Menuju konten utama

Dijagal atau Mengungsi: 29 Tahun Kediktatoran Al-Bashir di Sudan

Memerangi warganya sendiri di Darfur pada 2003, Omar al-Bashir diduga kuat melakukan kejahatan perang dan genosida. Ingin terus berkuasa selama mungkin.

Dijagal atau Mengungsi: 29 Tahun Kediktatoran Al-Bashir di Sudan
Presiden Sudan Omar Hassan Al-Bashir (16/3/09). REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallh

tirto.id - Sudan, sebuah negara di kawasan Afrika Timur, telah lama melahirkan gelombang pengungsi akibat perang sipil dan ketidakstabilan politik. Tak cuma mengungsi di dalam negeri, banyak warga Sudan yang terpaksa lari ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik.

Dalam perjalanan mencari dunia baru, sejumlah pengungsi Sudan masih tertahan di Indonesia. Di Pekanbaru Riau misalnya, dari 239 pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri, 40 orang di antaranya berasal dari Sudan.

Di sepanjang trotoar Kalideres, di lingkungan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jakarta Barat, berjejer tenda-tenda darurat yang dihuni pengungsi dari berbagai negara, termasuk Sudan. Mereka terpaksa hidup bak gelandangan.

Yang lain, tahun 2013 ada 12 dari 15 orang Sudan dilaporkan segera dideportasi ke negara asalnya oleh Pihak Imigrasi Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena dikategorikan imigran gelap yang memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen legal.

Masih di tahun 2013, Antara mengabarkan sebuah speedboat yang ditumpangi 23 orang dari berbagai negara terbalik di Kali Torasi, Kabupaten Merauke, Papua. Speedboat itu berisi para pencari suaka. Dari 23 orang, 14 diantaranya warga Sudan dan belum diketahui nasibnya.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Sudan?

Sudan hari ini dipimpin oleh Omar al-Bashir. Dalam daftar pemimpin negara yang paling lama berkuasa, Bashir hanya berada di urutan kedelapan: 28 tahun lamanya ia memerintah Sudan. Tentu masih kalah dengan Paul Biya yang sudah duduk di kursi orang nomor satu Kamerun selama 42 tahun.

Namun, hampir selama tiga dekade itu pula Bashir menjelma mesin pembunuh pembawa malapetaka bagi jutaan warganya sendiri.

Dua surat penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang dikeluarkan pada 2008 dan 2010 sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa berlumur darah tangan Bashir. ICC adalah mahkamah tribunal di Den Haag, Belanda, yang menuntut perorangan atas kejahatan perang, genosida dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Hingga detik ini, Bashir masih bisa menghindar dari Den Haag.

Asal-Usul Kejahatan

Bashir meraih kekuasaan dengan jalan pedang. Lulusan akademi militer (akmil) Sudan 1966 ini menggulingkan, Sadiq al-Mahdi, seorang perdana menteri dari kalangan sipil yang terpilih secara demokratis pada 1989.

Kudeta tersebut tidak hanya melibatkan militer. Unsur Islamis yang digawangi oleh Hassan Al-Turabi sekaligus sekjen Front Islam Nasional sejak 1961 mendukung penuh aksi kudeta.

Simbiosis mutualis antara kelompok Islamis oportunis dan pemerintahan diktator Bashir di tengah masyarakat Sudan yang multi-etnis, agama dan budaya akhirnya memancing konflik sipil.

Pada Februari 2003 di wilayah Sudan barat, tepatnya di Darfur, muncul dua kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Sudan (SLA) dan Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (JEM). Mayoritas anggota mereka berasal dari kalangan petani yang memprotes ketidakadilan di bawah pemerintah Sudan yang didominasi orang-orang Arab.

Respons Bashir? Menciptakan neraka di Darfur. Ia khawatir jika para pemberontak dibiarkan, Sudan akan kehilangan wilayah barat. Sementara itu, milisi Arab bernama Janjaweed yang punya reputasi bayaran pun turun tangan. Encyclopaedia Britannica menyebutkan, ketika konflik sipil meletus di Chad, Libya turut menyokong logistik milisi Janjaweed untuk menggempur Chad timur pada 1980-an.

Taktik yang sama dipakai Bashir. Janjaweed disokong senjata dan peralatan komunikasi oleh intelijen militer Sudan. Tentara Sudan memberikan dukungan lewat serangan udara. Helikopter tempur dan pesawat pembom menarget pemukiman sipil. Beberapa jam setelah operasi militer selesai, giliran Janjaweed menyisir desa-desa miskin. Mereka memperkosa, membunuh, memutilasi, dan mengusir penduduk setempat.

Hasil panen penduduk dijarah atau dihancurkan, pasokan air sengaja dicemari mayat, hingga memutus rantai pasokan air dan makanan. Etnis seperti Fur, Marsalit, dan Zaghawa pun dibabat habis akibat dianggap mendukung para pemberontak. Dalam kurun waktu lima tahun, diperkirakan lebih dari 200.000 orang meninggal karena penyakit, kelaparan dan kekerasan konflik. Sekitar 2,5 juta orang terpaksa mengungsi dari kampung halamannya.

Sampailah kecaman dunia internasional ke telinga Bashir, yang terus menyangkal hubungan antara dirinya dengan Janjaweed. Pada 2004, sebanyak 7.000 personel tentara perdamaian Uni Afrika diterjunkan ke Darfur. Tapi jumlah ini ternyata tak cukup mampu menghalau serangan brutal milisi Janjaweed. Baru pada 2008 tentara perdamaian PBB ikut bergabung dan mengirim lebih dari 22.000 personel guna melawan kebrutalan Janjaweed.

Kekacauan di Sudan

Memang benar bahwa sebelum era Bashir, Sudan telah dirusak oleh perang. Ketika Sudan memproklamasikan kemerdekaan pada 1 Januari 1956, Perang Sipil Sudan pertama sudah berlangsung sejak setahun sebelumnya dan baru berakhir pada 1972.

Demografi Sudan terbagi dalam kelompok-kelompok besar berdasarkan etnis dan agama. Wilayah utara Sudan dihuni oleh penduduk yang mayoritasnya adalah Arab Muslim. Adapun warga Kristen dan penganut agama lokal tinggal di selatan. Pada 1983, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan selatan (SPLA) mendesak agar Sudan menerapkan demokrasi yang sepenuhnya sekuler. Mereka juga menuntut penentuan nasib sendiri (self-determination). Sejak itu, pecahlah Perang Sipil Sudan Kedua sampai 2005. Dua perang sipil yang saling berkaitan ini akhirnya memicu wilayah Sudan selatan memisahkan diri dan menjadi sebuah negara berdaulat pada 2011.

Naiknya Bashir ke tampuk kekuasaan pada 1989 tidak hanya melanggengkan dominasi rezim militer yang kacau di Sudan—tetapi lebih dari itu, melanggengkan oligarki militer yang bersekutu dengan kalangan Islam radikal.

Pasca-kudeta 1989, New York Times melaporkan bahwa pemerintahan berada di bawah kendali Dewan Komando Revolusi untuk Keselamatan Nasional (RCCNS-Sudan). Bashir duduk sebagai pemimpin yang merangkap beberapa jabatan sekaligus: sebagai Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Sudan. Persis seperti Idi Amin, diktator buas dari Uganda.

Sebagaimana dicatat Reuters, Bashir baru membubarkan pemerintahan junta militer pada Oktober 1993 dan bersalin diri sebagai seorang presiden “sipil”. Ia pun merancang sebuah pemerintahan yang diklaim berdasarkan syariat Islam.

Front Islam Nasional yang dipimpin Turabi sejak 1961 praktis menjadi partai utama penyokong pemerintahan Bashir. Akhir 1990-an, Front Islam Nasional berubah menjadi Partai Kongres Nasional (NCP) yang langsung dikendalikan Bashir. Namun di tengah perjalanan, Turabi dan Bashir pecah kongsi pada 1999. Setelah dikeluarkan dari NCP, Turabi pun membangun kekuatan oposisi melalui Partai Kongres Populer (PCP).

Turabi yang pada 1954 pernah membantu mendirikan cabang Ikhwanul Muslimin di Sudan itu berbalik arah melawan Bashir, bekas sekutu dekatnya. Ia menjadi satu-satunya politisi Sudan yang mendukung surat penangkapan Bashir yang dikeluarkan ICC atas tuduhan kejahatan perang, kemanusiaan dan genosida di Darfur.

Sejak lepas dari pengaruh Islamis ala Turabi, Bashir dan NCP membentuk poros kekuatan mandiri yang berorientasi mempertahankan kekuasaan selama mungkin. Middle East Eye mencatat, Bashir memenangkan pemilu 2010 dan 2015 dengan jumlah pemilih yang rendah. Dua pemilu itu juga diwarnai oleh aksi boikot dari partai oposisi dan kecaman para pemantau pemilu internasional.

Di bawah konstitusi Sudan, Bashir tidak dapat lagi berpartisipasi dalam Pilpres 2020. Ia sendiri mengatakan akan mengakhiri jabatan pada 2020. Tapi komitmen sang diktator ternyata tak berlaku bagi NCP dan faksi-faksi pro-Bashir. Beberapa pejabat sudah menyatakan dukungan atas pencalonan Bashir pada Pilpres 2020.

Skenario yang mungkin terjadi: Bashir dan partai penguasa akan mengamandemen konstitusi sehingga memungkinkannya untuk terus berkuasa.

Sejak Januari 2018, gelombang demonstrasi anti-pemerintah meningkat seiring memburuknya krisis ekonomi. Pihak keamanan menangkap tokoh oposisi, aktivis, dan pemrotes pada bulan Januari 2018. Jumlah tahanan politik di Sudan kembali membludak.

Infografik Omar hassan al Bashir

Seperti diwartakan The New Arab pada 11 April lalu, Bashir akhirnya memerintahkan agar para tapol dibebaskan demi, tulis kantor berita resmi Sudan SUNA, "mempromosikan perdamaian dan harmoni di antara semua partai agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya cita-cita bangsa."

Meski puluhan aktivis dibebaskan, rupanya masih banyak yang meringkuk di balik jeruji. Di antaranya Khaled Omar dari Partai Kongres Sudan,` dan Mokhtar al-Khatib, ketua Partai Komunis Sudan. Perintah Bashir untuk melepas tapol sejatinya bertujuan untuk meredam kritik atas pelanggaran HAM yang selama ini terus dialamatkan kepadanya.

Sudan di bawah rezim Bashir adalah contoh sempurna perkawinan militer dan kaum Islamis yang dalam perjalannya justru saling tikam. Dalam jurnalnya "Sudan and the Unbearable Lightness of Islamism: From Revolution to Rentier Authoritarianism (2017), Giorgio Musso menyebutkan bahwa aliansi militer-Islamis dan deklarasi Sudan sebagai negara Islam memang jalan pintas yang sengaja ditempuh Bashir untuk berkuasa.

Namun hasilnya, Sudan malah menjelma neraka bagi petani miskin serta kaum minoritas agama dan etnis—dengan gerbang yang dijaga ketat oleh dua spesies jagal yang saling tusuk. Yang satu berseragam loreng. Yang lain berjubah putih.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf