tirto.id - Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipelopori milisi-milisi Kurdi, mengumumkan ISIS telah dikalahkan dari wilayah terakhirnya di Baghouz, Suriah, pada akhir pekan lalu. Operasi militer milisi SDF mengakhiri kekuasaan ISIS di tanah Irak dan Suriah.
"SDF mendeklarasikan kekalahan total kekhalifahan ISIS," kata juru bicara SDF, Mustafa Bali via Twitter, menyudahi perang selama 4 tahun di Irak dan Suriah terhadap organisasi teroris paling sukses dan ambisius di dunia itu.
Sejak Abu Bakar Al-Baghdadi mengumumkan kekhilafahan ISIS pada 29 Juni 2014 di Mosul, kota terbesar kedua di Irak, umur negara itu hanya bertahan 1.737 hari. ISIS adalah kelompok teror yang menyerupai negara. Tiga unsur negara seperti wilayah, rakyat, dan pemerintahan mampu direbut ISIS dalam sekejap. Hanya pengakuan dari negara lain yang tak mereka miliki.
Teritorial ISIS pada awal berkuasa mencapai 282.485 kilometer persegi, serupa luas negara Inggris Raya atau dua kali luas Pulau Jawa. Dengan luas sebesar itu, ada sekitar 12 juta orang hidup di bawah pendudukan ISIS.
Pada masa jayanya, ISIS menguasai wilayah-wilayah paling subur di Irak, setengahnya adalah lahan tanaman gandum dan menguasai 40 persen produksi gandum tahunan di negara itu; 75 persen tanaman kapas di Suriah; plus merebut bendungan-bendungan hidroelektrik, tambang-tambang fosfor, dan ladang-ladang minyak.
Dari Afghanistan hingga Filipina, ISIS telah menarik puluhan ribu kombatan dari seluruh dunia yang percaya pada gagasan kekhalifahan, memajaki jutaan penduduk di bawah birokrasinya, mengeksploitasi sumber daya alam di kawasan taklukan, menjadikannya organisasi teroris paling kaya di dunia.
Itulah mengapa amat sulit menggerus kekuatan ISIS. Pembebasan wilayah-wilayah ISIS di Irak dan Suriah membutuhkan waktu empat kali lebih lama ketimbang saat sekutu menyingkirkan Nazi dalam peperangan front Eropa Barat pada Perang Dunia Kedua.
Butuh dua pasukan nasional dari Irak dan Suriah, ribuan kelompok milisi, dan koalisi pasukan internasional lebih dari 80 negara untuk merebut kembali wilayah ISIS sejengkal demi sejengkal.
Jumlah kekuatan militer dan kerusakan dari konflik ini amatlah dahsyat. Menurut Airwars, kelompok yang melacak korban sipil dari peperangan global berbasis di London, setidaknya 33.994 serangan udara dan 116.026 serangan artileri diarahkan ke wilayah-wilayah ISIS. Efeknya, banyak kota yang ditinggalkan ISIS kini tinggal reruntuhan. Harga lebih mahal adalah kematian 28.000 warga sipil.
Angka-angka di atas tentu bisa melonjak tajam sebab sumber data itu tidak menyertakan serangan koalisi pemerintah Suriah, Rusia, dan Iran yang tak kalah brutal.
Mewaspadai Sel Tidur
Pertarungan mengusir ISIS dari wilayah terakhirnya di Suriah telah berakhir. Namun bukan jaminan peperangan ini telah usai. ISIS telah mengubah perseneling gerakan jauh-jauh hari.
Sejak 2017, ISIS sudah mentransformasi kelompoknya menjadi lebih tradisional dengan bersifat bahwa tanah dan terselubung. Pola serangan lebih bercirikan peperangan gerilya, pemboman dan pembunuhan menyasar pada target individu tertentu.
Mengutip dari laporan Rukmini Callimachi, wartawan The New York Times, kemenangan di Baghouz hanyalah akhir dari awal konflik.
Membebaskan kota-kota yang dimiliki ISIS adalah bagian yang mudah.
"Saat kami pergi ke garis depan, kami menghadapi mereka secara jelas," ucap Adnan Afrin, komandan Pasukan Demokratik Suriah.
“Kami menembak mereka, mereka menembak balik. Kami tahu siapa di depan kami. Tapi di belakang kami, ada sel-sel yang tertidur," katanya. "Pertarungan melawan musuh yang tidak bisa kamu lihat akan jauh lebih sulit."
Selama lima tahun terakhir, militer AS memprediksi jumlah kombatan ISIS yang tewas sekitar 70.000 orang atau 70 persen dari sekitar 100.000 milisi ISIS di Irak dan Suriah. Artinya, ada 30.000 kombatan lain yang masih hidup dan kemungkinan besar masih bersembunyi sebagai sel tidur.
"ISIS tidak akan meluncurkan kejutan besar dalam waktu dekat, tetapi apa yang tersisa setelah kekhalifahan masih akan menjadi tantangan besar," kata kata Hassan Hassan, peneliti di Center Global Policy, kepada The Washington Post.
“Jika antisipasi ini berhasil, ISIS akan menjadi lemah. Jika tidak, Anda akan melihat ISIS seperti Taliban: secara efektif mampu mengendalikan area di malam hari dan mampu menjangkau siapa pun di kota atau desa," ucapnya.
Apa yang terjadi di Irak bisa dijadikan contoh. Hasil riset Mike Knights, peneliti dari Washington Institute for Near East Policy, menyebut hampir 10 bulan setelah Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menyatakan negaranya bebas dari ISIS, aksi serangan ISIS melonjak tajam, mencapai 1.271 serangan.
Strategi ini dipakai untuk menegaskan kontrol diam-diam atas daerah perdesaan tak bertuan di luar perkotaan. "Apa yang dilakukan ISIS sekarang adalah apa yang oleh pasukan militer disebut 'patroli tempur,'" kata Knights kepada Foreign Policy.
Kondisi ini mempermudah pergerakan ISIS keluar-masuk desa dan membuat biaya patroli pasukan Irak membengkak.
Meski begitu, serangan terhadap penduduk sipil relatif berkurang. Jika pun ada sasaran, relatif terarah dan mengacak. Seorang pejabat AS menyebutnya sebagai kualitas serangan daripada kuantitas.
"ISIS mengejar orang-orang yang penting bagi negara Irak," katanya, masih mengutip Foreign Policy.
“ISIS sadar tidak perlu melakukan 6.000 serangan per bulan. Anda hanya perlu membunuh 50 orang yang tepat setiap bulan,” kata Knights.
Mewaspadai Afiliasi ISIS di Luar Negeri
Meski Pasukan Demokratik Suriah-Kurdi telah menaklukan Baghouz, tetapi ISIS enggan tunduk.
"Apa yang kita lihat sekarang bukanlah penyerahan ISIS sebagai organisasi, tetapi pada kenyataannya, keputusan yang diperhitungkan ISIS adalah untuk menjaga keselamatan keluarga mereka dan menjaga kemampuan mereka," Jenderal Joseph L. Votel, kepala komando operasi militer AS, kepada parlemen awal bulan lalu.
"Sebagian besar populasi ISIS yang dievakuasi dari sisa-sisa kekhalifahan tetap tidak bertobat, enggan memutus rantai radikalisasi," katanya.
Maka, yang mesti disorot juga adalah meningkatnya potensi kekerasan di luar Irak dan Suriah.
Nathan Sales, koordinator kontraterorisme dari Departemen Luar Negeri AS, menyebut simpatisan ISIS di luar Irak dan Suriah menganggap apa yang terjadi Baghouz bukanlah kekalahan.
"Mereka melihatnya sebagai [taktik] mundur [sementara waktu]," katanya, seperti dikutip dari CNN. "Mereka secara aktif bekerja untuk melanjutkan perjuangan dari cabang dan jaringan ISIS di seluruh dunia."
ISIS setidaknya memiliki cabang aktif di belahan bumi lain. Beberapa di antaranya mempunyai penguasaan teritorial seperti cabang mereka di Afghanistan, Afrika Tengah, Libya, Mesir, dan Yaman.
Di Libya, kekuatan ISIS antara 3.000 dan 4.000 kombatan. Sempat menguasai Kota Sirte, kota kelahiran Muammar Gaddafi, posisi ISIS terdepak ke pinggiran Kota Sabha. Di Mesir, pemerintah Abdul Fattah as-Sisi masih kesulitan mengusir ISIS dari wilayah Sinai, padahal jumlahnya tak lebih dari 1.000 milisi.
Kekuatan besar ISIS di luar Irak dan Suriah kini terkonsentrasi di Afrika Tengah dan Afghanistan. Eksistensi Boko Haram yang berbaiat ke ISIS menjadi momok bagi empat negara: Chad, Kamerun, Niger, dan Nigeria. Jumlah milisi Boko Haram saat ini berkisar 7.000 hingga 10.000 orang.
Hal sama terjadi di Afghanistan: konsentrasi wilayah ISIS terdapat di wilayah pegunungan Provinsi Nangarhar dengan kekuatan kombatan sekitar 10.000 milisi.
Rantai yang mesti diputus antara komando ISIS di Suriah dan afiliasinya adalah aliran dana. ISIS masih dapat menyelamatkan uang yang dijarahnya dan bisa dipakai untuk melanjutkan operasi global. Laporan PBB memprediksi ISIS masih memiliki uang tunai sekitar 50 juta dolar AS hingga 300 juta dolar AS.
Colin P. Clarke, peneliti senior di Soufan Group, lembaga pemikiran kontraterorisme AS, dalam laporannya menyebut ISIS telah berinvestasi dalam banyak bisnis, termasuk peternakan ikan, penjualan mobil, dan penanaman ganja.
Tak semata kesamaan ideologi, banyak kelompok fanboy ISIS mendeklarasikan baiat kepada Al-Baghdadi didasari aspek jual-beli. Timbal baliknya, ISIS menerima transferan uang.
Jika aliran pendanaan ini bisa diputus, ujar Mike Knights, niscaya dukungan terhadap ISIS di belahan dunia lain bakal berkurang.
Editor: Fahri Salam