tirto.id - Zimbabwe terus dilanda kegaduhan. Terakhir, militer melakukan manuver kudeta dengan mengambil alih kekuasaan negara dari tangan Mugabe. Setelah merebut stasiun televisi milik pemerintah, seorang juru bicara militer mengumumkan bahwa mereka menarget orang-orang dekat Mugabe yang telah menyebabkan "penderitaan sosial dan ekonomi" di Zimbabwe.
Dilaporkan BBC, tembakan artileri dan senjata berat terdengar dari bagian utara ibu kota Harare pada Rabu (15/11) waktu setempat.
Seorang jenderal militer lainnya dalam sebuah pernyataan membantah aksi tersebut dikatakan sebagai kudeta. Ia mengatakan bahwa kondisi Mugabe aman tanpa membeberkan lokasi persisnya.
Sejak Selasa (14/11) para tentara menyerbu markas penyiaran media ZBC, lengkap dengan kendaraan lapis baja mengambil posisi di jalanan sekitar Ibu Kota Harare.
Mayjen Sibusiso Moyo dalam siarannya kembali mengatakan bahwa pasukannya ingin “memastikan Yang Mulia Presiden ... dan keluarganya aman dan sehat serta keamanan mereka terjamin."
"Kami hanya menargetkan penjahat di sekitarnya yang melakukan kejahatan ... yang menyebabkan penderitaan sosial dan ekonomi di negara ini," kata dia menjelaskan. "Begitu kita menyelesaikan misi kita, kita berharap situasinya akan kembali normal," tuturnya.
Presiden Mugabe diketahui telah memecat wakilnya, Emmerson Mnangagwa pekan lalu. Mnangagwa sebelumnya pernah digadang-gadang bakal mewarisi jabatan presiden, tapi Ibu Negara Grace Mugabe tak mau ketinggalan ingin tampil sebagai calon pengganti sang suami.
Mugabe yang sudah berusia 93 tahun dan memerintah sejak 1980 hingga kini masih belum diketahui keberadaannya.
Kup yang dilancarkan oleh militer nasional bukan kali ini saja terjadi di Zimbabwe. Sejak 1960-an, Afrika telah menghadapi 200 rentetan usaha kudeta baik yang berhasil dan gagal. Burkina Faso muncul sebagai negara di benua hitam terbanyak yang menyaksikan 10 usaha kudeta.
Baca juga:Game of Thrones ala Mugabe, Soeharto-nya Zimbabwe
Laporan yang dihimpun Quartz, enam diantara kudeta Burkina Faso terjadi pada 1980-an, termasuk dua di dalamnya dari usaha yang dipimpin oleh Blaise Compaore dan berhasil mengambil alih kekuasaan pada 1987. Blaise kemudian memerintah Burkina Faso selama 27 tahun sampai akhirnya dikudeta juga pada Oktober 2014.
Bergeser ke Guinea-Bissau. Di negara ini bahkan tidak ada presiden yang berhasil menyelesaikan masa jabatan secara penuh sejak merdeka pada 1974. Kudeta di Afrika umumnya berdarah. Lebih dari 30 perdana menteri dan presiden terbunuh dalam perebutan kekuasaan.
Dari 40 negara, 12 di antaranya kudeta terjadi dalam rentang lima tahun setelah memperoleh kemerdekaan. Secara total, 23 negara Afrika telah melihat setidaknya tiga kudeta.
Maraknya Kudeta Afrika
Istilah coup d’etat atau kudeta diambil dari Bahasa Perancis yang berarti “pukulan pada negara”. Dalam esai berjudul “Coup d’etats in Africa: The Emergence, Prevalence and Eradication” (2005)Valery Besong menyebut kudeta sebagai perebutan kekuasaan pemerintah yang berlangsung cepat dan menentukan oleh kelompok militer atau politik yang kuat. Penggulingan pemerintahan ini terjadi tiba-tiba dan bertujuan mengganti tokoh-tokoh yang menduduki kekuasaan tertinggi.
Berbeda dari revolusi, sebuah kudeta tidak melibatkan pemberontakan massal. Sebaliknya dalam kudeta, sekelompok kecil politisi atau perwira militer menangkap para pemimpin yang berkuasa, merebut stasiun radio dan televisi nasional, serta mendeklarasikan kekuasaan baru.
Selain menangkap, mengusir pemimpin, atau sekaligus mengambil alih kendali kantor-kantor pemerintahan, kelompok aktif yang berperan dalam kudeta merebut sarana komunikasi dan infrastruktur fisik, seperti jalanan dan pembangkit listrik.
Penelitian Patrick McGowan, profesor ilmu politik di Arizona State University menyebutkan bahwa antara 1956-2001 di Afrika Sub-Sahara, terjadi 80 aksi kudeta yang berhasil, 108 gagal dan ada 139 plot kudeta yang dilaporkan. Sejak kurun waktu tersebut, ada 11 percobaan kudeta yang dilaporkan sukses.
Lantas apa penyebabnya?
Menurut The Economist, Burkina Faso mencatatkan rekor dengan jumlah kudeta tertinggi di Afrika. Banyak faktor pendorong kudeta di negeri tersebut, misalnya kemiskinan, institusi yang lemah, partai oposisi yang terfragmentasi, dan sebagainya.
Para ahli umumnya juga menganggap kudeta berhasil jika sudah berlangsung minimal selama seminggu. Jika merujuk pada durasi, perebutan kekuasaan di Burkina Faso pada September 2015 lalu hanya sebuah coba-coba saja.
“Semi-kudeta September 2015 di Burkina Faso”, demikian lapor The Economist, "ternyata sekadar perebutan kekuasaan di dalam tubuh tentara". Mereka saling bersaing memperebutkan kekuasaan satu sama lain, seperti yang dikatakan Maggie Dwyer, pakar Afrika dari University of Edinburgh.
Situasi budaya politik Burkina Faso tak luput menjadi faktor pendorong kudeta. Negara ini memiliki sejarah protes publik dan kerusuhan kerja yang marak. Belitan faktor tersebut bahkan dijuluki oleh para ilmuwan politik sebagai “perangkap kudeta”. Tiap kali sebuah kudeta terjadi, akan membuat kemungkinan lain.
Baca juga:7 April 1994, Dimulainya Pembantaian Etnis Tutsi di Rwanda
Praktis mayoritas kudeta diikuti demonstrasi rakyat, misalnya pada 2014 ketika Presiden Burkina Faso Blaise Compaoré dipaksa turun takhta setelah 27 tahun berkuasa. Dari segi keberhasilan, fenomena demonstrasi rakyat mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa aksi-aksi kudeta di Burkina Faso cenderung berhasil. Ditambah kejadian pada 2015 lalu ketika para pengawal kepresidenan tidak berhasil melancarkan kudeta karena tidak ada dukungan rakyat.
Jika kudeta didefinisikan sebagai tindakan perebutan kekuasaan oleh kelompok militer, maka fenomena di Burkina Faso jelas tidak termasuk. Alih-alih, yang terjadi di sana adalah pengambilalihan kekuasaan yang didorong oleh aksi massa.
Paul Collier and Anke Hoeffler dalam artikel berjudul “Coup Traps: Why does Africa have so many Coups d’Etat?” (2005)menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan yang buruk meningkatkan risiko kudeta di negara-negara Afrika. Kebobrokan tata kelola pada akhirnya bersumber dari buruknya fondasi ekonomi Benua Hitam yang sejatinya kaya sumber daya alam. Afrika, menurut Collier dan Hoeffler, bisa diselamatkan dari ancaman kudeta jika mereka bisa mencapai pertumbuhan ekonomi ketimbang reformasi politik.
Solusi berbeda datang dari Valery Besong. Menurutnya, negara-negara Afrika perlu mendirikan pemerintahan yang demokratis dengan mengadopsi pemilihan independen yang menjamin pemungutan suara secara bebas dan adil, mendorong kebebasan berbicara, serta menghormati Hak Asasi Manusia dan aturan konstitusi.
Menurut Besong, dalam banyak kasus para pemimpin Afrika tak menjalankan resep-resep pemerintahan yang demokratis. Presiden Omar Bongo dari Gabon, misalnya, yang telah berkuasa sejak 1967. Meski beberapa kali memenangkan pemilu presiden, namun semuanya dilakukan dengan curang. Bongo bahkan mengintervensi penyusunan Konstitusi 2003 agar ia dapat mencalonkan diri lagi dan lagi.
Pola yang makin memperparah lingkaran kudeta turut didorong oleh perilaku penguasa yang melakukan kekerasan terhadap anggota partai oposisi, mengintimidasi pekerja pers, menyensor surat kabar, stasiun radio dan televisi yang kritis terhadap pemerintah yang lalim.
Besong menambahkan, upaya kudeta mungkin bisa gagal dengan pertimbangan bahwa dinas intelijen pemerintah dapat mendeteksi perencanaan kudeta serta menerima laporan dari dinas intelijen asing yang menginformasikan tahap-tahap rencana kudeta kepada pemerintah yang disasar. Perwira militer yang mengambil sikap setia pada pemerintah dan menghalau kelompok pasukan pemberontak pun mampu menggagalkan upaya kudeta.
Di Republik Afrika Tengah, kudeta 1965 terjadi di tengah belitan krisis anggaran dan maraknya kasus korupsi menteri. Faktor ini mendorong upaya-upaya penggulingan Presiden David Dacko yang dianggap sudah lemah. Situasi kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Kolonel Jean-Bedel Bokassa yang kebetulan punya ambisi pribadi untuk jadi penguasa.
Setelah hampir sebelas tahun berkuasa, Bokassa menobatkan diri sebagai kaisar dan akhirnya digulingkan juga dalam kudeta.
Dalam artikel "Military Coups and Military Regimes in Africa” (1983), Samuel Decalo melihat kesamaan kasus kudeta di Nigeria, Zaire (Kongo), Ghana, dan Uganda. Di negara-negara tersebut, kudeta digerakkan oleh para perwira tinggi militer. Salah satu contohnya adalah Idi Amin dari Uganda yang terkenal buas itu. Sebelum mendongkel kursi Presiden Militon Oboye, Amin menduduki jabatan strategis di Angkatan Darat.
Baca juga:Peran Inggris Membekingi Diktator Buas Idi Amin
Lain cerita dengan kudeta Ghana pada 1966 yang digerakkan perwira militer berpangkat rendah dan pejabat polisi. Dengan bantuan CIA, mereka berhasil menggulingkan Kwame Nkrumah, seorang pemimpin gerakan kemerdekaan Ghana dan arsitek perjuangan revolusioner Afrika pada abad ke-20.
Mobutu Sese Seko dari Kongo pun seorang tentara yang berkuasa selama 32 tahun melalui kudeta pada 1965. Di bawah pemerintahan Mobutu, perbedaan pendapat tak ditolerir. Ia bahkan menciptakan kultus pemimpin dengan mengenakan topi kulit macan dan menggenggam sebilah tongkat kayu berukir sosok elang di kepalanya.
Faktor Perang Dingin
Studi Habiba Ben Barka dan Mthuli Ncub “ Political Fragility in Africa: Are Military Coups d’Etat a Never-Ending Phenomenon?” (2012) menyebutkan bahwa Perang Dingin antara Blok Komunis dan Kapitalis adalah faktor penting dalam sejarah kudeta di Afrika.
Beberapa kudeta militer pada tahun-tahun awal kemerdekaan terinspirasi oleh faktor-faktor ideologis. Keinginan mengubah basis sosial negara dari oligarki ke demokrasi—seringkali juga sosialisme—jadi motif kudeta.
Setelah kudeta sukses dilancarkan, nyatanya mereka harus menghadapi pengaruh Perang Dingin antara dua negara adidaya (Amerika dan Soviet). Perebutan pengaruh diplomatik, militer dan ekonomi makin merusak struktur sosial dan politik di negara-negara Afrika yang masih muda.
Pada 1970-an, anggaran belanja militer di negara-negara Afrika melonjak, seraya diiringi korupsi yang meluas di tubuh angkatan perang dan rezim militer yang tengah berkuasa. Ketimpangan sosial pun tak meledak di mana-mana. Faktor-faktor tersebut menjadi bahan bakar sekitar 100 upaya kudeta militer antara 1970 sampai 1990.
Sebagian besar kudeta militer, baik yang berhasil maupun gagal, terjadi di kawasan Afrika barat. Jumlah kasus kudeta yang lebih rendah terjadi di kawasan Tengah dan Timur. Sementara kudeta militer lebih sedikit terjadi di wilayah selatan Afrika yang secara politis lebih stabil.
Baca juga: Sejarah Panjang Usaha Makar di Indonesia
Di Indonesia modern, percobaan kudeta pernah terjadi pada pada 23 Januari 1950. Pelakunya, bekas kapten pasukan khusus Belanda bernama Raymond Westerling, berusaha menguasai Jakarta dan ingin membunuh Sukarno. Rencana Westerling akhirnya tak pernah terwujud lantaran kurangnya pasokan senjata dan demoralisasi pengikutnya.
Tuntutan pembubaran parlemen oleh TNI pada 17 Oktober 1952 seringkali digolongkan sebagai upaya kudeta di Indonesia. Menurut militer, parlemen berusaha mencampuri urusan internal TNI. Sukarno menolak tuntutan militer dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution dibebastugaskan.
Tentu kudeta yang paling terkenal adalah peristiwa 1965. Pelaku utama percobaan kup adalah Letkol Untung, salah satu dari komandan batalyon pasukan Cakrabirawa yang tugasnya mengawal Presiden Sukarno. Untung dituduh bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia untuk menculik dan membunuh para petinggi Angkatan Darat. Pada akhirnya Untung dihukum mati, dan nama Suharto makin kinclong di tengah lemahnya kekuasaan Sukarno.
Babak selanjutnya telah jamak diketahui: Sukarno digulingkan dan Suharto melenggang berkuasa selama 32 tahun, sebelum akhirnya digulingkan oleh aksi massa 1998.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf