tirto.id - Pada 8 April 2013, Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan ISIS, yang kekuatan utamanya bertumpu pada jihadis-jihadis Al-Qaeda di Irak dan beberapa kelompok milisi antipemerintah di Suriah.
Meski Ayman Al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda, menampik ISIS adalah bagian dari kelompoknya, tapi organisasi teroris ini berkembang pesat melebihi Al-Qaeda.
Secara de facto, ISIS benar-benar mendirikan kekhalifahan Islam dengan merebut kota-kota di Irak dan Suriah.
Medio 2013, ISIS menguasai Kota Raqqa di Suriah, menjadikannya ibu kota kekhalifahan. Pada Juni 2014, ISIS mencaplok Mosul, kota terbesar kedua di Irak.
Kejadian itu membuat dunia terkejut. AS segera menetapkan ISIS sebagai ancaman global.
Sejak itu, seperti dilaporkan Jason Burke dari The Guardian, ISIS telah mengendalikan jutaan orang yang dikenai pajak, menguasai ladang minyak hingga rute penyelundupan. Senjata, amunisi, dan peralatan militer modern dalam jumlah besar semakin memperkuat kedudukannya.
Tetapi, selama empat tahun terakhir, situasi sudah berbalik.
Kekuatan ISIS menuju kolaps sejak Baghouz, benteng terakhir kekuasaannya, ditaklukan Pasukan Demokratik Suriah (SDF)-Kurdi pada akhir pekan lalu.
Sesungguhnya, ISIS mengalami kemunduran saat Mosul direbut pasukan Koalisi yang disokong Amerika Serikat pada Juni 2017.
Operasi militer pasukan gabungan Irak dan Koalisi bergerak sejak Oktober 2016: Pasukan Irak dari arah selatan, sementara milisi-milisi dari Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) menyusup dari utara.
Bagaimanapun itu adalah perang yang sulit. Butuh delapan bulan bagi pasukan gabungan merebut Mosul, ditandai lewat perebutan kembali Masjid Agung Al-Nuri dan Menara Al-Hadba pada 29 Juni 2017.
Masjid tua itu adalah situs penting bagi ISIS. Di masjid itulah Abu Bakar Al-Baghdadi tampil di muka umum pertama kali dan mendeklarasikan kekhalifahan pada 2014. Direbutnya Mosul, dan terutama masjid itu, menandai hilangnya setengah wilayah ISIS di Irak.
Kejatuhan ISIS
Maka, sejak kejatuhan Mosul, ISIS terus tergencet. Pada Oktober 2017, Pasukan Demokratik Suriah (SDF)-Kurdi berhasil merebut Raqqa.
Terebutnya Raqqa jadi kehilangan besar bagi ISIS karena kepemimpinan telah rontok, administrasi kekhalifahan otomatis tak efektif, kamp pelatihan hilang, dan aliran propaganda ISIS jadi surut.
Hitung-hitungan perang sejak 2014 hingga 2017, ISIS telah kehilangan sekitar 60.000-an kombatan, 78 persen teritori di Irak dan 58 persen teritori di Suriah.
Seturut laporan Zack Beauchamp di Vox, ada dua alasan utama yang jadi biang kemunduran ISIS di Suriah.
Pertama adalah sifat ISIS yang eksklusif. ISIS tak mau berkolaborasi dengan kelompok-kelompok antirezim Bashar Al-Assad. Alih-alih bekerja sama, ISIS kerap menyerang mereka.
Kedua adalah sikap ISIS yang memusuhi semua pihak, dari AS dan negara-negara Barat hingga negara-negara kawasan Timur Tengah.
Lain itu, ISIS lebih terpusat dari segi markas, fasilitas, pejuang, dan struktur komandonya. ISIS mengisolasi diri yang justru menjadi senjata makan tuan.
Kecepatan ISIS menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah sebenarnya juga menunjukkan kelemahannya. Kedua negara itu, terutama Suriah, dilanda konflik sehingga memudahkan milisi ISIS merebutnya. Nyatanya, ISIS tak mampu ekspansi ke negara tetangga lain yang lebih stabil dan kuat.
“Jika mudah untuk menyapu perbatasan negara yang hancur seperti Suriah, perbatasan negara-negara yang lebih kuat seperti Turki, Israel dan Yordania terbukti lebih tahan. Tidak mungkin bagi ISIS—yang pasukannya mayoritas adalah Sunni—merangsek jauh ke Irak tengah dan selatan yang didominasi Syiah,” tulis Burke.
Kini, ISIS menghadapi momen kejatuhan total. SDF, yang didukung Amerika Serikat, telah berhasil merebut kantong pertahanan terakhir ISIS di Baghouz sejak melancarkan serangan pada Februari 2019.
Meski progres serangan sedikit melambat karena ISIS menjadikan warga sipil sebagai perisai, sebagaimana diutarakan juru bicara SDF, Mustafa Bali, pada awal Maret lalu, tetapi akhirnya pada Sabtu pekan lalu, 23 Maret, SDF berhasil merebut Baghouz.
"SDF mendeklarasikan kekalahan total kekhalifahan ISIS," kata Mustafa Bali.
Gelombang Pengungsi dan Nasib Simpatisan ISIS
Sejak Baghouz dibombardir dari udara oleh pasukan Koalisi, gelombang ratusan kombatan ISIS telah menyerahkan diri dan ribuan warga sipil telah eksodus ke kamps pengungsian.
Adnan Afrin, juru bicara dan komandan SDF, pada awal Maret lalu, mengatakan "lebih dari 6.000 orang telah melarikan diri atau meninggalkan Baghouz dalam 48 jam terakhir dan lebih banyak lagi diperkirakan akan tiba di area penerimaan."
ABC News melaporkan sebagian besar pengungsi itu adalah wanita dan anak-anak, juga militan ISIS yang terluka dan menyatakan menyerah. Menurut International Rescue Committee, ada sekitar 37.000 orang yang mengungsi dari Baghouz sejak Februari, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Pejabat setempat menyatakan hampir semuanya adalah anggota keluarga ISIS.
Menurut kontributor Tirto, di salah satu kamp pengungsian di Suriah, ada sekitar 50 orang asal Indonesia, perempuan maupun anak-anak, yang tiba dari Baghouz.
Maka, setelah Baghouz jatuh, secara de facto ISIS lenyap. Namun, implikasi setelahnya tak kalah runyam dari perang itu sendiri.
Permasalahan utama yang segera terlihat adalah menyangkut nasib para anggota keluarga dan kombatan ISIS, yang umumnya berasal dari serbaneka negara.
Itu persis seperti persoalan yang mendera Shamima Begum, eks-anggota keluarga ISIS, yang ditolak Inggris, negara yang mencabut kewarganegaraannya, dan ditolak Bangladesh, negara asal orangtuanya.
Pertanyaannya, bagaimana eks-simpatisan ISIS yang lain, termasuk dari Indonesia?
======
Artikel ini tayang perdana pada 17 Maret 2019, disunting ulang dengan mengubah judul serta pemutakhiran peristiwa terakhir di Baghouz, benteng terakhir ISIS di Suriah, yang telah takluk di tangan Pasukan Demokratik Suriah-Kurdi.
Editor: Fahri Salam