tirto.id - Hukum meminta "THR" dalam Islam saat Idul fitri apakah diperbolehkan? Apakah memberi THR termasuk sedekah? Lantas, uang THR Lebaran menjadi hak milik anak atau orang tua?
Praktik memberi angpau atau "THR" saat Lebaran Idulfitri jamak ditemukan, terutama di wilayah Indonesia. Namun, konteks THR dalam hal ini bukan tunjangan hari raya yang biasa diterima oleh karyawan, melainkan uang saku untuk anak-anak atau saudara.
Konsep angpau atau uang saku dahulunya diterapkan oleh orang-orang Tionghoa ketika Imlek. Ini juga dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa angpau berasal dari bahasa Hokkien dialek Xiamen, artinya 'bungkusan merah berisi uang'.
KBBI mendefinisikan kata tersebut dengan dua kategori. Pertama, angpau adalah uang yang diberikan kepada anak-anak, orang yang belum menikah, atau orang tua (oleh anak-anak yang telah menikah) saat Imlek. Kedua, angpau merupakan amplop kecil yang diberikan kepada orang yang punya hajat.
Namun, seiring berjalannya waktu, tidak hanya masyarakat Tionghoa, umat muslim juga menerapkan pemberian hadiah uang untuk anak-anak di hari raya Idulfitri. Penyebutannya juga beragam seperti angpau Lebaran, amplop Lebaran, atau "THR".
Lantas, bagaimana hukumnya meminta "THR" dalam Islam serta hukum memberi uang saat lebaran?
Hukum Meminta THR saat Lebaran Idul Fitri
Dalam Islam, ada beberapa golongan orang yang diperbolehkan meminta-minta, dengan syarat tertentu. Namun pada dasarnya, perkara meminta-minta sangat tidak dianjurkan. Apakah THR sama dengan sedekah?
Pertama, orang yang berhak menerima zakat. Seseorang dengan kategori tersebut berhak meminta harta zakat dari para muzakki. Dalam hal ini, meminta yang dimaksud adalah bertanya.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan jatah nafkah atau haknya. Sebagai misal, karyawan yang menagih gajinya atau tamu yang berhak dilayani.
Ketiga, meminta-minta di luar dua kategori di atas diperbolehkan dengan syarat tertentu. Dalam hadis Qabishah, Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qabishah adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim, no. 1044)
Hukum Meminta Uang Kepada Orang Tua Setelah Menikah dalam Islam
Lalu, bagaimana jika anak-anak atau orang yang belum menikah meminta "THR" alias angpau Lebaran? Jika tidak terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, meminta-minta tidak diperbolehkan dalam Islam.
“Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” (HR. An-Nasai, no. 2600; Tirmidzi, no. 681, Abu Daud, no. 1639; dan Ahmad, 5:19)
Terkait adanya pertanyaan apakah uang THR itu haram? Simak penjelasannya berikut ini.
Meminta angpau Lebaran atau "THR" Idulfitri memang bukan sesuatu yang haram, tapi ini termasuk perkara yang sebaiknya dihindari. Sebab, uang saku Lebaran termasuk hadiah, dan bukan perkara yang menjadi hak seseorang. Namun, jika diberi oleh kerabat hadiah berupa angpau atau "THR" Lebaran, tidak boleh ditolak.
Dalam Ash Shahihain dari Umar ra., beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.”
Apakah THR atau Angpau Lebaran Termasuk Sedekah?
Seperti yang telah disinggung di atas, angpau Lebaran termasuk hadiah atau hibah. Hal ini merujuk pada penjelasan Imam An-Nawawi dalam Minhajut Thalibin.
“Pengalihan status kepemilikan tanpa imbalan adalah hibah. Jika seseorang mengalihkan kepemilikan kepada orang yang membutuhkan, maka praktik ini disebut sedekah. Tetapi jika ia memindahkannya ke lokasi yang dihibahkan sebagai bentuk penghargaan, maka praktik ini disebut hadiah,”
Praktik memberi amplop uang pada hari raya Idulfitri dapat dikategorikan sebagai pengalihan status kepemilikan tanpa imbalan atau hibah.
Lalu, bagaimana kepemilikannya? Apakah uang saku tersebut adalah hak anak atau orang tua?
Dalam artikel NU Online berjudul "Apakah Uang Amplop Lebaran Milik Anak atau Orang Tua" dijelaskan bahwa di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat terkait perkara tersebut.
Imam Abu Jafar At-Thahawi dalam Syarah Ma‘anil Atsar menjelaskan bahwa ada pendapat yang menilai itu adalah hak orang tua. Redaksi lengkapnya sebagai berikut:
“Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa seorang sahabat menemui Rasulullah SAW. Ia mengadu, ‘Saya memiliki harta dan keluarga. Ayahku pun demikian. Tetapi ia ingin mengakuisisi hartaku.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kau dan hartamu adalah milik ayahmu…’ Abu Ja’far mengatakan, sekelompok ulama berpendapat bahwa harta hasil usaha anak adalah milik ayahnya."
Sementara itu, pandangan lain menyebutkan sebaliknya. Berikut ini sambungan dari penjelasan Abu Ja'far At-Thahawi:
"Mereka menjadikan hadits tadi sebagai dalil. Tetapi sekelompok ulama lainnya menolak pandangan sebelumnya. Menurut mereka, hasil usaha anak adalah miliknya sendiri, tanpa ayahnya. Mereka menyatakan bahwa hadits nabi tersebut tidak seharusnya menandai pemberian status kepemilikan hasil usaha anak kepada ayahnya,”
Lepas dari itu, meminta-minta sebaiknya dihindari oleh umat Islam, terutama jika seseorang tersebut masih mampu bekerja. Termasuk dalam hal ini hibah atau hadiah. Sebab, hanya beberapa golongan tertentu, seperti dijelaskan di atas, yang boleh meminta-minta dengan syarat tertentu.
Terlebih, dalam riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari, no. 5355 dan Muslim, no. 1042).
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Dhita Koesno