tirto.id - Di Ciputat, Tangerang Selatan, agenda kunjungan Presiden Joko Widodo untuk menemui Rano Karno dan Mandra, sosok ikonik sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang melejit pada era 1990-an, tetiba batal. Para pendukung Jokowi dan wartawan yang sudah menunggunya kecele. Mendadak, Jokowi mengalihkan kunjungannya ke daerah Bekasi, Jawa Barat.
Padahal, sesuai jadwal yang disebar Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma'ruf Amin wilayah Tangerang Selatan pada Rabu pagi, 13 Maret 2019, Jokowi diagendakan bakal naik opelet bersama si Doel, panggilan kesohor Rano, dan Mandra Naih untuk mendatangi Pasar Ciputat. Setelah mengunjungi pasar, Jokowi berencana makan pecak ikan di sebuah warung makan Betawi di belakang pasar Ciputat.
Batalnya kunjungan ini sebagaimana kata Benyamin Davnie, Dewan Pengarah Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma'ruf wilayah Tangsel, baru diketahui sebelum mendekati agenda yang dijadwalkan pukul 9 pagi. Jokowi, kata dia, batal naik opelet karena menghadiri peletakan batu pertama Ability Hub di Tegal Murni, Bekasi. Setelah dari sana, Jokowi menghadiri International Furniture Expo 2019 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pada hari yang sama, ketika Jokowi berencana naik opelet bareng si Doel, di grup WhatsApp "Panji Hitam", berisi sekumpulan simpatisan ISIS, rencana kunjungan presiden menumpang opelet diunggah Riky Gustiadi.
Riky memprovokasi anggota di grup itu untuk melakukan penyerangan pada kunjungan Jokowi di Ciputat, menurut keterangan kepolisian Indonesia. Belakangan, karena postingan itu, Riky ditangkap sehari setelah ia terakhir kali mengunggah jadwal kunjungan Jokowi.
Menurut salah seorang pejabat Detasemen Khusus 88 Antiteror, selain mengunggah jadwal kunjungan Jokowi ke Pasar Ciputat, Riky dianggap kerap memprovokasi simpatisan ISIS di Grup WA Panji Hitam untuk melakukan penyerangan kepada polisi.
Bahkan, menurut Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Riky diketahui pernah mengunggah video ledakan di Stadion Gelora Bung Karno, yang terjadi saat Debat Pilpres Kedua, 17 Februari 2019.
Riky Gustiadi sesungguhnya bukanlah orang baru dalam jejaring teror di Indonesia, menurut Kepolisian Indonesia.
Pada 2017, ketika Densus 88 menangkap Aznop Priyandi alias Mimin alias Ryan, penyalur dana jejaring kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Medan, Riky disebut dalam berkas pengadilan. Riky, menurut polisi, membantu pembukaan rekening yang digunakan Priyandi untuk dana operasional kegiatan terorisme.
Menurut Ajun Komisaris Besar Didik Novi Rahmanto, Satgas Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Riky adalah "simpatisan ISIS". Ia salah satu pendukung ISIS lewat keahliannya meretas internet demi mendapatkan keuntungan berupa uang. Riky dianggap kepolisian memiliki keahlian dalam bidang teknologi informatika.
“Ia masuk dalam kelompok Cyber Jihad,” sebut AKBP Didik kepada Tirto.
Sementara menurut Brigjen Dedi Prasetyo, selain menilai Riky sebagai "provokator" agar para pendukung ISIS di Indonesia melakukan aksi terorisme, Riky berencana melakukan amaliah dengan menggunakan busur panah.
“Ada barang bukti berupa busur panah yang akan digunakan untuk amaliah,” kata Dedi, sehari setelah penangkapan.
Jokowi Jadi Target Teroris atau Kebetulan Belaka?
Di luar Riky Gustiadi mengunggah jadwal kunjungan Jokowi di Grup WhatsApp simpatisan ISIS “Panji Hitam”, rencana amaliah memang bakal dijalankan oleh jejaring kelompok teroris yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Sibolga dan Tangjungbalai, Sumatera Utara.
Aksi amaliah itu direncanakan pada 13 Maret 2019, menargetkan Kantor Kepolisian Sektor Ciputat, yang kebetulan berbarengan dengan kunjungan Jokowi pada hari yang sama ke tempat tersebut.
Namun, sebelum rencana itu terlaksana, Densus 88 Antiteror menggagalkannya dengan menangkap Putra Syuhada alias Rinto di rumahnya di Lampung pada 9 Maret 2019. Dari penangkapan Rinto, polisi mengetahui sel tidur dari 'Jaringan Sibolga' berencana melancarkan aksi bom bunuh diri yang menyasar kantor polisi di Lampung dan Jakarta.
Pada 12 Maret, tiga hari setelah Putra Syuhada ditangkap, Densus 88 bergerak cepat memutus rantai sel jaringan teror ini dengan menggerebek rumah Abu Hamzah di Jalan Cendrawasih, Kelurahan Pancuran Bambu, Kota Sibolga.
Meski berhasil menangkap Abu Hamzah, Densus 88 gagal membujuk istrinya, Solimah, untuk menyerahkan diri. Solimah malah meledakkan diri dengan bom yang dirakit suaminya. Ledakan itu menewaskan dia dan anaknya.
Dari penangkapan Abu Hamzah, kepolisian Indonesia bergerak secara estafet dengan menangkap Yuliati Sri Rahayuningrum alias Khodijah di Klaten, Jawa Tengah.
Yuliati, menurut Brigjen Dedi Prasetyo, merupakan insiator rencana amaliah menyerang kantor kepolisian. “Yuliati masih satu jaringan dengan Abu Hamzah,” katanya. Menurut polisi, Yuliati merencanakan aksi teror di Pulau Jawa dengan salah satunya mengajak Putra Syuhada.
Salah seorang pejabat Densus 88 Antiteror berkata kepada Tirto bahwa Yuliati adalah "calon pengantin" bom bunuh diri yang disiapkan Abu Hamzah untuk melakukan amaliah di Sibolga. Namun, lantaran kehabisan uang untuk membeli tiket ke Sibolga, Yuliati berencana memindahkan aksinya dan bakal melakukan aksi bom bunuh diri di Polsek Ciputat.
Ketika Putra Syuhada ditangkap, Yuliati kabur menuju Klaten, Jawa Tengah.
Belakangan ia ditangkap seminggu setelah Putra Syuhada dan Abu Hamzah diciduk secara berurutan. Yuliati lantas ditemukan bunuh diri dengan menenggak cairan kimia saat menjalani pemeriksaan di Markas Polda Metro Jaya, 17 Maret lalu.
Senyawa kimia itu menyebabkan mulut dan lambung Yuliati rusak dan mengalami pendarahan hebat, menurut Brigjen Dedi pada 22 Maret. Darahnya menghitam lantaran mengonsumsi asam klorida. Kepolisian belum mengetahui dari mana dan kapan Yuliati mengonsumsi zat tersebut.
Jenazah Yuliati, perempuan 38 tahun yang meninggalkan suami dan memilih menjadi istri ketiga Abu Hamzah, menurut polisi, langsung dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, sesuai permintaan keluarga.
Sementara satu calon lain yang disiapkan Abu Hamzah untuk melakukan amaliah adalah Roslina alias Syuhama. Menurut Brigjen Dedi Prasetyo, Roslina adalah mantan istri terduga teroris bernama Andre, yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 di Kelurahan Kapias Pulau Buaya, Kota Tanjungbalai, pada 10 Oktober 2018.
Setelah suaminya meninggal, Roslina dipinang Abu Hamzah untuk disiapkan menjadi "calon pengantin" bom bunuh diri.
“Abu Hamzah merekrut Roslina untuk dijadikan calon istri kedua,” kata Dedi.
Dari informasi yang diperoleh salah seorang pejabat Densus 88 Antiteror, Roslina diketahui bakal meledakkan diri di Polres Tanjung Balai. Kelompok sel tidur simpatisan ISIS di Sumatera Utara ini, kata pejabat itu, telah melakukan survei ke lapangan untuk menyasar kantor polisi.
“Sasarannya adalah Polsek Ciputat dan Polres Tanjung Balai,” kata pejabat itu.
'Tak ada Kaitan dengan Pilpres'
Penangkapan jaringan teror Abu Hamzah, entah memang sengaja jadi target atau kebetulan belaka, sejatinya berbarengan dengan jadwal kunjungan Jokowi ke Sibolga pada 17 Maret 2019.
Jika Jokowi batal naik opelet bersamaan dengan rencana aksi amaliah bom bunuh diri di Polsek Ciputat, maka di Sibolga, lokasi penggerebekan kediaman Abu Hamzah yang berujung aksi bom bunuh diri istrinya, berjarak berdekatan dari tempat Jokowi meresmikan Pelabuhan Sibolga, hanya 400-an meter.
Meski demikian, keterkaitan rencana teror yang bersamaan dengan jadwal kunjungan Presiden Jokowi itu, menurut klaim kepolisian Indonesia, adalah "kebetulan" semata.
Kelompok Jamaah Ansharut Daulah yang berjejaring dalam sel tidur di Jakarta dan Sibolga lewat peran Abu Hamzah, kata polisi, tetap menargetkan markas-markas kepolisian.
Jokowi sendiri lewat siaran pers dari Sekretariat Kabinet menyatakan rencana serangan jaringan teroris di Jakarta dan Sibolga, yang digagalkan Densus 88, "tak ada kaitan dengan pemilihan presiden."
Dalam beberapa tahun terakhir, sejak ISIS dideklarasikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi pada 2013, gelombang WNI yang tertarik bergabung dalam "kekhalifahan" berdatangan ke Suriah. Di Indonesia, beberapa faksi radikal Islam bersemangat menyatakan diri bergabung dengan ISIS. Sebagian lain menyatakan dukungan atau simpati pada gagasan "kekhalifahan" ISIS.
Kelompok teroris ini melancarkan beberapa serangan bom bunuh diri di Indonesia karena menganggap pemerintah Indonesia, wabilkhusus kepolisian, sebagai "thagut." Kata “thagut” dimaknai bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak berpijak kepada syariat Tuhan sehingga harus “disucikan” dan, karena itu, digantikan lewat sistem yang dianggap sesuai syariat, tentu saja syariat menurut kelompok teror ini.
Serangan terhadap polisi meningkat sejak Densus 88 melakukan pelbagai penangkapan maupun memutus rantai jaringan teroris, termasuk sel-sel tidur, yang terhubung dan diklaim diri terkait ISIS.
Aksi kelompok teroris terakhir yang paling mengagetkan publik justru terjadi di Rutan Mako Brimob, tempat tahanan para narapidana teroris, serta serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, secara beruntun pada Mei 2018.
Dalam konteks global, jaringan teror ISIS di Suriah telah dipatahkan pada akhir Maret lalu ketika benteng terakhirnya di Baghouz, sebuah desa di tepi Sungai Efrat, berhasil direbut oleh Pasukan Demokratik Suriah-Kurdi. Menurut kontributor kami di Kurdi, ada sekitar 50-an WNI, mayoritas perempuan dan anak-anak yang jadi anggota keluarga kombatan ISIS, yang kini tinggal di sebuah kamp pengungsian.
Pemerintah Indonesia menimbang akan memulangkan "puluhan" hingga "ratusan" WNI yang jadi simpatisan ISIS di Suriah. Belum pasti kapan rencana itu dijalankan, sementara gagasan memulangkan WNI yang ikut ISIS ini pun menuai perdebatan publik yang sengit.*
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam