tirto.id - Paus Fransiskus pada April lalu mengajak dan mengundang 12 pengungsi perang Suriah datang ke Vatikan. Ia berharap, dunia akan mengartikan peristiwa ini sebagai tragedi yang perlu segera ditangani. Paus Fransiskus bukan sekali ini saja berpihak terhadap para pengungsi perang. Ia selalu mengimbau para Katolik di dunia untuk menerima para pengungsi sebagai tamu, sebagai manusia, yang sedang membutuhkan. Apa yang dilakukan Paus Fransiskus itu lantas membuat negara-negara Eropa seperti Jerman dan Inggris membuka lebih banyak pintu bagi para pengungsi, terutama dari Suriah.
Gelombang pengungsi Suriah memang sangat besar, setelah konflik melanda negara tersebut sejak 2011. Antonio Guteres, Komisioner PBB untuk pengungsi, menyebut konflik di Suriah telah menjadi tragedi paling besar abad ini. Perang saudara berkepanjangan membuat penduduk Suriah memilih kabur. UNHCR mencatat ada 4,8 juta orang yang mengungsi dari negara itu sejak perang terjadi.
Tetapi, mengungsi bukanlah peristiwa yang mudah. Mereka kerap mengalami diskriminasi, penolakan, dan juga kecurigaan. Tidak sedikit negara yang menolak kehadiran mereka. Ini disebabkan karena xenophobia, atau ketakutan akan orang asing yang dianggap mengancam.
Negara Ramah Pengungsi
Pada 19 Mei, Amnesty International, merilis laporan riset Refugees Welcome Index atau indeks ramah pengungsi. Dalam laporan itu, Amnesty International melakukan penelitian di 27 negara dan melibatkan 27.000 orang. Hasilnya, Cina merupakan negara paling ramah terhadap pengungsi. Empat dari lima orang di Cina mengatakan mereka akan menyambut dan menerima pengungsi di lingkungan mereka.
Para penduduk Jerman dan Inggris juga merupakan negara yang paling ramah terhadap pengungsi. Warga dari dua negara itu menyatakan, mereka secara personal akan membantu para pengungsi tanpa melibatkan negara.
Indeks Ramah Pengungsi yang dikeluarkan Amnesty International menunjukkan bahwa hampir sepertiga warga Inggris, 29 persen, bersedia untuk membuka rumah mereka sendiri bagi para pengungsi. Sementara 47 persen lainnya bersedia membiarkan para pengungsi tinggal di lingkungan rumahnya. Sementara 96 persen warga Jerman bersedia menampung para pengungsi di rumah pribadi mereka. Negara ini juga yang telah memberikan 468.000 pengungsi Suriah tempat untuk tinggal.
Meski demikian, tidak semua negara ramah terhadap para pengungsi. Rusia, Tailand dan Indonesia menduduki peringkat paling buncit dalam indeks ramah pengungsi tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam Indeks itu diketahui bahwa dari 1.000 orang yang menjadi sampel penelitian diketahui hanya satu persen orang Indonesia yang bersedia menampung para pengungsi tadi di rumah mereka. Sementara tujuh persen bersedia membiarkan para pengungsi tinggal di antara lingkungan mereka. Selebihnya menolak menampung pengungsi di rumahnya.
Pengungsi di Indonesia
Tahun lalu, Indonesia kebanjiran pengungsi Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh. Para nelayan Aceh paling depan menyelamatkan para pengungsi ini. Mereka juga yang pertama kali memberikan bantuan awal seperti memberikan pakaian, tempat tinggal sementara, dan penyelamatan bagi pengungsi yang tenggelam.
Setelah Warga Aceh ramai-ramai membantu, pemerintah kemudian bergerak. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Kementerian Sosial siap menampung anak-anak yatim piatu pengungsi Rohingya di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) di Bambu Apus, Jakarta. Selain itu, Kementerian Sosial akan memberikan bantuan untuk menangani trauma para pengungsi Rohingya yang berada di penampungan di Provinsi Aceh.
Pada Mei tahun lalu data jumlah pengungsi Rohingya dan Bangladesh mencapai 1.759 jiwa di empat titik dengan rincian sebanyak 564 jiwa di Punteut Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Sebanyak 672 jiwa ditampung di Pelabuhan Kuala Langsa Kota Langsa, 476 jiwa di Bireun Bayeun Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur dan sebanyak 47 jiwa di gedung milik Pemda Kabupaten Aceh Tamiang.
Bagaimana kondisi para pengungsi di Indonesia? Masih dari data Amnesty International, pada 2013 hanya 900 orang dari 3.300 pengungsi yang ada di Indonesia diterima sebagai warga negara. Angka itu jauh dibandingkan pada 2014, yakni hanya 528 orang yang diterima. Dari jumlah itu, tak ada satupun dari mereka yang berasal dari Rohingya.
Prosedur seorang pencari suaka untuk bisa diterima sebagai warga negara Indonesia memang lumayan rumit. Seorang pencari suaka yang meminta perlindungan akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi (RSD), yang dimulai sejak tahap pendaftaran atau registrasi pencari suaka. Setelah registrasi, UNHCR dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan wawancara terhadap pencari suaka tersebut.
Proses wawancara akan melahirkan alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak. UNHCR, lembaga PBB yang konsen pada pengungsi dunia, menyebut sampai dengan akhir Januari 2016, sebanyak 7.616 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (50 persen), Somalia (10 persen) dan Myanmar (5 persen).
Ada beberapa alasan mengapa para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mengalami penolakan. Misalnya para pengungsi etnis Hazara (koreksi, sebelumnya disebut Phastun) dari Afganistan yang mayoritas muslim bermazhab Syiah, mereka ditolak karena berbeda mazhab dengan kebanyakan muslim sunni di Indonesia. Persoalan komunikasi dan perbedaan budaya membuat para pengungsi ini menjadi asing di Indonesia dan tak mampu berbaur. Pada satu titik ini menimpulkan konflik antar warga.
Selain itu, banyak pengungsi dan pencari suaka sebenarnya tidak bertujuan menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama. Roshan Learning Center, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada pengungsi yang berasal dari Afganistan dan Iran di Indonesia, menyebutkan bahwa para pengungsi banyak menjadikan Indonesia sebagai batu pijakan. Tujuan utama mereka adalah Australia. Namun, sejak Australia menutup pintu suaka, banyak dari pengungsi itu terdampar di Indonesia. Sebagai alternatif, banyak para pengungsi dan pencari suaka itu yang berharap dideportasi ke Kanada, Amerika Serikat, dan Selandia Baru.
Sejauh ini kebijakan pemerintah terkait pengungsi masih sangat terbatas. Banyak para pengungsi ini yang nasibnya terkatung-katung, tidak sedikit pula yang dideportasi ke tanah asalnya yang justru menambah masalah. Untuk itu perlu formulasi kebijakan yang tepat guna. Misalnya bagi para pengungsi Rohingya yang memang butuh perlindungan dan suaka politik berbeda dengan pengungsi dari Afganistan dan Iran yang hendak mencari hidup lebih baik di Australia.
Pemerintah dituntut dapat menjebatani kebutuhan para pengungsi. Hal ini penting karena dari tahun ketahun Indonesia mendapatkan banyak pengungsi dari Timur Tengah dan negara tetangga seperti Myanmar. Tanpa standar penanganan yang tepat, bukan tidak mungkin para pengungsi ini makin menderita dan malah menambah masalah pemerintah daerah di mana mereka tinggal.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti