberapa pelayat menangkap seorang pria, meretasnya, menembaknya, menabraknya dengan mobil dan membakarnya," kata João Silva, menggambarkan bagaimana suasana mengerikan yang mereka alami.
Greg Marinovich memenangkan Hadiah Pulitzer untuk Spot News Photography pada tahun 1991 lewat karya foto jurnalistiknya mengabadikan pembunuhan Lindsaye Tshabalala, seorang suku adat Zulu yang berafiliasi dengan ANC.
Ken Oosterbroek menerima beberapa nominasi untuk penghargaan fotografi dan João Silva memenangkan Penghargaan Fotografer Pers Afrika Selatan Tahun Ini pada 1992.
Carter sendiri dikenal sebagai seorang fotografer yang sangat berbakat dan terampil yang memenangkan Pulitzer pada 1994 untuk Fotografi Unggulan.
Pada Maret 1993, Carter diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Sudan Selatan oleh UN Operation Lifeline Sudan. Ia diminta melaporkan kelaparan di wilayah yang sudah dilanda perang saudara.
Selama waktu ini, dia melakukan perjalanan sehari ke Juba, ibu kota Sudan Selatan di tepian Sungai Nil. Ia memotret sebuah perahu yang membawa bantuan makanan untuk daerah tersebut dan mengambil foto para korban kelaparan, sambil berbincang satu sama lain tentang situasi mengerikan yang mereka alami.
Foto ikoniknya mengenai anak gadis kelaparan kemudian menjadi fenomenal. Foto tersebut pertama kali muncul di The New York Times pada 26 Maret 1993.
Gambar ini digunakan untuk menyoroti masalah kelaparan dan kemiskinan di belahan dunia ketiga. Namun, foto tersebut juga menjadi sumber kontroversi dan kritik terhadap Carter.
Para kritikus menuduh Carter tidak berperasaan dan tidak peka karena tidak melakukan intervensi untuk membantu sang anak. Mereka berpendapat bahwa tugasnya sebagai manusia seharusnya diutamakan daripada perannya sebagai fotografer.
Carter, sebaliknya, membela keputusannya, menyatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu tempat kejadian dan berpotensi menakuti burung nasar, yang dapat menyebabkan kematian si anak.
"Dia mengatakan bahwa setelah mengambil foto, dia mengusir burung nasar itu, lalu dia duduk di dekat pohon, merokok, dan menangis. Anak itu melanjutkan sendiri," tutur Philip M. Seib dalam bukunya The Global Journalist: News and Conscience in a World of Conflict (2002:120).
Seib melanjutkan, saat membahas respons individu dibandingkan respons sistemik terhadap kengerian yang terjadi di dunia, para kritikus mungkin akan mengingat apa yang dialami oleh para jurnalis di lapangan.
Akhir Tragis
Kontroversi ini berdampak buruk pada kesehatan mental Carter. Dia bergumul dengan rasa bersalah dan depresi, dihantui oleh penderitaan yang dia saksikan dan pilihan yang dia buat sebagai seorang fotografer.
Teman dan kolega Carter di Bang Bang Club juga mencatat dia semakin menarik diri dan bermasalah dalam beberapa bulan menjelang kematiannya. Ia bahkan mengaku menyesal karena tidak membantu anak kecil yang di kemudian hari ternyata merupakan seorang anak lelaki bernama Kong Nyong.
Karier Carter sebagai jurnalis foto mengantarkannya pada kekerasan dan kekejaman yang mengerikan, yang menyebabkan akumulasi rasa bersalah dan trauma yang memengaruhi kesehatan mental.
Susan Sontag dalam buku On Photography (1977:11-12) pernah mengungkapkan bahwa mengambil gambar bukan sekadar tanda kepasifan dan kelambanan tindakan, namun sebuah isyarat yang setidaknya secara implisit memperkuat status quo.
"Memotret adalah terlibat dengan apa pun yang membuat suatu subjek menarik… termasuk, jika hal tersebut menarik perhatian, penderitaan atau kemalangan orang lain," tutur Sontag.
Memenangkan Hadiah Pulitzer menambah stres dan tekanan bagi Carter, namun hal itu bukanlah satu-satunya penyebab kematiannya. Itu adalah puncak dari tantangan besar yang ia hadapi dalam mendokumentasikan penderitaan manusia.
Film dokumenter "The Death of Kevin Carter: Casualty of the Bang Bang Club" (2004) mengeksplorasi kehidupan tragis dan kematian Kevin Carter. Film berdurasi 27 menit ini menyoroti dampak emosional dan dilema etika yang dihadapi Kevin Carter yang meliput trauma serta tekanan kemanusiaan yang ekstrem.
Film ini dinominasikan dalam kategori Dokumenter Pendek di Academy Awards ke-78 pada 2006.
Disutradarai Dan Krauss, alur sinema banyak menekankan kerentanan dan perjuangan kemanusiaan para jurnalis, menantang mitos tentang kekebalan mereka, dan menyoroti tingginya risiko pribadi dalam mendokumentasikan peristiwa-peristiwa mengerikan.
Pada 24 Juli 1994, sekitar pukul 9 malam di area masa kecilnya, Kevin Carter menyalakan truk pikap dengan pipa knalpot yang diarahkan ke dalam kabin. Lalu menyalakan walkman kesayangannya, berbaring dengan ransel sebagai bantal. Pedal gas diinjak seketika bersamaan dengan racun karbon monoksida yang memenuhi ruang kemudi.
Carter meninggalkan surat bunuh diri yang menyatakan bahwa dia merasa depresi dan tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang kejam dan keras:
"Saya dihantui oleh ingatan yang jelas tentang pembunuhan dan mayat dan kemarahan dan rasa sakit... anak-anak yang kelaparan atau terluka, orang-orang gila yang bahagia, sering kali polisi, dari algojo pembunuh.”
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi