Menuju konten utama
Hikayat Ramadan

Menempa Diri Melawan Nafsu demi Menggapai Rida-Nya

Menahan nafsu bukan perkara mudah. Namun, demi menggapai rida-Nya, sejumlah ulama menjalani laku tirakat secara keras.

Menempa Diri Melawan Nafsu demi Menggapai Rida-Nya
Ilustrasi tirakat para ulama. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sari As-Saqathi adalah seorang sufi yang menempa dirinya dengan sangat keras. Sikap ini merupakan ajaran langsung dari gurunya, Ma’ruf Al-Karkhi.

Metode menggembleng diri ala Sari As-Saqathi diceritakan Al Ghazali dalam Ihyā Ulumuddin. Menurutnya, lelaki yang bernama lengkap Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi itu berkata, “Aku tidak pernah mencelupkan roti ke dalam susu selama empat puluh tahun, meskipun aku sangat berhasrat melakukannya.”

Cerita ini dijadikan salah satu kisah utama oleh Al-Ghazali tentang model penggemblengan diri. Empat puluh tahun jelas bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu Sari As-Saqathi berperang melawan hasratnya yang sepele: sekadar menyelupkan roti ke dalam susu.

Penempaaan diri yang melelahkan yang dilakukan Sari As-Saqathi menjadi bukti bahwa mendidik nafsu tak pernah mudah, dan butuh waktu yang sangat panjang. Laku ini dalam terminologi agama disebut riyadhatun nafs yang ditempuh dengan serangkaian tirakat, meninggalkan perkara yang disukai nafsu.

Cerita tentang Sari As-Saqathi merupakan contoh kecil dan bukti konkret akan sabda Nabi usai menjalani perang Badar. Kepada para sahabat, Nabi Muhammad berpesan, “Raja’na min jihadil ashgari ilal jihadil akbar (Kita baru balik merampungkan jihad kecil menuju jihad yang lebih besar).

Jihad yang lebih besar daripada pertempuran seperti dalam perang Badar adalah jihad melawan hawa nafsu. Berperang melawan kehendak diri sendiri. Inilah yang disebut sebagai seagung-agungnya peperangan. Sebab pertempuran sejati bukan ada di luar, tapi di dalam diri sendiri.

Al-Munawi dalam Faidhul Qadīr Vol 2 memberi komentar panjang lebar tentang sabda Rasulullah tersebut. Menurutnya, memerangi nafsu lebih utama dibanding memerangi orang-orang kafir, munafik, dan penjahat. Hal itu karena sesuatu dapat menjadi utama dan tinggi nilainya dengan melihat pengaruhnya. Dampak memerangi nafsu adalah diperolehnya hidayah.

Allah berfirman dalam surat al-Ankabut ayat 69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menaati Kami, akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju Kami”.

Ayat tersebut cukup jelas menerangkan tentang kemuliaan memerangi nafsu. Dan pada surat al-Hajj ayat 78, Allah kembali menegaskan, “Dan berjuanglah dalam ketaatan kepada Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan.”

Dalam khazanah kebudayaan Jawa, rekaman peperangan abadi melewan nafsu dilukiskan di balik rangkaian aksara Jawa hana caraka datasawala pada jayanya maga batangna. Rangkaian aksara itu diyakini secara filosofi mengandung dua hal, yakni baik dan buruk, yang saling satu sama lain silih berganti memenangkan peperangan. Pertempuran itu berakhir ketika si empunya meninggal menjadi mayat atau batang dalam istilah Jawa.

Contoh lain tentang ikhtiar melawan nafsu adalah kisah K.H. Bisri Syansuri. Ulama yang juga salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini memegang teguh prinsip yang diyakininya. Sejak muda Kiai Bisri tidak berkenan makan di warung. Ia menghindari potensi kehadiran orang lapar yang lewat di depan warung dan ingin makan di warung itu, tapi tersiksa karena tak memiliki uang.

Kiai Bisri memang terkenal sebagai sosok yang kokoh dalam memegang prinsip. Sekali prinsip digenggam, pantang bagi Kiai kelahiran Tayu, Jawa Rengah, ini melanggarnya.

Infografik Hikayat ramadhan tirakat ulama

Infografik Hikayat ramadhan tirakat ulama. tirto.id/Fuad

Ujung Pedang dan Haji Nirfaedah

Nafsu juga kerap hadir di wilayah ubudiyah seorang hamba, dan ini lebih berbahaya.

Dalam perang Khandaq, Sayyidina Ali karramallahu wajhah berhasil merobohkan seorang lawannya. Saat sudah terkapar tak berdaya, lawannya itu meludahi muka Ali, tapi ia tak kunjung menghunuskan pedang.

“Mengapa kau tidak menghunuskan pedangmu wahai lelaki gagah?”

“Kau menjadi sangat mulia bagiku. Aku hanya diperkenankan Allah untuk membunuh di momen-momen perang suci yang didasari niat lillahi ta’ala. Namun, sejak kau meludahiku, tampaknya amarahku tumbuh. Dan aku tidak diperkenankan membunuh atas amarah dan rasa benci,”

jawab Ali.

Kisah Muhammad Al-Tairsyi juga tidak kalah unik. Sufi dari distrik Naisapur ini tersadar bahwa ibadah hajinya yang ia lakukan saban tahun tidak ada artinya karena motivasinya tidak murni karena Allah. Ada motivasi lain yang menjadikan ia terlalu bersemangat menunaikan ibadah.

Suatu saat ia disuruh ibunya mengambilkan segelas air minum. Muhammad Al-Tairsy merasa enggan dan malas. Meskipun akhirnya ia tetap mengambilkan segelas air, namun peristiwa itu menjadi titik balik kesadarannya bahwa setan telah menyelinap ke dalam hatinya.

==========

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Irfan Teguh