tirto.id - Dr. James Mortimer mengunjungi Sherlock Holmes dan Dr. Watson di London. Ia adalah seorang dokter yang tinggal di Devonshire dan memberi tahu Holmes tentang legenda Baskervilles.
Menurut legenda tersebut, keluarga Baskerville dikutuk oleh anjing setan yang tampaknya membunuh ahli waris keluarga setiap 50 tahun sekali. Sir Charles Baskerville, korban kutukan terbaru, ditemukan tewas di rawa-rawa dengan wajah terpelintir ketakutan.
Mortimer percaya bahwa Sir Charles dibunuh oleh anjing itu, hingga akhirnya meminta Holmes untuk menyelidikinya.
Adegan dalam novel The Hound of The Baskervilles karya Sir Arthur Conan Doyle yang terbit tahun 1902 itu juga menuturkan bagaimana Mortimer sedikit menyinggung Holmes sebagai seorang ahli kriminal kedua di Eropa dan kecerdikannya hanya dapat disaingi oleh seorang detektif asal Prancis.
"Benar, Tuan! Bolehkah saya bertanya siapa yang mendapat kehormatan untuk menjadi yang pertama?" tanya Holmes sedikit ketus.
Mortimer lantas menyebut nama Alphonse Bertillon, seorang kriminolog Prancis yang dikenal mengembangkan sistem antropometri: Bertillonage. Metodenya digunakan untuk mengidentifikasi penjahat maupun korban pembunuhan berdasarkan ukuran fisik.
Dua kontribusinya yang paling penting ialah standarisasi penggunaan mugshot untuk mengidentifikasi tahanan dan memelopori penggunaan foto TKP. Kedua teknik ini masih digunakan sampai kiwari oleh kepolisian di seluruh dunia dalam upaya menyelesaikan kasus kejahatan dan menangkap para pelaku kriminal.
Berulang kali Metodenya Ditolak
Alphonse Bertillon lahir pada 22 April 1853 di Paris, Prancis. Ia belajar hukum dan kriminologi di Universitas Paris. Bertillon berasal dari keluarga dengan latar belakang penegak hukum dan ahli statistik.
Kakek dari ibunya, Achille Guillard, merupakan ahli demografi. Sedangkan ayahnya, Dr. Louis Bertillon, antrolopog ternama sekaligus pimpinan departemen catatan kriminal di Paris.
Kakaknya sendiri, Jacques, adalah ahli statistik medis yang menemukan korelasi antara perceraian dengan bunuh diri. Terinspirasi oleh performa ayahnya, Bertillon mengembangkan minat dalam metode identifikasi kriminal.
Pada tahun 1879, Bertillon yang berusia 26 tahun mulai bekerja untuk Prefektur Polisi di Paris. Dia mendapatkan posisi sebagai juru catat rekam kriminal dan segera menyadari bahwa metode yang ada untuk mengidentifikasi penjahat, seperti menggunakan foto dan nama, sering kali tidak dapat diandalkan, karena penjahat dapat dengan mudah mengubah penampilan atau menggunakan nama samaran.
Banyak arsip menumpuk, jumlahnya mencapai lima juta file, termasuk 80 ribu foto para penjahat. Bertillon mulai memikirkan bagaimana merampingkan berkas-berkas tersebut sehingga ia mulai mengembangkan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mengidentifikasi.
Ia lantas berkonsultasi dengan rekan ayahnya, Lambert Quetelet, seorang ahli statistik dan matematikawan asal Belgia dan menyampaikan pandangannya mengenai pengukuran tubuh manusia.
Dugaannya bahwa tidak ada dua manusia yang memiliki dimensi yang sama kemudian melahirkan ilmu antropometri. Metodenya ini diharapkan mampu mengidentifikasi penjahat yang telah ditangkap untuk diukur dimensi tubuhnya dan mencocokkan dengan file yang sudah ada.
Idenya dipraktikkan kepada beberapa penjahat yang tertangkap dan sering kali mendapat cibiran dari rekan polisi lain, bahkan mereka kerap menertawakannya saat ia mulai mengukur tubuh para penjahat.
Dengan pita pengukur dan satu paket kaliper, Bertillon merancang catatan secara rinci, mulai dari ukuran lingkar kepala, panjang kaki kiri, rentang tangan, tinggi duduk, lebar kepala di antara dua pipi, panjang telinga, jari kelingking, hingga tinggi saat berdiri.
Agustus 1879, ia mulai mengajukan secara resmi agar metodenya dapat diadopsi. Kepada kepala polisi, Louis Andrieux, ia menulis laporan bahwa metodenya cukup ilmiah dan yakin sistem yang ia ajukan dapat merevolusi pekerjaan polisi dalam mengidentifikasi kejahatan.
Proposalnya ditolak mentah-mentah seraya mengatakan bahwa laporannya hanyalah sebuah lelucon. Bertillon tetap pada pendiriannya, ia kembali mengukur para penjahat yang baru tertangkap dan sesekali keluar masuk penjara mengidentifikasi tahanan yang belum sempat diukur.
Satu bulan kemudian, idenya kembali diajukan kepada Andrieux yang akhirnya meneruskan proposal tersebut kepada Gustave Mace, seorang kepala Surete--polisi nasional Prancis. Namun, lagi-lagi proposalnya diabaikan dan memaksa Bertillon menghadap Andrieux yang menjelaskan idenya itu tidak bisa diterapkan seraya menyuruhnya berhenti mengajukan proposal aneh.
Bertillon lantas mengadukan idenya kepada ayahnya sembari menceritakan penolakan-penolakan yang dilakukan kepala polisi.
Warsa 1882, proposalnya mendapatkan kesempatan untuk diterapkan menjadi sebuah uji coba. Jean Camecasse, kepala polisi yang menggantikan Louis Andrieux, memberinya waktu tiga bulan sebagai program percontohan. Jika berhasil dan mampu mengidentifikasi para pelaku kriminal, idenya akan diadopsi secara permanen.
Dibantu dua orang asisten, Bertillon tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Di sinilah ia bertemu Amélie Notar, perempuan asal Austria yang kelak menjadi istrinya. Amélie banyak membantunya menyelesaikan pekerjaan dengan tulisan tangannya yang sempurna.
Salah satu kasus yang menjadi puncak keberhasilannya ketika mengidentifikasi penjahat bernama Dupont pada 20 Februari 1883. Ia mencocokkan tahi lalat dekat alis kiri Dupont dengan file yang ada di gudang arsip bernama Martin. Ia berkesimpulan bahwa Dupont adalah Martin.
Laporan identifikasinya menjadi tonggak sejarah dua hari kemudian, saat kepala polisi memberitahu bahwa departemen kepolisian Prancis akan mengadopsi programnya. Ia diberi ruangan dan biro khusus identifikasi, serta beberapa asisten untuk membantu pekerjaannya.
Dalam tiga tahun pertama sejak metodenya resmi diterapkan kepolisian Prancis, Bertillon berhasil mengidentifikasi 800 tersangka yang melakukan pelanggaran berulang dan 3500 orang lainnya dalam sepuluh tahun pertama.
Desember 1884, metode Bertillon, dikenal dengan Bertillonage, diterapkan di seluruh sistem penjara Prancis. Antara tahun 1896 hingga 1900, biro khusus Bertillon banyak berdiri di berbagai negara, seperti Rusia, Jerman, Hongaria, Swiss, Spanyol, Belgia, Austria, Denmark, Portugal, dan Belanda.
Mugshot Lahir dari Eksperimen
Bertillonage cukup unik dalam membuat basis datanya. Berkas-berkasnya tidak disusun berdasarkan urutan abjad nama. Sebaliknya, arsipnya dibagi menjadi tiga kelompok, dari yang memiliki panjang kepala kecil, sedang, dan besar--Bertillon menyebutnya alpha, beta, dan gamma.
Memasuki tahun 1885, Alphonse Bertillon memperkenalkan sistem pengukuran yang akurat untuk mencatat tanda fisik dalam bentuk tabel. Setelah itu, ia mulai memotret penjahat dari depan dan samping untuk memberikan gambaran lebih lengkap yang di kemudian hari dikenal dengan foto mugshot.
Bertillon menyadari perlunya pendekatan yang lebih sistematis untuk memotret penjahat. Sebelum karyanya, foto pelaku sangat bervariasi dalam hal kualitas, sudut, dan pencahayaan, sehingga sulit untuk mengidentifikasi individu secara akurat.
Bertillon bermaksud menciptakan metode standar yang akan memberikan catatan visual penjahat yang konsisten dan andal.
Di luar itu, para polisi yang mencurigai penjahat tidak dapat semena-mena melakukan pengukuran di tempat. Latar ini juga yang akhirnya menjadi dasar Bertillon mengembangkan foto mugshot.
Untuk mengembangkan mugshot, ia melakukan eksperimen kepada keponakannya, Francois Bertillon, yang masih berusia 23 bulan. Ia memotretnya pada bulan Oktober 1893 dari depan dan samping, lalu dilengkapi dengan tabel catatan ketika memotretnya kembali saat Francois berusia 5 tahun dan 12 tahun.
Sistem Bertillonage terdiri dari serangkaian pengukuran yang tepat dengan pose standar yang digunakan untuk menangkap karakteristik fisik penjahat. Pengukuran ini mencakup catatan rinci tentang tinggi badan, proporsi tubuh, fitur wajah, dan tanda pembeda seperti bekas luka atau tato.
Untuk mengambil foto mugshot, Bertillon membeli kamera khusus yang dapat menangkap tampilan wajah penuh dan profil subjek dalam satu eksposur. Kamera diposisikan pada jarak tetap dari subjek, memastikan konsistensi di seluruh foto.
Foto-foto diambil dengan latar belakang polos untuk menghilangkan gangguan dan hanya berfokus pada fitur fisik orang tersebut. Foto-foto digunakan untuk mengukur dengan tepat wajah, hidung, telinga, dan fitur unik lainnya dari penjahat. Foto-foto tersebut juga membantu menciptakan gambar yang dapat dikenali dari penjahat, yang dapat digunakan dalam poster pencarian dan dalam mengidentifikasi tersangka kejahatan di masa depan.
Selain foto-foto, sistem Bertillon juga menyertakan deskripsi tertulis terperinci dari individu tersebut, yang dikenal sebagai "catatan antropometri". Catatan-catatan ini memberikan informasi tentang ciri-ciri fisik dan ciri-ciri penting lainnya yang dapat membantu dalam identifikasi.
Foto dan catatan ini lantas disebutnya potret parle (gambar yang berbicara) dan mulai diusulkan di Inggris ketika Jack the Ripper terus meneror London timur.
Foto di Tempat Kejadian Perkara
Seiring waktu, kemajuan dalam sidik jari dan teknik biometrik lainnya melampaui keandalan dan efisiensi sistem Bertillon.
Adalah Dr. Faulds, seorang ilmuwan Skotlandia, yang awalnya menemukan cara untuk membuat pengidentifikasian alur bergerigi di ujung jari lewat penerapan bedak halus atau tinta.
Tulisan-tulisan Dr. Faulds sedikit memengaruhi Bertillon yang akhirnya ia tambahkan dalam portrait parle sebagai simbol fisik seseorang. Pada pertengahan 1880, Bertillon menjadi orang pertama yang menggunakan fotografi di tempat kejadian perkara dan memotret korban-korban pembunuhan.
Menurut Lela Graybill dalam jurnalnya The Forensic Eye and the Public Mind: The Bertillon System of Crime Scene Photography (2019), Bertillon melihat fotografi TKP sebagai katalis emosional daripada sebuah bukti objektif.
Meningkatnya kehadiran kamera dalam pekerjaan polisi tidak hanya menangkap korban pembunuhan tetapi juga mengungkap pengaturan intim rumah para korban, mengubah masalah polisi menjadi cerita media yang menarik.
Berkat foto-foto Bertillon yang terus menghiasi surat kabar setiap kali ada pembunuhan, kematian pribadi menjadi ranah publik menjadi hal yang lazim.
Pada akhir abad ke-19, Henry Faulds mempelajari tembikar yang ditemukan di pantai di Jepang. Dia menyadari ada sidik jari pada tembikar tersebut yang membuatnya mempelajari lebih jauh.
Tanggal 16 Februari 1880, Faulds menulis surat kepada naturalis terkenal Charles Darwin, ia menyatakan gambar sidik jari itu unik, dapat diklasifikasikan, dan sifatnya permanen.
Oktober 1880, Faulds menerbitkan artikel di jurnal ilmiah Nature untuk berbagi penemuannya dengan para ilmuwan. Dalam artikel yang sama, ia mengusulkan penggunaan sidik jari di TKP sebagai cara mengidentifikasi penjahat.
Sistem Bertillon akhirnya menghadapi kritik karena keterbatasannya. Pada 1903, seorang pria bernama Will West ditangkap dan diukur dimensi tubuhnya. Anehnya, ukurannya cocok dengan tahanan lain bernama William West yang sudah dipenjara karena kasus pembunuhan.
Kasus tersebut memicu keraguan tentang keakuratan antropometri sebagai metode identifikasi yang sangat mudah.
Perkembangan identifikasi sidik jari dan meluasnya penggunaan fotografi dalam investigasi kriminal menggerogoti dominasi sistem Bertillon. Sidik jari, yang telah ditemukan Henry Faulds, lantas diusulkan oleh Sir Francis Galton dan kemudian disempurnakan oleh Sir Edward Henry, akhirnya menjadi metode identifikasi utama karena keandalan dan kemudahan penggunaannya.
Bertillon meninggal di Paris pada 13 Februari 1914. Meskipun kini metodenya telah digantikan oleh sidik jari, kontribusinya dalam mengidentifikasi penjahat secara ilmiah, termasuk fotografi mugshot dan fotografi TKP-nya, berperan penting dalam pengembangan teknik ilmu forensik modern.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi