Menuju konten utama
Halalbihalal Idulfitri

Hukum Orang yang Tidak Mau Memaafkan Sesama Muslim di Idul Fitri

Apa hukum tidak memaafkan seseorang dan apakah saling memaafkan harus di hari Lebaran saja? Berikut ini penjelasannya.

Hukum Orang yang Tidak Mau Memaafkan Sesama Muslim di Idul Fitri
Warga sungkem kepada orang tuanya seusai melaksanakan Shalat Idul Fitri 1444 H di halaman Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo, Jawa Tengah, Jumat (21/4/2023). Panitia setempat menggelar dua kali pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1444 H yaitu pada Jumat (21/4/2023) dan Sabtu (22/4/2023). ANTARAFOTO/Maulana Surya/rwa.

tirto.id - Bagaimana hukum orang yang tidak mau memaafkan sesama muslim di hari raya Idul Fitri? Apakah orang yang menyimpan dendam atau merawat kebencian akan mendapatkan dosa? Apakah maaf-memaafkan harus di momen Lebaran saja? Serta apa yang terjadi jika kita tidak memaafkan orang lain?

Setelah berpuasa selama sebulan penuh pada Ramadan, umat muslim menyambut "hari kemenangan" yakni Idulfitri. Kaum muslim meyakini bahwa saat memasuki lebaran, dosanya yang telah lalu akan dihapuskan dan ia kembali suci.

Hal itu berlandaskan pada hadis riwayat Bukhari. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari).

Namun, dosa yang dihapuskan, seperti disebutkan dalam hadits di atas, adalah dosa seorang muslim kepada Allah SWT. Sementara itu, sebagaimana makhluk yang punya hawa nafsu, pikiran, dan hati, manusia tentu memiliki dosa terhadap sesamanya.

Lalu, bagaimana dosa seseorang kepada sesama muslim saat Idulfitri? Apakah langsung dihapuskan atau harus tetap meminta maaf dan memberi maaf? Bagaimana pula hukum tidak memaafkan sesama muslim?

Dalil tentang Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Lebaran Idulfitri di Indonesia identik dengan tradisi halahlbihalal atau silaturahmi. Konsep ini tidak ada dalam dalil Al-Qur'an maupun hadis, tetapi sangat melekat di kalangan muslim Nusantara.

Lema silaturahmi berasal dari bahasa Arab, yakni silah dan rahiim yang kemudian diterjemahkan menjadi 'tali persaudaraan'. Tradisi tersebut sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam.

Tradisi silaturahmi dapat dilacak sejak abad ke-18, di Istana Mangkunegaran, dengan istilah pisowanan. Istilah halalbihalal menjadi lekat dan populer pada era awal kemerdekaan. Tepatnya pada era Sukarno, para elit politik Istana Negara pernah menyelenggarakan acara halalbihalal di antara para pejabat.

Ceritanya, pada 1948, Sukarno memanggil K.H. Wahab Chasbullah dan dimintai pendapatnya terkait situasi politik saat itu. Hubungan antar-para pejabat negara ketika itu cukup renggang. Karenanya, K.H. Wahab mengusulkan untuk diadakan silaturahmi. Kebetulan saat itu menjelang Idulfitri 1367 hijriah.

Dalam artikel NU Online tulisan Fathoni Ahmad "Makna Historis dan Filosofis Halal Bihalal", diceritakan bahwa K.H. Wahab mengatakan:

"Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu 'kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa [haram], maka harus dihalalkan," ujar Kiai Wahab.

"Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halalbihalal," lanjutnya.

Sejak itulah acara halalbihalal kian populer dan terus diselenggarakan hingga sekarang. Lantas, apakah memaafkan itu wajib dan apa hukum saling memaafkan dalam Islam?

Saling bermaaf-maafan saat Idulfitri tidak dilarang sebab itu adalah sesuatu yang baik. Lepas dari itu, sebenarnya tidak ada tuntunan untuk saling bermaafan di hari raya Idulfitri. Artinya, tradisi itu bisa dilakukan tidak hanya saat Lebaran tetapi juga di hari lain.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memerintahkan umatnya untuk berlapang dada dan mudah memaafkan. Hal sama juga disebutkan dalam beberapa riwayat hadis.

“[yaitu] orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134).

Apa hadits tentang memaafkan? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a, dikisahkan saat dirinya ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah lalu menjawab, "Beliau tidak pernah berbuat jahat, tidak berbuat keji, tidak meludah di tempat keramaian, dan tidak membalas kejelekan dengan kejelekan. Melainkan beliau selalu memaafkan dan memaklumi kesalahan orang lain," (HR. Ibnu Hibban).

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat)." (HR. Muslim).

Dalam riwayat lainnya, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

"Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah)," (HR. At-Thabrani)

Dalil tentang Hukum Orang yang Tidak Mau Memaafkan

Seorang yang dikenai kesalahan bisa saja membalas dengan sesuatu yang setimpal. Namun, dalam Islam, orang yang memaafkan kedudukannya lebih mulia.

Permasalahannya, ketika baru saja melakukan kesalahan terhadap rekan, teman, sahabat, orang tua, atau pasangan, seseorang seringkali malu atau gengsi untuk meminta maaf. Di sisi lain, orang yang dikenai kesalahan juga enggan mengalah dan memaafkan lebih dulu.

Untuk itu, momen Idulfitri bisa menjadi kesempatan bagi orang-orang yang berbuat salah atau dikenai kesalahan untuk saling memaafkan. Tradisi halalbihalal atau silaturahmi yang telah mengakar di Indonesia bisa menjadi berkah dan momentum baik.

Memaafkan kesalahan orang lain, apalagi sesama muslim, sangat dianjurkan dalam Islam. Dalil orang yang tidak mau memaafkan disebutkan beberapa kali dalam Al-Qur'an. Dalam surah Asy-Syura ayat 36-38, Allah SWT berfirman:

فَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَمَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۚ

وَالَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَاِذَا مَا غَضِبُوْا هُمْ يَغْفِرُوْنَ ۚ

وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ

Artinya:

36. "Apa pun [kenikmatan] yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa [kenikmatan] yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.

37. dan [Kenikmatan itu juga lebih baik dan lebih kekal bagi] orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf.

38. Dan [Juga lebih baik dan lebih kekal bagi] orang-orang yang menerima [mematuhi] seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."

Lantas, bagaimana jika seseorang tidak mau memaafkan orang lain? Adakah azab orang yang tidak mau memaafkan?

Apa yang Terjadi Jika Kita Tidak Memaafkan Orang Lain?

Kelanjutan dalam surah yang sama di atas, tepatnya ayat 40, dijelaskan bahwa balasan atas suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Namun, Allah SWT berfirman bahwasanya orang yang memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat maka akan mendapat pahala.

1. Menjadi Pribadi Pendendam

Orang yang tidak memaafkan kesalahan orang lain, bisa jadi disebabkan oleh dendam dan kebencian. Hal ini sama sekali tidak dianjurkan dalam Islam.

Sabda Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Muslim menjelaskan bahwa Allah membenci orang-orang yang merawat perasaan dendam dan penyakit hati. Nabi Muhammad saw. bersabda:

“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam kesumat [bertengkar]”. (HR. Muslim).

2. Memengaruhi Kesehatan Mental

Setelah menyimpan dendam, orang biasanya cenderung akan memutus hubungan baik dengan sesamanya. Pada akhirnya, dendam berpotensi menimbulkan perasaan negatif di kemudian hari seperti iri dan dengki.

Merasa terus-menerus sakit hati, iri, dengki, atau marah terhadap seseorang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental kita. Hal ini bisa menyebabkan depresi, kecemasan, dan perasaan tidak berdaya.

Dalam sabda Nabi Muhammad SAW riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, dijelaskan bahwa dengki dapat mengikis perbuatan baiknya sendiri.

“Jauhilah hasad [dengki], karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).

3. Mengganggu hubungan

Tidak mau memaafkan juga dapat merusak hubungan dengan orang yang kita tidak maafkan, serta dengan orang lain di sekitar kita.

Sikap tidak mau memaafkan dapat menciptakan ketegangan, konflik, dan membatasi kemungkinan untuk memperbaiki hubungan.

Sikap tidak mau memaafkan bisa membuat seseorang merasa terasing atau terisolasi, karena mungkin sulit bagi orang lain untuk mendekati atau menjalin hubungan yang sehat dengan kita jika kita terus-menerus memelihara dendam.

4. Sulit memaafkan diri sendiri

Selain itu, sikap tidak mau memaafkan juga dapat memengaruhi cara kita memaafkan diri sendiri. Kita mungkin terjebak dalam siklus rasa bersalah atau penyesalan yang tidak sehat.

Dalam Islam, seorang yang beriman sangat dianjurkan memaafkan orang lain. Sebab, pada dasarnya, Allah SWT sendiri memiliki sifat Mahapengampun. Dalam surah An-Nuur ayat 22, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka [tidak] akan memberi [bantuan] kepada kaum kerabat[nya], orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22).

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2024 atau tulisan lainnya dari Fadli Nasrudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadli Nasrudin
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Dhita Koesno