tirto.id - Peringatan: tulisan ini mungkin menimbulkan ketidaknyamanan karena mengandung konten eksplisit tentang kekejian dan pemerkosaan.
Pantai Bahama dihuni suku bangsa lokal ketika Christoper Columbus menginjakkan kakinya tanggal 12 Oktober 1492. Mereka adalah orang-orang Lucayan, Tainos, dan Arawak. Dalam jurnal perjalanannya, Columbus menyebut perawakan mereka cukup baik, sebagian besar masih muda, dahinya lebar, dan mengenakan potongan logam emas di hidungnya.
Mereka menyambut Columbus dengan sangat ramah. Saking ramahnya mereka, penjahat ataupun penjara tidak ditemukan di pulau tersebut.
Karena banyak yang mengenakan logam emas di hidungnya, Columbus mulai mencari tahu soal kemungkinan adanya tambang emas di sekitar pulau tersebut.
Ia berkeliling dan menemukan tambang emas di Lembah Cibao.
Dalam waktu singkat, ia mulai menguasai tanah di kepulauan tersebut. Penduduk lokal dijadikannya budak kerja paksa untuk pertambangan emas. Sementara gadis-gadisnya dijadikan budak seks bagi para awak kapal.
Ia juga menjual budak-budaknya ke berbagai wilayah selama pelayaran berikutnya, termasuk ketika kembali ke Spanyol yang saat itu banyak memperjualbelikan budak-budak Muslim Andalusia, Yunani, Rusia, Bulgaria, ataupun Tartar.
Budak-budak dari Amerika itu kemudian dijual, ada juga yang dibaptis meninggalkan ajaran lamanya.
Seperti ditulis Andrés Reséndez dalam The Other Slavery: The Uncovered Story of Indian Enslavement in America (2016), tindakannya ini sempat diprotes Raja dan Ratu Spanyol. Namun Columbus pandai bersilat lidah. Ia menjanjikan kekayaan melimpah bagi Spanyol.
“Dan jika informasi yang saya miliki benar, kita bisa menjual empat ribu budak yang akan bernilai setidaknya dua puluh cuentos,” ujarnya meyakinkan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella I.
Jika dikalkulasikan keuntungannya sekitar 20 juta maravedi—satuan koin emas dan perak-- atau sepuluh kali total biaya pelayaran pertamanya.
Ketika kembali melakukan ekspedisi ke daratan Amerika, ia membawa anjing-anjing pembunuh untuk menghukum para budak. Bayi-bayi penduduk lokal bahkan jadi santapan ketika anjingnya kehabisan daging.
Bartolomé De Las Cases, seorang sejarawan dan misionaris yang pernah ikut pelayaran ketiga Colombus, menceritakan kengeriannya bagaimana penduduk lokal dipotong, dipenggal, dan diperkosa hampir setiap hari.
Genosida penduduk lokal Amerika tak terelakan berasal dari perbudakan oleh bangsa Spanyol yang di kemudian hari juga diikuti bangsa-bangsa lainnya.
Portugis mengangkut budak Indian dari wilayah Kanada, begitu juga Inggris yang memperjualbelikan budak Indian Pesisir di Amerika Utara. Prancis bahkan mengirim hampir seluruh bangsa Natchez-- penduduk lokal di Mississipi, AS-- ke Hindia Barat tahun 1731.
Dari generasi ke generasi, Christoper Columbus selalu dianggap pahlawan oleh anak-anak di sekolah-sekolah Amerika. Bahkan ada perayaan khusus untuk memperingati kedatangannya setiap tanggal 12 Oktober.
Nyatanya, dari masa Columbus inilah cikal bakal dan kengerian perbudakan di tanah Amerika mulai berlangsung.
Perbudakan Seks Budak Kulit Hitam
Saat melakukan ekspedisi kedua di Hispaniola--sekarang terletak di Haiti dan Dominika-- Columbus memberi budak perempuan kepada kru kapalnya.
Perbudakan seks mulai lazim dilakukan dalam ekspedisinya. Dalam catatan perjalanannya, ia menyebut budak yang paling diminati krunya adalah gadis berusia sekitar sembilan dan sepuluh tahun.
Satu abad kemudian, rombongan budak dari Afrika mendarat pertama kalinya di Amerika Serikat. Rombongan yang tiba pada tanggal 20 Agustus 1619 tersebut berlabuh di Pelabuhan Virginia yang saat itu dijajah Inggris.
Sebagian besar budak berasal dari Angola yang diculik oleh orang Portugis. Prajurit Inggris kemudian membelinya untuk keperluan pengembangan ekonomi di tanah kolonial.
Mengandalkan produksi tembakau, Virginia menjadi wilayah yang menguntungkan. Tenaga budak dari Afrika tentu saja menjadi andalan, selain sehat secara fisik, mereka juga mudah diatur dengan upah murah.
Ketika industri tembakau meredup, wilayah Selatan, termasuk Koloni Virginia, mulai mencari komoditi alternatif untuk memutar roda ekonomi. Dipilihlah industri kapas, karena permintaan sedang tinggi berkat industri tekstil Inggris yang sedang berkembang pesat.
Budak-budak dari Afrika kemudian dinilai sebagai mesin yang bernilai. Para majikan mulai berpikir bahwa meng-anak pinakkan budak adalah satu cara untuk melahirkan generasi budak baru.
Hal tersebut kemudian diperkuat dengan maraknya gerakan abolisionis di beberapa wilayah, seperti yang dilakukan Nat Turner yang memberontak pada Agustus 1831. Mereka yang berhasil lolos kemudian memiliki beberapa keturunan yang menjadi pejuang hak-hak sipil.
Sementara pemerkosaan terhadap budak wanita Afrika mulai banyak dilakukan setelah para majikan membenarkan perkembangbiakan melalui perbudakan seks. Teman, saudara, tetangga, hingga kerabat majikan diperbolehkan untuk memilih para budak untuk diperkosa.
Ada janji yang dilontarkan kepada para budak tersebut, seperti jika memiliki anak pada jumlah tertentu maka ia dan keluarganya akan dibebaskan.
Eksperimen Dokter Ginekologi
Sekitar tahun 1840 hingga akhir 1850, James Marion Sims menjadi dokter keluarga seorang majikan kulit putih di sebuah perkebunan di Alabama. Ia sudah memiliki reputasi sebagai dokter setelah memulai praktik klinik pertamanya di Lancaster, juga kursus medisnya di Jefferson Medical Collage.
Di perkebunan ia merawat beberapa budak Afrika milik majikannya. Budak-budak sakit itu harus ia kembalikan dalam kondisi sehat dan bugar.
Di tempat itu pula, ia menjalankan rangkaian eksperimen mengerikan kepada alat reproduksi para budak wanita: menguji cara mengatasi robekan saat persalinan, juga melakukan operasi fistulotomi kepada seorang budak bernama Lucy Zimmerman. Hal serupa juga dipraktikkan kepada dua budak lainnya, Anarcha Wescott dan Betsey Harris.
Total ada 11 budak yang menjadi eksperimennya. Rata-rata mereka diperkosa secara paksa.
Mereka dipaksa telanjang ketika eksperimen berlangsung. Kerabat atau kolega Sims biasanya ikut menyaksikan layaknya menonton sebuah pertunjukan.
Anarcha yang saat itu berusia 17 tahun bahkan mendapatkan 30 kali eksperimen yang dilakukan Sims. Metodenya dianggap berhasil mengenalkan resep fistula vesikovaginal-- yang menyebabkan kebocoran urin dan feses yang terus-menerus-- dalam ilmu ginekologi modern.
Menurut penulis buku Medical Apartheid, Harriet Washington, semua eksperimen yang dilakukan Sims adalah tanpa persetujuan para budak yang dieksploitasi.
“Bagi wanita yang diperbudak, kondisi tersebut juga berarti bahwa mereka tidak dapat bekerja, dan dengan demikian menjadi 'tidak berharga' di mata pemiliknya dan masyarakat kulit putih,” tulis Washington dalam artikel "A Medical Hell Recounted by Its Victims".
Meskipun anastesi ditemukan tahun 1846, tapi Sims tak pernah melakukannya kepada budak Afrika. Dia berdalih dengan sangat yakin bahwa budak kulit hitam tidak memiliki rasa sakit ketika dioperasi.
Sims yang kemudian dikenal dengan “Bapak Ginekologi” mendapatkan pengetahuan, ketenaran, dan kekayaannya dari eksploitasi perbudakan wanita-wanita Afrika.
Sterilasi Kaum Kulit Berwarna
Pada awal abad ke-20, AS menjalankan program sterilisasi eugenik untuk mengendalikan populasi orang kulit berwarna, penjahat, orang miskin, imigran ilegal, dan orang-orang cacat.
Serentak dilakukan di 32 negara bagian, program ini dilegitimasi pemerintah federal pada tahun 1907. Para wanita kulit berwarna, tahanan wanita, suku Indian, dan keturunan Afrika, banyak menjadi korban sterilisasi paksa.
Organ reproduksi mereka dipaksa dikendalikan oleh dokter bedah dan ginekologi agar tidak memiliki keturunan. Beberapa wanita dalam kondisi hamil juga dipaksa melakukan aborsi. Di California, tercatat ada 20.000 kasus sterilisasi dalam kurun waktu hampir 40 tahun.
Di New York, sebelum Perang Dunia II, Margaret Sanger meluncurkan “Proyek Negro” melalui alat kontrasepsi pil KB untuk mengendalikan populasi warga kulit hitam.
Ia melakukan pendekatan dengan beberapa pejabat untuk membantu sosialisasi proyeknya. Di bawah bendera Planned Parenthood, beberapa klinik KB kemudian berhasil dibukanya.
Sejalan dengan proyek sterilisasi saat itu, langkah Sanger banyak dituding sebagai genosida secara halus untuk menghambat populasi warga kulit hitam.
Editor: Nuran Wibisono