tirto.id - Adopsi anak dilakukan seseorang atau keluarga yang berniat mengasuh anak. Namun, bagaimana hukumnya menurut Islam? Apakah boleh?
Bagi pasangan yang kesulitan mendapatkan anak, salah satu solusi ialah dengan cara mengadopsi lewat sejumlah lembaga. Hal ini juga dapat dilakukan kalangan lain apabila ingin mendapatkan seorang anak.
Cara mengadopsi anak tidak serta merta dilakukan sembarangan. Namun disertai sejumlah syarat menurut undang-undang.
Terlepas dari aturan hukum yang berlaku, bagaimana pandangan Islam terkait mengadopsi anak? Boleh atau justru melarang?
Adopsi Anak dalam Pandangan Islam
Adopsi bisa menjadi salah satu solusi jitu bagi keluarga yang kesulitan memperoleh anak. Hukum Islam mengenal 2 cara adopsi, yakni mutlak dan tidak mutlak.
Menurut artikel berjudul "Islam Izinkan Adopsi secara Tak Mutlak" yang ditulis Mukafi Niam via NU Online, adopsi mutlak merupakan cara mengangkat sepenuhnya anak orang lain menjadi anak kandung dengan berbagai ketentuan hukum. Nantinya, anak mempunyai hak dan kewajiban seperti anak kandung.
Di lain sisi, adopsi tidak mutlak adalah mengangkat seseorang sebagai anak namun tetap dianggap sebagai anak kandung orang tuanya sendiri. Secara hukum, ia tidak sepenuhnya mempunyai hak dan kewajiban selayaknya anak kandung.
Melalui artikel yang sama, Dr Nur Rofiah Bil Uzm mengatakan,"Islam hanya mengizinkan adopsi secara tidak mutlak, mereka tidak boleh berduaan, tidak mendapat hak waris dan hal lain sebagaimana anak kandung,".
Hukum diperbolehkan adopsi anak menurut Islam juga bisa dilihat dari peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat.
Zaid bin Haritsah adalah anak angkat Rasulullah SAW. Kendati demikian, ia tidak memiliki hak sebagai anak kandung Rasul.
Seperti diterangkan melalui surah Al-Ahzab ayat 37, kejadian berikutnya yang cukup menarik adalah Rasululah lalu menikahi Zainab bin Jahsyi, mantan istri Zaid bin Haritsah.
"......Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi,".
Kedudukan dan Pembagian Warisan Anak Angkat
Hukum kedudukan dan pembagian warisan untuk anak angkat menurut Islam bisa dilihat melalui surah Al-Ahzab ayat 4-5.
Melalui firman Allah SWT, ayat 4 menerangkan,"Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menujukkan jalan (yang benar),".
Sementara ayat 5 melanjutkan,"Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,".
Melalui kutipan 2 ayat di atas, dapat diperoleh penjelasan bahwa anak angkat tidak memperoleh hak untuk mendapatkan bagian warisan dari orang tua angkat. Mereka statusnya tetap sebagai anak angkat dan bukan anak kandung lantaran tidak memiliki hubungan darah.
Iin Ratna Sumirat dan Muhamad Wahyudin dalam jurnal "Hukum Anak Angkat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif" tahun 2021 menuliskan orang Islam tidak mempunyai hak untuk membagikan warisan kepada anak angkat dikarenakan mereka bukan termasuk darah daging (nasab) yang jelas.
Yang lebih berhak mendapatkan warisan adalah anak kandung dikarenakan terdapat hak dalam pewarisan. Ia menambahkan, hubungan hukum antara orangtua angkat dengan anak angkat terbatas pada hubungan orang tua asuh dengan anak asuh hingga tidak menciptakan hubungan nasab.
Tata Cara Adopsi Anak
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak.
Pasal 30 menyatakan,"Pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak,".
Adapun tata cara pengangkatan anak sesuai Pasal 27 ayat 1 adalah sebagai berikut:
- Calon Orang Tua Angkat (COTA) mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Instansi Sosial Propinsi diatas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif Calon Anak Angkat (CAA) dan COTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 26 ayat (1).
- Kepala Instansi Sosial Propinsi menugaskan Pekerja Sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan melakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA.
- Kepala Instansi Sosial Propinsi mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan Sementara.
- Pekerja Sosial melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara.
- COTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak kepada Kepala Instansi Sosial Propinsi di atas kertas bermaterai cukup.
- Pekerja Sosial dari Instansi Sosial Propinsi dan Pekerja Sosial Lembaga Pengasuhan Anak melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA.
- Kepala Instansi Sosial Propinsi membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam forum Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak di Propinsi.
- Kepala Instansi Sosial mengeluarkan surat untuk izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut di pengadilan.
- Dalam hal permohonan pengangkatan anak ditolak, maka anak akan dikembalikan kepada Lembaga Pengasuhan Anak.
- Setelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Instansi Sosial; dan ke Dinas Kependudukan Catatan Sipil kabupaten/kota.
- Kepala Instansi Sosial mencatat dan mendokumentasikan serta melaporkan pengangkatan anak tersebut ke Departemen Sosial RI.
Penulis: Beni Jo
Editor: Yulaika Ramadhani