tirto.id - Jumat (14/8/2020), Alexandre Lukashenko kembali terpilih sebagai presiden Belarus untuk keenam kalinya. Kantor berita resmi pemerintah, BelTA menyampaikan hasil perhitungan suara final oleh komisi pemilu pusat atau Central Election Commission (CVK) bahwa Lukashenko mendulang 80,1 % suara, Svetlana Tikhanovskaya berada di urutan kedua dengan perolehan 10,12 % suara, dan kandidat lainnya masing-masing mendapatkan dukungan di kisaran 1 % (Anna Kanopatskaya, Andrei Dmitriyev, Sergei Cherechen).
Kandidat capres di posisi kedua, Tikhanovskaya, bersikeras menolak keputusan CVK, menilai hasil pemilu tidak mencerminkan kenyataan di bilik suara. Selain itu, muncul banyak dugaan kecurangan selama pemilu berlangsung karena kurangnya pengawasan di bilik-bilik suara. Radio Free Europe melaporkan, pihak berwenang Belarus justru menahan para pengawas independen yang berjaga sejak proses awal pengambilan suara setelah mereka mencatat lebih dari 2.000 pelanggaran di lokasi pemilihan suara di seluruh penjuru negeri. Di antara beberapa pelanggaran yang ditemukan adalah larangan bagi pengawas untuk mengecek bilik suara dan memastikan kotak suara sudah ditutup rapat sebelum dibawa pergi ke tempat perhitungan suara.
Minggu malam (9/8/2020), tepat setelah sesi perhitungan suara berakhir di ibu kota Minsk, protes massa terhadap hasil pilpres pun mulai menyeruak di berbagai daerah. Suasana di jalanan diwartakan ricuh. Polisi anti-huruhara menghalau demonstran dengan peluru karet, granat kejut, gas air mata, dan meriam air. BBC melaporkan sejumlah demonstran dipukuli aparat sampai lebam dan memar. Dari jurnalis Rusia, Mengutip Nikita Telizhenk yang meliput dari tahanan selama tiga hari, BBC juga melaporkan orang-orang tampak berbaring di lantai, ditumpuk-tumpuk satu sama lain di atas genangan darah dan kotoran manusia, tanpa diperbolehkan pergi ke toilet selama berjam-jam atau bahkan berganti posisi.
Komisaris Tinggi PBB untuk bidang HAM, Michelle Bachelet melaporkan sudah ada lebih dari 6.000 orang yang ditahan oleh otoritas Belarus selama tiga hari sejak pecahnya demonstrasi penolakan hasil pilpres. Selain itu, direktur Amnesty International untuk wilayah Eropa Timur dan Asia Tengah, Marie Struthers, mengungkapkan bahwa pusat-pusat penahanan telah menjadi tempat penyiksaan, menurut para demonstran yang pernah ditahan di sana. Terlepas dari menggunungnya bukti kekerasan dan pelecehan, pihak pemerintah sempat mengelak telah melakukan penyiksaan terhadap para tahanan, meskipun pada akhirnya menyampaikan permintaan maaf kepada publik dan membebaskan lebih dari 2.000 tahanan pada 14 Agustus.
Barisan Penantang Lukashenko
Lukashenko menjadi penguasa terlama—sejak 1994—di republik bekas anggota Uni Soviet yang merdeka pada 1991. Pada 2012, Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle menyebut Belarus “kediktatoran terakhir di Eropa”.
Awal Mei silam, aktivis pro-demokrasi dan vlogger Syarhei Tsikhanouski mengumumkan untuk maju sebagai kandidat capres, namun CVK menolak mendaftarkannya. Tsikhanouski mengelola kanal Youtubebernama A Country for Life yang diikuti oleh nyaris 300.000 subscriber. Di video-videonya, Tsikhanouski vokal mengkritik kebijakan Presiden Lukashenko. Sebelumnya, ia sempat ditahan karena meliput protes melawan isu integrasi Belarus-Rusia pada Desember 2019. Akhir Mei kemarin, ia kembali dipenjara atas tuduhan mengerahkan kerusuhan dan menghalangi kerja CVK. Sang istri, Svetlana Tikhanovskaya, akhirnya maju sebagai capres untuk menggantikannya.
CVK juga melarang dua calon kandidat capres kuat lainnya untuk maju, yaitu Viktor Babariko dan Valery Tsepkalo. Babariko, seorang mantan bankir, pada bulan Juni ditahan oleh polisi bersama dengan putranya Juni lalu dengan tuduhan terlibat pencucian uang dan pengemplangan pajak. Babariko pun tidak bisa maju sebagai capres karena proses hukum yang masih berjalan. Sementara itu, Tsepkalo , mantan diplomat dan pebisnis yang mendirikan semacam ‘Sillicon Valley’ di Belarus, tersingkir dari barisan kandidat capres karena hampir separuh jumlah tanda tangan petisi yang mengusungnya dianggap tidak sah oleh CVK. Diperlukan minimal 100.000 tanda tangan pendukung untuk bisa menominasikan diri sebagai sebagai kandidat capres Belarus.
Alexandr Feduta, jurnalis dan analis politik Belarusia, menyampaikan kepada Euronews bahwa kasus-kasus yang menimpa para kompetitor penguasa tidaklah mengejutkan. Cepat atau lambat, mereka pasti akan didorong keluar dari arena pertarungan.
Sejumlah organisasi kemanusiaan internasional pun meminta pihak berwenang Belarus segera melepaskan para tawanan politik, yang tidak terbatas pada tokoh-tokoh politik. Amnesty International (PDF) menyebutkan bahwa Tsikhanouski, Babariko, serta sejumlah jurnalis dan aktivis media sosial yang dipersekusi dan ditahan oleh pihak berwenang, merupakan prisoner of conscience, yang dihukum semata-mata karena mengekspresikan pendapat politik secara damai dan mempraktikkan hak-hak asasi mereka. Asosiasi penulis PEN juga menyoroti para jurnalis yang ditahan, salah satunya penulis peraih penghargaan, Paviel Seviaryniec, serta warga sipil lainnya seperti pemandu museum, pemusik, guru, presenter televisi, yang harus kehilangan pekerjaan setelah mengkritik pemerintah.
Belarus rasa Soviet ala Lukashenko
Dalam sebuah artikel yang terbit dua dekade silam berjudul “Lukashenko: Daddy or Dictator?”, koresponden CNN Graham Jones mengulas profil Lukashenko yang di dalam negeri dielu-elukan sebagai figur bapak pengayom dan pelindung, terutama oleh kalangan pensiunan dan masyarakat pedesaan. Jones menulis bagaimana Lukashenko digambarkan seperti Robin Hood bangsa Slavia lewat kegemarannya menangkapi pengusaha-pengusaha neoliberal, sehingga tak satupun meragukan populisme karismatiknya. Di sisi lain, model kepemimpinan Lukashenko juga dinilai otoriter karena maraknya kasus persekusi terhadap pihak oposisi dan media di bawah pemerintahannya.
Anders Åslund menulis di Atlantic Council bahwa awalnya Lukashenko adalah seorang populis tanpa program politik yang jelas, namun didaulat oleh mayoritas rakyat Belarus untuk menjadi pemimpin yang dipandang berlawanan dengan tatanan komunis lama. Åslund menjelaskan, agenda politik Lukashenko lambat laun mulai terbentuk atas tiga unsur utama. Pertama, restorasi sistem ekonomi era Soviet yang memberi negara kewenangan dominan untuk mengatur ekonomi nasional. Hal ini ditunjukkan melalui upaya mengakhiri reformasi pasar terbatas dan privatisasi yang sebelumnya sempat bergulir, serta fokus pada pengembangan badan usaha milik negara yang dibangun pada era Soviet, seperti Minsk Tractor Factory (MTZ), Minsk Truck Factory (MAZ), perusahaan kilang minyak Mozyr dan Naftan, serta perusahaan pupuk Belaruskali. Unsur kedua yang membentuk karakter politik Lukashenko adalah beragam bentuk represi politik, dan ketiga, kedekatan relasi politik dengan Rusia yang di antaranya terwujud melalui sokongan subsidi sumber daya energi dari Rusia. Singkatnya, Lukashenko mengadopsi sejumlah kebijakan ekonomi pemerintahan komunis yang dulu ia lengserkan, dan mempertahankan agar para bekas elite partai komunis tetap berada di dekatnya.
Sebelum Lukashenko berkuasa, sebenarnya sudah terbentuk suatu gerakan pro-demokrasi yang kritis terhadap Stalinisme. Didirikan pada 1988, Belarusian Popular Front (BPF), berkembang menjadi gerakan pendukung kemerdekaan Belarus yang di antaranya memperjuangkan pelestarian bahasa dan kebudayaan Belarus di bawah dominasi Rusia. Akan tetapi, ketika pemilihan presiden berlangsung pertama kalinya tahun 1994, perwakilan dari kubu demokrat kalah populer dibandingkan Lukashenko, mantan bos peternakan negara yang berganti haluan karier menjadi politikus anti-korupsi.
Jalan Politik Belarus Mulai Berubah?
Selama dekade pertama kepemimpinannya, Lukashenko memang menunjukkan sikap pro-Rusia yang kuat, seperti yang terwujud dalam Union State Treaty pada 1999 yang menggencarkan kerjasama Belarus-Rusia terutama di bidang kebijakan sosio-ekonomi, hubungan luar negeri, dan pertahanan. Kerjasama itu diharapkan mengarah pada penyatuan sistem mata uang dan tatanan hukum yang sama. Namun, hasil kerjasama itu tak juga membuahkan hasil positif. Relasi Belarus-Rusia justru semakin gersang sejak Desember 2019, karena Rusia tidak siap menyokong Belarus terus-menerus dengan subsidi energi tanpa integrasi ekonomi yang lebih dalam. Padahal, Belarus bergantung pada Rusia untuk 80 % kebutuhan energinya.
Carnegie Moscow Center (PDF) (2018) melaporkan, dalam beberapa tahun terakhir, Belarus memang mulai menunjukkan perubahan politik. Di antaranya, Belarus mulai mementingkan independensi dan menanamkan identitas nasional. Kebanyakan rakyat masih pro-Rusia, namun mereka cenderung tidak berkenan menyerahkan kedaulatan Belarus melalui integrasi dengan Rusia. Selain itu, kebijakan luar negeri Lukashenko terlihat semakin pragmatis, tampak dari upayanya untuk mencari keseimbangan melalui kerjasama tidak hanya dengan Rusia, melainkan juga dengan lembaga-lembaga Eropa dan Amerika Serikat seperti IMF, Bank Dunia, dan European Bank for Reconstruction and Development.
Pukulan Bertubi-tubi untuk Lukashenko
Seiring masifnya gelombang protes sebelum dan setelah pemilu, dapat ditelusuri sejumlah faktor yang melemahkan legitimasi kekuasaan Lukashenko di mata publik, salah satunya terkait penanganan COVID-19 yang morat-marit. Lukashenko terlihat meremehkan kasus COVID-19 melalui saran-sarannya kepada warga untuk minum lebih banyak vodka, mandi sauna, makan bawang putih, dan mengendarai traktor di lapangan. Tercatat hampir 70.000 kasus orang terinfeksi dan 600 meninggal karena COVID-19 di Belarus, yang total populasinya mencapai 9,5 juta jiwa.
Selain itu, situasi ekonomi nasional turut menghantui Lukashenko. Viktoriya Zakrevskaya di Atlantic Council mencatatbahwa perekonomian Belarus tertekan karena krisis yang disebabkan oleh guncangan dari pasar energi dan konsekuensi global pandemi COVID-19. Menurut Zakrevskaya, kejadian-kejadian tersebut telah mengacaukan stabilitas ekonomi yang selama ini dijaga sedemikian rupa oleh Lukashenko untuk meredam bangkitnya suara oposisi. Menilik catatan IMF tentang rekam jejak ekonomi Belarus, sejak tahun 2012 terlihat bahwa angka Produk Domestik Bruto (GDP) Belarus cenderung stagnan, dan diprediksi merosot ke angka minus enam tahun 2020 ini.
Zakrevskaya juga menyorot situasi geopolitik yang turut melahirkan iklim yang lebih demokratis di Belarus. Ketika relasi dengan Rusia menegang akhir tahun lalu, Lukashenko membiarkan pecahnya serangkaian protes massa melawan integrasi Belarus lebih dalam ke Rusia. Akibatnya, papar Zakrevskaya, terjadi unjuk rasa berskala besar yang melibatkan kelompok politik oposisi. Aksi ini turut memicu aktivisme politik warga yang mendukung calon-calon kandidat dari kubu oposisi pada masa-masa menjelang pemilu.
Setelah kasus kontroversial yang menghalangi kandidat-kandidat kunci dari kubu oposisi untuk maju pilpres, dukungan pun mengerucut pada calon terkuat, Svetlana Tikhanovskaya. Kampanye Tikhanovskaya berhasil diramaikan oleh 60.000 orang di Minsk akhir Juli silam. Tikhanovskaya, seorang guru dan ibu rumah tangga, mendapatkan dukungan penuh dari Veronika Tsepkalo, istri dari Valery Tsepkalo, serta Maria Kolesnikova, tim kampanye Viktor Babariko. Ketiga perempuan tersebut menjadi simbol perlawanan (untuk kepemimpinan Lukashenko, yang malah merendahkan mereka dengan pernyataan bahwa konstitusi Belarus bukanlah untuk perempuan.
Nyatanya, seminggu setelah hasil pilpres diumumkan, massa oposisi masih terus turun ke jalan menggugat dugaan kecurangan pilpres dan kekerasan oleh aparat terhadap para demonstran. Namun, sebesar apapun usaha Lukashenko untuk meredam suara-suara oposisi, tidak bisa disangkal bahwa saat ini ia mendapatkan perlawanan serius dari rakyat Belarus yang jenuh dengan kepemimpinannya.
Editor: Windu Jusuf