tirto.id - Dari balik keremangan istana Singasari, tersingkap sosok muda nan berwibawa yang kelak dikenal sebagai Arya Wiraraja. Nama kecilnya Banyak Wide. Dia lahir dengan darah bangsawan Wengker pada 1232 M.
Babad Pararaton mencatat kelahiran Arya Wiraraja di Desa Nangka, tanpa menyebut jelas lokasi persisnya. Sederet versi daerah kelahirannya pun menyeruak. Ada yang menyebut asal usulnya dari Ponorogo, Sumenep, Bali, juga Lumajang.
Konon, ayahnya bernama Nararya Kirana dan pernah menjabat sebagai Adipati Wengker, yang dipindahtugaskan ke Lamajang.
Dari namanya, terangkai makna dewasa. “Banyak” adalah penamaan yang menandakan gelar untuk golongan Brahmana. Sementara itu, “Wide” berasal dari kata widya yang berarti ilmu pengetahuan. Namanya mencerminkan ruh filosofis kecerdikan yang memukau jagat Jawa dan Madura.
Pembibitan kecerdikan Banyak Wide terpampang dalam jalinan silsilah yang diabadikan Babad Manik Angkeran. Dia menapak sebagai buyut di wilayah Nangka, mewarisi kebijaksanaan leluhur Mpu Kuturan dan Mpu Tantular.
Sengketa Karier di Singasari
Di panggung politik keraton, Banyak Wide meniti karier sebagai Rakryan Demung atau Mantri Makapramuka (penasihat kenegaraan) pada usia tiga puluhan. Itu termuat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya.
Namun, kalau merujuk Babad Pararaton dan Kidung Ranggalawe, Banyak Wide menduduki jabatan babatangan, bertugas meramal dan menyusun strategi negara. Dia dikenal andal dalam siasat politik dan militer, serta teguh mendukung Wangsa Rajasa (keturunan Ken Dedes-Ken Arok).
Mansur Hidayat, lewat Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang Juru (2012), menuturkan perbedaan visi Banyak Wide dan Kertanegara, termasuk salah satunya persoalan wangsa. Sang raja Singasari yang sohor dikenal sebagai penganut garis keras Wangsa Sinelir (keturunan Ken Dedes-Tunggul Ametung) dan “Doktrin Drnnyawipantara”. Doktrin itu kelak menjadi cikal bakal perluasan wilayah Jawa sampai Sumatra dalam Ekspedisi Pamalayu.
Akibatnya, para penganut Wangsa Rajasa perlahan disingkirkan. Selain Banyak Wide, patih Singasari bernama Mpu Raganata juga mengalami hal serupa akibat dari ketidaksetujuannya pada gagasan Ekspedisi Pamalayu. Sang patih selanjutnya digantikan oleh Kebo Anengah dan Apanji Aragani sebagai wakil.
Banyak Wide juga menolak paham Tantrayana—sinkretisme Jawa-Siwa-Buddha, tonjolan sikap politisnya sebagai Brahmana. Praktik Tantrayana melibatkan maithuna (hubungan seksual sebagai ritus sakral) dalam konsep Panca Ma.
Dia menolak paham tersebut sebab terlampau digandrungi oleh para pembesar Kesatria di istana. Di samping itu, Tantrayana bersifat eksklusif dan esoterik. Dalam konteks pemerintahan, ajaran itu berpotensi menciptakan segregasi spiritual dan konflik antar-kelompok.
Banyak Wide, sebagai tokoh pemersatu, lebih memilih ajaran yang inklusif dan dapat diterima luas oleh rakyat. Hal ini dimuat dalam wiracarita lokal, macam Babad Lumajang dan Serat Wiraraja, yang menekankan kesederhanaan dan pengabdian, bukan ritual esoterik.
Selain sengketa wangsa, sikap politis Banyak Wide membawanya pada pengasingan (dinohken). Pada 1.269 M, ia "dibuang" oleh Kertanegara ke Songenep (sekarang Sumenep), Madura, dengan jabatan adipati. Itu adalah sebuah penanda langkah halus sang raja yang ingin meredupkan cahaya ilmu dan pengaruh Banyak Wide di istana pusat.
Semenjak itu, Banyak Wide beroleh julukan Arya Wiraraja. Julukan tersebut menandai peralihan statusnya dari seorang Brahmana cendekia menjadi pejabat tinggi, di tingkat Kesatria.
Mendobrak Pengasingan, Bertikai dengan Kertanegara
Kala “diasingkan”, Arya Wiraraja tidak tenggelam dalam alienasi berlebihan. Dia membangun Kadipaten Sumenep menjadi pelabuhan dagang penting. Daerah tanah tandus Sumenep yang dipandang sepi disulap menjadi pintu gerbang rempah dan kain sutra.
Arya Wiraraja mampu "merobohkan" batas antara Jawa dan negeri asing, termasuk Kekaisaran Mongol. Kepiawaiannya mengatur siasat boleh diacungi jempol. Ia tak hanya mahir urusan pembangunan, melainkan juga ahli diplomasi politik regional.
Di pihak lain, “Doktrin Drnnyawipantara” mempertebal ambisi Kertanegara mengekspansi wilayah Sumatra lewat Ekspedisi Pamalayu.
Ekspedisi Pamalayu yang diluncurkan pada tahun 1275 M bukan sekadar ekspansi militer. Itu adalah manifestasi dari gagasan Cakrawala Mandala Dwipantara, visi untuk menyatukan kepulauan yang tercerai oleh laut di bawah satu panji kekuasaan dan kepercayaan.
Tujuannya diplomatis, yakni menjalin persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya di Sumatra, bukan menaklukkannya. Hubungan itu diupayakan dengan maksud mencegah kemungkinan konflik, mengantisipasi ancaman dari Sriwijaya yang melemah di Sumatra dan ekspansi Mongol dari utara.
Demi mewujudkan ambisi itu, sebagaimana ditulis oleh Leonard Y. Andaya dalam The Search for the ‘Origins’ of Melayu (2001), pada 1286 M, Kertanegara mengirimkan hadiah Arca Amoghapasa sebagai simbol persaudaraan.

Namun, di balik semerbak dupa dan arca-arca suci, ada suara yang tak sejalan. Ialah suara dari Madura, dari seorang penggawa yang pernah menjadi tangan kanannya: Arya Wiraraja.
Arya Wiraraja memberi peringatan dan menelisik bahaya dalam ambisi Kertanegara. Ia mengimbau kepada sang raja agar tak berlebihan mengirim pasukan berskala besar ke Sumatra, sementara militer di Singasari dibiarkan mengosong.
Namun, Kertanegara merasa tersinggung. Dia menilai kritik Arya Wiraraja sebagai penghinaan, sebagai keraguan terhadap kedigdayaan kerajaannya.
Intrik Di Balik Pemberontakan Jayakatwang dan Pendirian Majapahit
Pertikaian Arya Wiraraja dan Kertanegara serupa bara dalam sekam. Dua wangsa yang saling bertentangan, Wangsa Rajasa vs. Wangsa Sinelir, mencapai klimaksnya di sini.
Jayakatwang, keponakan ipar Kertanegara sekaligus keturunan Kertajaya—sosok yang dibunuh oleh Ken Arok, leluhur Kertanegara—menyimpan dendam dan berniat membunuh balik Kertanegara. Kertanegara pun diserang ketika kondisi kerajaan sedang lengah lantaran sebagian pasukan Singasari sedang bertugas di Ekspedisi Pamalayu.
Saat itu, Arya Wiraraja berumur sekitar 40 tahun. Disebut bahwa dia berkawan baik dengan Jayakatwang, bahkan berkirim utusan. Arya Wiraraja adalah sosok yang mengirim informasi dan strategi kepada Jayakatwang untuk mengudeta Kertanegara.
Disebut dalam Babad Pararaton versi terjemahan, Arya Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatwang, “Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak bergigi,” (hlm. 30).
Yang disebut sebagai harimau tak bergigi adalah Mpu Raganatha, sebab usianya sudah tua. Oleh karena itulah, menurut Arya Wiraraja, itu merupakan momen yang tepat sebab kekuatan besar kerajaan tak lagi menyokong singgasana.
Jayakatwang pun berangkat menyerang Tumapel. Dia membawa segenap pasukan, dengan bendera dan bunyi-bunyian penuh, merusak segala yang dilewati dari arah utara Tumapel, membikin pasukan lawan tewas dan berjatuhan penuh luka.
Giliran sang raja datang. Jayakatwang menyergap saat raja tengah melakoni upacara keagamaan bersama para Brahmana dalam kondisi mabuk. Kertanegara gugur pada 1292 M, menandai akhir Kerajaan Singasari sekaligus awal kekuasaan Jayakatwang.
Namun, keruntuhan Singasari dan kekuasaan Jayakatwang di Daha hanya berlangsung tidak lebih dari dua tahun. Setelahnya, mereka dihancurkan oleh pasukan gabungan dari Kekaisaran Mongol dan Majapahit.
Uniknya, ada nama Arya Wiraraja di baliknya. Padahal, dialah yang merekomendasikan Jayakatwang mengudeta Singasari. Boleh jadi, penyebabnya lantaran Jayakatwang merupakan penganut Wangsa Sinelir, bertolakan dengan Arya Wiraraja pengampu Wangsa Rajasa.
Maka, ketika Raden Wijaya, seorang dari Wangsa Rajasa yang memberontak Jayakatwang di Daha, melarikan diri ke Madura, Arya Wiraraja menyambutnya dengan baik.
Arya Wiraraja menerima belas kasihan dan persekutuan Raden Wijaya setelah dipersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, yang semuanya dibawa oleh istri-istri Raden Wijaya.
Raden Wijaya menjanjikan dengan sumpah, “Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu. Jika tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti. Hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua,” (hlm. 35).
“Bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja,” ungkap Wiraraja menimpali.

Keduanya pun merancang strategi politik dan militer untuk mengelabui Jayakatwang. Arya Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya bermuslihat, pergi menghadap Jayakatwang dan berkilah seolah-olah tunduk dan menghamba. Setelah rencana itu berhasil dipercaya, lekas-lekas Raden Wijaya berpindah tempat di Daha, memohon agar Jayakatwang menghibahkan Hutan Tarik dan mendirikan desa di sana.
Arya Wiraraja menyanggupi permintaan bala pasukan dari Madura untuk membabat hutan tersebut agar Raden Wijaya segera beroleh wilayah paten. Ketika menebang hutan, seorang hamba dari Madura kedapatan memakan buah maja. Akan tetapi, karena pahit, dibuanglah buah yang dipungutnya itu. Kisah itu begitu beken, dan konon menjadi latar belakang penamaan Hutan Tarik menjadi Majapahit.
Rupanya, tipu muslihat itu dimakan dengan lahap oleh Jayakatwang. Raden Wijaya dan hamba-hambanya mendapatkan kepercayaan penuh dari orang-orang Daha.
Di sisi lain, Arya Wiraraja mengajak armada Mongol pimpinan Kubilai Khan dan pasukan Tartar untuk menyerang Daha—sejak lama kedua belah pihak memang berhubungan baik. Namun, lagi-lagi, ajakan itu hanyalah bagian dari rancangan tipu muslihatnya.
Arya Wiraraja berkata kepada utusannya agar disampaikan kepada Raden Wijaya di Desa Majapahit, “ ... Jika Raja Daha telah kalah, seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai. Itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar. Demikian itu penipuanku terhadap Raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran [Raden Wijaya], bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha."
Usai utusannya kembali ke Madura memberi kabar baik, Arya Wiraraja berganti mengirim utusan ke Kekaisaran Mongol. Ia turut memboyong seluruh armada dan pasokan senjata dari Madura ke Desa Majapahit.
Semuanya berjalan sesuai muslihat Arya Wiraraja. Kekaisaran Mongol menyerang Daha. Kemudian, setelah Jayakatwang takluk, giliran pasukan Desa Majapahit yang mengusir pasukan Mongol dari Jawa. Sejak itulah Kerajaan Majapahit berdiri, lalu berekspansi.
Meski Babad Pararaton tidak menyebut Arya Wiraraja sebagai “penggagas” pendirian Kerajaan Majapahit, hampir setiap kebijakan penting Raden Wijaya melibatkan nasihatnya. Raden Wijaya berutang budi besar, hingga menepati janji memberikan separuh wilayah Jawa Timur setelah mahkota Majapahit tersemat.
Mendirikan Kerajaan Lamajang Tigang Juru
Setahun setelah Mahkota Majapahit disematkan (1293), Arya Wiraraja menerima undangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan Timur sebagai Raja Lamajang Tigang Juru (1294—1316). Kerajaan tersebut membawahi tiga wilayah poros budaya Pendalungan (percampuran Jawa dan Madura) di kawasan Tapal Kuda (sekarang), yakni Madura, Patukangan atau Panarukan, dan Blambangan.
Di sinilah Arya Wiraraja kemudian dikenal pula sebagai Menak Koncar, memerintah wilayah merdeka di bawah Majapahit. Keduanya tak luput menjaga silaturahmi politik lewat penempatan kerabatnya di istana pusat—Nambi sebagai Mahapatih, Ranggalawe sebagai menteri, dan Sora di Daha.
Saat bertakhta di Lamajang Tigang Juru, Menak Koncar tak pernah lagi berpunggung menunduk ke selatan. Dia terlampau sibuk mengokohkan Lumajang dan memusatkan tatap pada bumi Timur Jawa.
Tahun 1316 M, sang ahli tipu muslihat tutup usia di Lamajang. Jejak terakhirnya terpatri di makam kuno di Situs Biting, Desa Kutorenon, Kec. Sukodono, Lumajang. Makam itu disucikan tiap tahun oleh keturunannya dari klan Pinatih di Bali, Bupati Surabaya, hingga Sultan Cirebon—sembah bakti atas warisan injak langkahnya yang menjemput fajar ilmu baru di tanah Jawa Timur.
Di Sumenep, penobatan Arya Wiraraja sebagai adipati selalu diperingati setiap 31 Oktober—Hari Jadi Kabupaten Sumenep. Prosesi kolosal “Arya Wiraraja dan Kirab Budaya” menampilkan drama pelantikan, kirab pataka, serta kesenian khas Madura yang menghidupkan kembali semangat kepemimpinan dan kebijaksanaannya.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































