Menuju konten utama

Rosa Parks, Ibu dari Pergerakan Hak-Hak Sipil

Kepedulian Rosa Parks terhadap hak-hak sipil, kesetaraan, dan keadilan sosial akan selalu diingat sebagai inspirasi bagi generasi berikutnya.

Rosa Parks, Ibu dari Pergerakan Hak-Hak Sipil
Header Mozaik Rosa Parks dan perjuangan hak sipil. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 3 September 1944, Recy Taylor baru saja selesai menghadiri Misa Minggu sore bersama temannya. Dalam perjalanan pulang, enam pemuda dalam sebuah truk mencegat dan memaksanya masuk ke dalam kendaraan.

Di bawah todongan senjata, Recy masuk ke dalam truk. Lantas matanya ditutup dan dibawa ke tengah hutan di sekitar Abbevile, Alabama. Enam orang pemuda ini kemudian memerkosa dan meninggalkannya begitu saja di pinggir kota.

Beberapa jam kemudian ayahnya menemukannya di pinggir jalan. Mereka kemudian melapor ke kepolisian, lalu memberi deskripsi kendaraan serta ciri-ciri pelaku.

Para pelaku kemudian berhasil ditangkap. Satu bulan kemudian, mereka didakwa tidak bersalah dalam sebuah persidangan kontroversial.

Namun keluarga Taylor tidak menyerah begitu saja dan meminta bantuan dari National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), tempat Rosa Parks menjabat sebagai sekretaris di Montgomery.

Parks berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi Recy Taylor dan menuntut perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua orang tanpa memandang ras.

Walaupun tuduhan tersebut tidak pernah diadili sampai para pelaku meninggal puluhan dekade kemudian--pemerintah baru meminta maaf pada tahun 2011--kampanye ini membawa perhatian nasional pada diskriminasi rasial dan pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan Afrika-Amerika.

Ini juga menjadi salah satu dari banyak kasus yang memicu gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat seperti yang dilakukan sendiri oleh Rosa Parks 11 tahun kemudian.

Menolak Berdiri dan Duduk di Bangku Belakang Bus

Pada 1 Desember 1955, Rosa naik bus di Montgomery setelah bekerja di lembaga pendidikan perempuan sebagai asisten pembimbing. Ketika bus penuh, James Blake, sang sopir memerintahkan warga kulit hitam untuk berdiri dan memberi tempat duduk untuk warga kulit putih.

Parks menolak untuk berdiri maupun duduk di belakang. Blake naik pitam, ia menyuruhnya untuk mengosongkan tempat duduk, lalu menuduhnya melanggar Undang-undang Bus Segregation di Montgomery.

Undang-undang ini merupakan turunan dari Undang-Undang Jim Crow yang sudah dipakai sejak 1876. UU Jim Crow menciptakan sistem diskriminasi rasial yang memisahkan warga kulit hitam dari warga kulit putih dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, transportasi, penginapan, dan fasilitas umum lainnya.

Pada saat itu, warga kulit hitam diwajibkan untuk duduk di belakang bus dan memberi tempat duduk bagi warga kulit putih. Mereka juga harus berdiri jika tidak ada tempat duduk yang tersedia di bagian belakang bus.

Selain itu, undang-undang ini juga mengatur bahwa warga kulit hitam harus masuk dan keluar dari bus melalui pintu belakang, sementara warga kulit putih boleh masuk dan keluar melalui pintu depan.

Mereka juga dilarang duduk di sekitar pintu depan bus, meskipun itu adalah tempat duduk yang kosong.

Parks dilaporkan ke polisi setempat, kemudian ditangkap dan dibawa ke penjara karena tidak patuh dengan perintah sopir bus. Tindakannya ini menyebabkan protes dan pemboikotan bus yang lebih luas di kalangan masyarakat kulit hitam di Montgomery.

Karena keberaniannya dalam membangkang terhadap aturan rasis ini, Rosa kelak dikenal sebagai "Ibu dari Pergerakan Hak-hak Sipil".

Rosa Parks

Rosa Parks diambil sidik jarinya oleh polisi Lt. D.H. Lackey di Montgomery, Ala., setelah menolak menyerahkan kursinya di bus untuk penumpang kulit putih pada 1 Desember 1955. (Foto AP/Gene Herrick, File)

Tumbuh di Lingkungan Perjuangan Hak-hak Sipil

Lahir dengan nama Rosa Louise McCauley pada tanggal 4 Februari 1913 di Tuskegee, Alabama, Rosa tumbuh di lingkungan yang kaya akan sejarah dan budaya Afrika-Amerika. Ayahnya, James McCauley, adalah seorang mekanik, dan ibunya, Leona McCauley, adalah seorang guru sekolah dasar.

Rosa punya dua saudara kandung, Sylvester McCauley (1894-1968) dan Willie Mae McCauley (1911-1999).

Sepanjang masa kecilnya, Rosa mengalami rasisme yang terus-menerus di sekolah dan masyarakat akibat penerapan UU Jim Crow. Akibatnya, dia belajar di sekolah yang hanya ditujukan untuk anak-anak kulit hitam dan harus berjalan jauh karena tidak ada sekolah yang dekat dengan rumahnya. Dia juga mengalami diskriminasi dalam hal akses ke fasilitas umum, seperti perpustakaan dan kolam renang.

Meskipun dikelilingi kondisi sosial yang sangat rasis, Rosa dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung perjuangan hak-hak sipil. Kedua orang tuanya sangat menyukai sejarah dan budaya Afrika-Amerika, serta mendukung perjuangan hak-hak sipil. Dia juga mendapat dukungan dari guru-gurunya yang membantunya untuk belajar dan mengejar impiannya.

Rosa menyelesaikan sekolah menengah pada usia 16 tahun dan melanjutkan studi di Alabama State Teachers College, sebuah sekolah yang ditujukan untuk anak-anak kulit hitam. Dia juga mengambil kelas di kursus hak-hak sipil yang diselenggarakan oleh NAACP.

Masa kecil Rosa memberikan dasar yang kuat bagi perjuangannya dalam menentang diskriminasi rasial dan memperjuangkan hak-hak sipil. Ketika usianya menginjak 19 tahun, dia menikah dengan seorang tukang cukur lokal, Raymond Parks.

Sebelum menjadi terkenal karena menolak duduk di belakang bus Montgomery pada tahun 1955, dia bekerja sebagai asisten rumah tangga dan juga sebagai pekerja pembuatan pakaian. Selain itu, dia juga bekerja sebagai sekretaris sekaligus penyelidik di NAACP sejak tahun 1943.

Rosa Parks

Rosa Parks, yang memicu gerakan hak-hak sipil hampir 30 tahun lalu dengan menolak menyerahkan kursi bus di Montgomery, Alabama, bergabung dalam pawai di Kedutaan Besar Afrika Selatan di Washington, 10 Desember 1984, memprotes kebijakan rasial negara itu . Perwakilan Mickey Leland, D-Tex., berbaris di belakangnya. (Foto AP)

Boikot Bus Montgomery

Setelah Rosa ditangkap dan diadili karena kasus bus, boikot besar-besaran terjadi di Montgomery yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr.

Banyak yang mencoba mengurangi peran Parks dalam boikot dengan menggambarkannya sebagai pekerja yang tidak mau pindah karena kelelahan. Puluhan tahun kemudian, Parks menampik klaim tersebut dengan mengungkapkan motivasi sebenarnya:

“Orang-orang selalu mengatakan bahwa saya tidak menyerahkan kursi saya karena saya lelah, tetapi itu tidak benar. Saya tidak lelah secara fisik, atau tidak lebih lelah dari biasanya pada akhir hari kerja. Saya belum tua, meskipun beberapa orang menganggap saya sudah tua saat itu. Saya berumur empat puluh dua. Tidak, satu-satunya kelelahan saya adalah lelah menyerah.”

Boikot bus di Motgomery dimulai pada tanggal 5 Desember 1955, di hari Parks dibebaskan melalui uang tebusan yang digalang oleh teman-temannya di NAACP.

Para aktivis hak sipil dan organisasi Afrika-Amerika kemudian menyerukan boikot bus sebagai bentuk protes atas tindakan polisi yang tidak adil terhadap Rosa dan diskriminasi yang terjadi dalam penggunaan bus.

King dan anggota jaringan hak sipil lainnya menyebarkan informasi tentang boikot melalui pamflet, surat kabar, radio, dan pengumuman di gereja-gereja Afrika-Amerika. Beberapa pertemuan dalam skala besar juga digelar untuk menjelaskan tujuan dan cara kerja boikot.

Mereka juga menyediakan transportasi alternatif bagi warga Afrika-Amerika yang tidak dapat menggunakan bus, seperti carpooling dan mobil-mobil sewaan.

Selain itu, mereka melakukan aksi sonder kekerasan dengan cara menolak untuk memberikan dukungan kepada bisnis-bisnis yang berpihak kepada segregasi.

Boikot yang berlangsung selama 385 hari tersebut sangat efektif dalam menurunkan pendapatan perusahaan bus. Mereka merugi karena kehilangan 75 persen pemasukan dari penumpang.

Melihat ini, pemerintah federal tak tinggal diam. Mereka berupaya untuk mengeluarkan undang-undang yang menyulitkan para aktivis hak-hak sipil dan mencoba untuk menghentikan boikot.

Infografik Mozaik Rosa Parks

Infografik Mozaik Rosa Parks dan perjuangan hak sipil. tirto.id/Quita

Seperti halnya King yang diteror, Rosa juga merasakan hal serupa melalui telepon orang tak dikenal yang mengancam akan membunuh keluarganya. Rumahnya juga sempat digeledah dan dirusak oleh orang tak dikenal.

Rosa kemudian mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tinggi AS pada tahun 1956 dengan tajuk Browder v. Gayle.[3]

Pada tanggal 21 Desember 1956, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Undang-Undang Bus Segregation di Montgomery melanggar Konstitusi Amerika Serikat.

Ini menandai kemenangan besar dalam perjuangan hak-hak sipil dan menyebabkan perubahan besar dalam peraturan diskriminasi di seluruh AS.

Penghargaan Untuk Rosa

Setelah insiden di bus, Rosa dipilih menjadi presiden Montgomery Improvement Association (MIA), sebuah organisasi yang didirikan untuk menuntut hak-hak sipil orang Afrika-Amerika.

Dia menjalani masa pensiun yang sibuk dan terus bekerja untuk hak-hak sipil sampai akhir hayatnya. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai sekretaris NAACP pada tahun 1988, Parks menjadi aktivis yang tetap dan berbicara di sekolah-sekolah, universitas, dan organisasi-organisasi sosial.

Rosa turut aktif menulis buku-buku, termasuk otobiografinya Rosa Parks: My Story yang diterbitkan pada tahun 1992. Parks juga mendapatkan banyak penghargaan dan kehormatan, salah satunya Presidential Medal of Freedom dan Congressional Gold Medal dari Presiden Bill Clinton pada tahun 1996.

Pada tahun 1999, Parks pindah ke Detroit, Michigan dan hidup di sana sampai meninggal tanggal 24 Oktober 2005 dalam usia 92 tahun.

Namanya juga muncul dalam budaya populer, seperti film biografi The Rosa Parks Story (2002) yang dibintangi oleh Angela Bassett. Para musisi kulit hitam seperti Outkast dan Wu-Tang Clan juga menghormati Rosa lewat beberapa lagu. Nama dan perjuangannya juga diabadikan dalam banyak lukisan, patung, dan karya seni lain.

Kepedulian Rosa Parks terhadap hak-hak sipil, kesetaraan, dan keadilan sosial akan selalu diingat sebagai inspirasi bagi generasi berikutnya.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Nuran Wibisono