tirto.id - Sudah lama tidak ada orang Indonesia yang ditangkap karena tuduhan melakukan makar. Kemarin (2/12/2016), 10 orang ditangkap oleh kepolisian karena didakwa melakukan permufakatan jahat dan makar kepada pemerintahan yang sah.
10 orang yang ditangkap menjelang aksi bela Islam III adalah Ahmad Dhani, Eko Suryo Santjojo, Adityawarman, Kivlan Zein, Firza Husein, Rachmawati Soekarnoputeri, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rizki Kobardi dan Jamran.
Kesepuluh orang tersebut ditangkap atas tuduhan pasal 107 jo 110 dan jo 87 tentang permufakatan jahat untuk makar, Pasal 28 Undang-Undang ITE dan Pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa atau presiden.
"Kenapa dituduh pasal tersebut, hasil dari penyidikan, pengumpulan informasi dari berbagai sumber dan proses pengumpulannya informasi setengah bulan lebih. Jadi bisa dilakukan tindakan hukum berupa penangkapan," kata Rikwanto.
Di Indonesia, sejumlah makar juga sempat mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Ada yang menginginkan kekuasaan, ada yang bermotif dendam, ada yang sekadar ingin ada pergantian pemimpin. Nyatanya, kudeta memang ada di Indonesia dalam berbagai bentuknya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan "makar" sebagai (salah satunya) perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang sah. Ada istilah lain yang lebih populer yaitu "kudeta" yang menurut KBBI berarti "perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa".
Biasanya, ada dukungan militer di balik kudeta. Ahli politik sohor Amerika Samuel P Huntington mengidentifikasi tiga jenis kudeta. Pertama, kudeta sempalan, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang dapat terdiri dari militer atau tentara yang tidak puas dengan kebijakan pemerintahan tradisional saat itu. Mereka kemudian melakukan gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah tradisional dan menciptakan elit birokrasi baru.
Kedua, kudeta wali, oleh sekelompok pengkudeta yang akan mengumumkan diri sebagai perwalian untuk meningkatkan ketertiban umum, efisiensi dan mengakhiri korupsi. Para pemimpin kudeta tipe ini biasanya menyatakan bahwa tindakan mereka hanya bersifat sementara dan akan menyesuaikan dengan kebutuhan. Biasanya, kudeta macam ini dilakukan dengan cara mengubah bentuk pemerintahan sipil kepemerintahan militer.
Ketiga, kudeta veto, yang dilakukan dengan melibatkan partisipasi dan mobilisasi sosial dari sekelompok massa rakyat dalam melakukan penekanan berskala besar yang berbasis luas pada oposisi sipil. Kudeta veto mirip dengan revolusi kekuasaan. Salah satu contohnya adalah reformasi 1998 yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Dalam sejarah Indonesia, Soeharto adalah Presiden pertama yang dituntut mundur.
Kudeta Pra Kemerdekaan
Catatan kudeta Indonesia sudah terekam sejak zaman kerajaan feodal Hindu. Salah satunya adalah kudeta Ken Arok yang merebut kekuasaan di Tumapel dari tangan Tunggul Ametung. Ken Arok adalah salah satu pelaku kudeta penting dalam sejarah Indonesia.
Kudeta disiapkan melalui sebuah rencana yang tersusun rapi di tahun 1222. Keris buatan Mpu Gandring pesanan Ken Arok tertancap dan membunuh Tunggul Ametung. Kebo Ijo dijadikan kambing hitam atas terbunuhnya Tunggul Ametung. Setelahnya, Ken Arok jadi penguasa Tumapel dan mengawini janda Tunggul Ametung yang katanya cantik, Ken Dedes.
Pemberontakan Kuti terhadap Raja Majapahit bernama Jayanegara juga disebut kudeta. Pada 1319, Kuti berhasil menguasai ibukota Majapahit, sehingga Jayanegara yang dikawal Gajah Mada harus menyingkir ke Badander. Belakangan, Gajah Mada jadi pahlawan Majapahit yang berhasil menumpas pemberontakan itu, lalu diberi jabatan patih.
Di masa berikutnya, ada kudeta oleh Aria Penangsang terhadap Kesultanan Demak di tahun 1549. Sunan Prawoto, anak dari Sultan Trenggono terbunuh oleh orang suruhan Penangsang bernama Rungkud. Pembunuhan itu terkait dengan balas dendam terhadap Prawoto yang membunuh ayahnya, Pangeran Sekar. Dendam Aria Penangsang itu menjadi akhir catatan buram Kesultanan Demak, yang dianggap kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kisah perebutan kekuasaan tak berhenti disitu. Setidaknya, ketika VOC berkuasa di Indonesia dengan berpusat di Batavia atau Betawi, pernah ada Kapitan Jonker yang dituduh akan melakukan perebutan kekuasaan pada 1689. Tuduhan rencana makar oleh Kapitan Jonker ini lemah bukti. Ini mengingat sebelumnya Kapitan Jonker, tokoh masyarakat Ambon yang punya banyak tanah di Marunda, adalah orang yang berjasa dalam mengalahkan musuh-musuh VOC di beberapa wilayah di Indonesia.
Setelah Kapitan Jonker, Pieter Erberveld, pengusaha kaya di Betawi berdarah Belanda Jerman, juga dianggap orang yang berusaha melakukan makar di Batavia. Jika Jonker dituduh berkomplot dengan keturunan Sultan Banten, yang dulu diperangi Jonker, maka Pieter dituduh berkomplot dengan dengan orang-orang dari Jawa pada 1721. Baik Jonker dan Pieter, yang sama-sama bekas orang kepercayaan Gubernur Jenderal Speelman itu, akhirnya dibunuh VOC.
Kepala Pieter dipenggal bersama 18 orang lainnya. Pieter dimakamkan di suatu sudut Jalan Pangeran Jayakarta. Tugu peringatan soal Pieter bahkan pernah dibuat di Kampung Pecah Kulit, dengan tujuan agar tidak ada lagi makar di Betawi. Namun, setelah itu memang masih ada usaha besar untuk mengkudeta Gubernur Jenderal di Betawi.
Hampir semua kaum pergerakan nasional tidak pernah berniat melakukan kudeta untuk menyingkirkan Gubernur Jenderal. Mereka yang dianggap koperatif, paling radikal, hanya mengajukan petisi Indonesia berparlemen, tidak lebih. Mereka yang keras pada pemerintah kolonial hanya berusaha mempersiapkan revolusi yang tak jelas kapan akan meletus. Partai Komunis Indonesia, di tahun 1926, hanya melakukan pemberontakan tanpa arah yang lebih mirip kerusuhan ketimbang perebutan kekuasaan. Mereka hanya menyerang kantor pemerintahan, tak jauh beda dengan Pemberontakan Petani Banten 1888.
Barangkali apa yang dilakukan kelompok Nani Wartabone di Gorontalo pada 23 Januari 1942 boleh disebut kudeta juga. Jelang kalahnya Hindia Belanda oleh Jepang, di Gorontalo dan sekitarnya, pemerintah kolonial memerintahkan pembumihangusan kopra yang jadi pemicu pemberontakan. Pada 23 Januari 1942 itu, massa rakyat memadati Lapangan Tenis Gorontalo. Semua orang yang bekerja pada pemerintah kolonial, terutama orang-orang Belanda, ditahan. Nani Wartabone kemudian berpidato.
“Mulai hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita sudah bebas dari penjajahan Belanda, bendera kita Merah Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya,” ucapnya yang mirip dengan sebuah proklamasi pembebasan Gorontalo dari pemerintah kolonial. Kudeta ini terlaksana karena Hindia Belanda mulai kacau oleh kedatangan Jepang.
Kudeta semacam ini terjadi juga di Nias. Bukan oleh orang-orang Indonesia, melainkan orang-orang Jerman yang ditahan di Gunungsitoli. Orang-orang Jerman ini sebelumnya hampir tenggelam ketika kapal Belanda yang menawan untuk dibawa ke arah India dibom oleh pesawat Jepang. Mereka juga hampir jadi santapan hiu sebelum terdampar di Nias. Polisi kolonial menahan mereka.
Menurut Rosihan Anwar, dalam bukunya Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia (2004), kudeta orang-orang Jerman itu terjadi pada 29 Maret 1942. Mereka berhasil membujuk polisi pribumi untuk melepaskan mereka dari penjara. Keluar dari penjara, orang-orang Jerman ini melancarkan perebutan kekuasaan dengan menawan semua orang Belanda di kota kecil di Pulau Nias tersebut. Setelah sukses, maka Fischer diangkat menjadi semacam Perdana Menteri. Pemerintahan ad interim ala NAZI Jerman ini selesai setelah datangnya militer Jepang ke pulau tersebut.
Mengkudeta Soekarno
Sesaat setelah Indonesia merdeka, ada sejumlah kudeta di tengah kekosongan kekuasaan. Di awal kemerdekaan, terjadi Peristiwa 3 Juli 1946 yang menuntut pergantian pimpinan pemerintahan. Tuntutannya bukan untuk menggeser Soekarno sebagai Presiden, hanya pergantian Perdana Menteri. Ketika itu, sistem parlementer berlaku di Indonesia. Soekarno berbesar hati dengan mengampuni pelaku, karena Indonesia berfokus menghadapi Belanda. Muhammad Yamin yang terlibat saja tidak dihukum berat. Yamin masih termasuk orang kepercayaan Soekarno juga.
Satu-satunya kudeta yang bertujuan mengulingkan negara Republik Indonesia adalah Kudeta 23 Januari 1950. Bekas kapten pasukan khusus Belanda Raymond Westerling dan pasukannya, dengan tanpa perhitungan matang, berusaha menguasai Jakarta, serta berharap Soekarno terbunuh. Namun, rencana Westerling tak pernah terwujud. Dia kekurangan senjata dan ditinggalkan orang-orang yang semula mau ikut gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpinnya tersebut.
Peristiwa 17 Oktober 1952 yang menuntut pembubaran parlemen oleh militer oleh beberapa pihak digolongkan sebagai kudeta. Parlemen dianggap berusaha mencampuri urusan intern militer. Lagi-lagi Soekarno menolak. Buntutnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution dibebastugaskan.
Kudeta paling terkenal dalam sejarah Indonesia adalah G 30 S, yang sebagian orang menyebutnya sebagai G 30 S/PKI. Pelaku utama pemberontakan, yang dilancarkan sejak 30 September 1965 ini, adalah Letnan Kolonel Untung, salah satu komandan batalyon pasukan pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa. Untung tak bertujuan menggulingkan Presiden Sukarno. Ia dituduh mengkudeta untuk PKI. Untung menculik dan menghilangkan nyawa para petinggi Angkatan Darat seperti Letnan Jenderal Ahmad Yani dan jenderal lainnya. Kudeta ini juga tanpa arah.
Untung akhirnya tertangkap dan segera dihukum mati. Setelah Supersemar diberikan kepada Soeharto, kekuasaan Soekarno semakin lemah dan Soeharto semakin kuat dan populer. Tak sampai dua tahun setelah kudeta ini, Soekarno dilengserkan dari kursi Kepresidenan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dulu mendukung Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, justru menolak pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara.
MPRS yang dipimpin Abdul Haris Nasution lalu mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia pada 1967. Soeharto sendiri akhirnya kehilangan kekuasaannya setelah berkuasa selama 31 tahun. Ia mengundurkan diri setelah Indonesia diterpa krisis yang berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran dari massa yang didominasi mahasiswa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti