tirto.id - Sebelum ayam berkokok pada Jumat (2/12/2016), 10 orang ditangkap pihak kepolisian. Tujuh dari mereka dituduh melakukan makar untuk menggulingkan permerintah dengan menunggangi Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 yang diinisiasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Pemerintah dianggap sengaja menjerat mereka dengan pasal karet karena ketakutan timbul kegaduhan. “Faktanya, pemerintah sangat takut dengan kritik langsung dan upaya-upaya untuk mengekspresikan ketidakpuasan pada pemerintah,” ungkap Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa kepada Tirto, Minggu (4/12/2016).
Pasal makar yang menjerat mereka, sejatinya telah melewati berbagai periode zaman yang panjang. Istilah makar berasal dari bahasa Belanda yaitu “aanslag”. Jika diartikan, serangan yang tidak baik atau “aanval”. Istilah makar dapat dipahami sebagai persekongkolan dengan maksud hendak melakukan perbuatan penyerangan terhadap pemerintahan. Sedangkan maksud dari menggulingkan pemerintahan ialah menghancurkan bentuk pemerintahan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan.
Pasal makar sendiri terdapat dalam Buku III Bab I, terkait Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Ada beragam rentetannya, mulai dari Pasal 104 KUHP tentang makar terhadap keselamatan presiden dan wakilnya, Pasal 106 KUHP tentang makar kepada wilayah negara, dan Pasal 107 KUHP tentang makar kepada pemerintahan. Sisanya, tiga pasal lain terkait makar yang berhubungan dengan negara sahabat.
AB Loebis dalam bukunya berjudul Apa Itu Kejahatan-Kejahatan Politik menegaskan bahwa tuduhan makar (conspiracy) adalah sulit untuk dibuktikan. Sebab hal tersebut lumrah ditafsirkan oleh masyarakat atau orang awam sebagai alasan yang dicari-cari. Dia juga menganggap bahwa pasal makar sering digunakan penguasa untuk menghukum lawan politiknya. Dengan tegas dia menyatakan, tuduhan makar adalah tuduhan yang samar-samar.
Hal serupa dikatakan oleh Alghiffari. Dia menilai, pasal makar merupakan ketentuan dengan kriteria yang tidak terukur dan multitafsir. Sifat subyektifnya untuk menafsirkan secara karet, berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah. Maka secara substantif bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan negara hukum. Sebab pasal karet tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Kebanyakan pasal ini digunakan untuk memberangus aksi-aksi damai yang tak disukai pemerintah. Misalnya pejuang Filep Karma yang ditahan hanya karena aksi damai meminta Papua Merdeka.
“Itu pasal karet karena selalu mudah diterjemahkan oleh penguasa ataupun aparat terhadap aksi-aksi demokratik ataupun aksi menyampaikan pendapat yang sebetulnya dilindungi undang-undang. Pasal ini bermasalah dan selalu digunakan sebagai alat untuk menghambat kemerdekaan berekspresi ataupun menyampaikan pendapat,” bebernya.
Jika meninjau frasa “dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan” dalam Pasal 107 KUHP, memiliki rumusan atau kriteria yang tidak jelas, tidak terukur dan multitafsir. Maka dari itu dengan mudah digunakan pemerintahan yang berkuasa untuk menekan dan memberangus lawan-lawan politik dan para aktivis pro demokrasi, setidak-tidaknya digunakan untuk menakut-nakuti mereka.
Memang tuduhan makar seringkali menjadi alat untuk melawan orang atau kelompok tertentu yang pemerintah anggap sebagai ancaman atau musuh. Pasal tersebut pernah digunakan sesuai fungsinya di ranah poltik untuk menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan Tragedi 21 Mei 1998. PRD dituduh memunculkan kegaduhan dan makar dengan tujuan menggulingkan pemerintahan. Maka dari itu, Budiman Sudjatmiko, yang kala itu menjadi Ketua Umum PRD, ditahan bersama kawan-kawannya.
Pasal makar tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal tersebut mengebiri hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi. Melalui aparatur penegak hukum, pemerintah bisa dengan mudahnya meredamnya. Jika diteruskan, tentu akan memgurangi keterlibatan warga untuk turut serta mengritisi dan mengontrol agar tercipta pemerintahan yang bersih KKN.
“Makar seharusnya diartikan, sebuah tindakan yang menggunakan kekerasan untuk menggulingkan pemerintahan. Ketakutan kita, ini justru akan membuat orang-orang takut untuk membicarakan ketidakpuasannya pada pemerintah,” ujarnya.
Materi muatan Pasal 107 KUHP juga tergolong represif. Hal itu lantaran mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang. Di sisi lain, menimbulkan terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah yang berkuasa.
Meredam Lawan Politik
Di masa kepemimpinan Jokowi, pasal makar dijadikan salah suatu keistimewaan guna memberikan perlindungan yang sangat berlebihan terhadap kepentingan kekuasaan.
Padahal di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, banyak pihak yang menginginkan dia dijatuhkan. Namun, karena hal tersebut hanya sebatas penyampaian ekspresi tanpa unsur penyerangan dan kekerasan, maka SBY tak menghantamnya dengan pasal karet.
“Tidak ada yang dijerat pasal makar aktivis-aktivis yang teriak turunkan SBY, gulingkan SBY. Yang ada hanya klarifikasi atau manuver politik tertentu SBY untuk meredam. Tapi tidak menggunakan institusi kekuasaan atau institusi penegak hukum untuk meredakan itu semua,” tuturnya.
Alghiffari juga menganggap ada keanehan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi. Sebab yang ditahan hanya 3 orang. Padahal jika telah menjadi tersangka pasal makar, harusnya 4 orang lainnya justru ditahan juga. Secara obyektif, ancaman hukuman 5 tahun dan secara subyektif dikhawatirkan melakukan tindak pidana, melarikan diri, juga menghilangkan alat bukti.
“Jika orang sudah ditetapkan tersangka, harusnya sudah betul-betul yakin polisi dengan alat bukti yang cukup bahwa dia adalah pelakunya. Kalau betul-betul yakin, berarti kan orang ini berbahaya bagi negara. Ini berbahaya bagi negara tapi tidak ditahan kan aneh. Makanya bisa jadi polisi memang menangkap mereka hanya untuk meredam aksi yang akan mereka lakukan,” ungkapnya.
Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum Rachamawati Soekarnoputri dan Ratna Sarumpat berujar bahwa, mereka yang ditahan tak mungkin melakukan makar. Menurutnya, mereka hanya melakukan rapat-rapat kecil untuk mengritik pemerintah. Maka dari itu dia menilai, penangkapan paksa terhadap 11 orang tersebut hanya upaya meredam Aksi Super Damai 211 di Monumen Nasional, Jakarta.
“Saya melihatnya mungkin polisi melakukan upaya preventif saja, supaya demo atau aksi damai berlangsung tertib, tidak terjadi apa-apa. Lalu mengambil langkah preventif sejumlah tokoh ditangkap. Walaupun mereka tidak ditangkapi, belum tentu terjadi apa-apa juga,” kata Yusril saat ditemui di Eatery Bar Hotel Century Atlet Senayan, Minggu (4/12/2016).
Sedangkan Alghiffari mengingatkan kembali, bahwa mengetahui alat bukti yang sudah dikantongi pihak kepolisian merupakan hal yang penting. Sebab jika alat bukti misalnya terkait Sri Bintang Pamungkas, berupa surat ke MPR dan sikap ingin agar lembaga tersebut mengganti UUD 1945, itu hanya hal biasa. Apalagi Ahmad Dhani yang memiliki ideologi tak konsisten. Dia tak akan bisa menggulingkan pemerintah atau membuat upaya terencana dan kekerasan, sehingga membuat situasi chaos dan pemerintah tumbang.
“Mekanisme menggulingkan presiden, kan, juga tidak mudah setelah amandemen undang-undang dasar yang ke-4. Sekarang sistem kita presidensil yang kuat. Memecat presiden harus lewat MK. Baru dikembalikan lagi ke MPR. Jadi kalau suratnya Sri Bintang dianggap sudah merupakan tindakan makar, menurut saya itu terlalu mengada-ada,” tegasnya.
Maka dari itu, Alghiffari mengusulkan agar pasal makar dalam KUHP dihapuskan. Sebab pasal tersebut telah ketinggalan zaman. Sebab negara demokrasi harus menghormati prinsip-prinsip supremasi hukum dan HAM. Kalaupun tak ingin dihapuskan, DPR harus berhati-hati dalam merevisi KUHP, khususnya terkait pasal makar.
“Seharusnya DPR merumuskan pembeda dengan betul-betul, mana yang merupakan makar dengan kekerasan, mana yang hanya sekedar menyampaikan ekspresi, misalnya mengibarkan bendera ataupun berujar hal-hal yang menunjukkan ketidakpuasan pada pemerintah. Itu harus dihapus dari KUHP ketentuan pidana seperti itu. Tapi DPR harus mempertegas bahwa tindakan makar adalah tindakan dengan kekerasan melakukan penyerangan untuk menggulingkan pemerintah,” jelasnya.
Delik makar dalam KUHP memang mengandung unsur dari Undang-Undang subversif. Maka dari itu, jalur lain untuk mengubahnya ialah melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Harusnya agar tak terulang kejadian pembungkaman atas nama kekuasaan pemerintah untuk meredam kritik atau pendapat, tujuh orang yang dijerat pasal tersebut mengajukan judicial review ke MK. Jika tidak, sampai kapanpun pasal makar ini sangat rentan untuk ditafsirkan sesuai kehendak penguasa.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS