tirto.id - Operasi militer selama empat tahun untuk menggulingkan ISIS di Irak dan Suriah berakhir pada Sabtu, 23 Maret.
Fase keruntuhan ISIS sudah terlihat sejak 2017 ketika organisasi teroris ini terusir dari seluruh wilayah Irak dan Raqqa, ibu kota kekhalifahan ISIS.
Alhasil, sepanjang 2018, ribuan milisi ISIS yang tersisa, mati-matian mempertahankan secuil wilayah di Provinsi Deir ez-Zor, kota terbesar di sebelah timur Suriah.
Deir ez-Zor menjadi basis terkuat ISIS sejak 2013. Saat Raqqa jatuh, modal ISIS dipindah ke Mayadin, kota kecil di selatan Deir ez-Zor.
Usai Mayadin jadi target berikutnya oleh tentara Suriah, posisi ISIS semakin terpojok dan bergeser 56 kilometer ke selatan ke Kota Hajin, sebelah timur Sungai Efrat. Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipelopori para milisi Kurdi, berhasil merebut otoritas Hajin dari ISIS pada akhir tahun lalu.
Maka, sejak Desember 2018, ribuan keluarga kombatan ISIS dari pelbagai kota di Deir ez-Zor terpojok di Baghouz, sebuah desa yang hanya berukuran 3,88 km persegi—sekitar setengahnya dari luas Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat.
Para militan ISIS membangun pertahanan yang berhasil memperpanjang peperangan melawan SDF selama tiga bulan.
Sebaliknya, medan tempur yang serba sempit, dengan mempertimbangkan keselamatan perempuan dan anak-anak, menjadi alasan SDF memakai strategi "trickle-out"—melakukan jeda pertempuran sesering mungkin demi memberi peluang para kombatan ISIS menyerah.
Pelan tapi pasti, taktik itu membuahkan hasil. Sejak awal Februari 2019, iring-iringan para kombatan serta anggota keluarga ISIS keluar dari Baghouz.
Berdasarkan taksiran Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), ada sekitar 8.500 kombatan ISIS yang terkonsentrasi di Baghouz; hampir sepertiganya tewas dan yang menyerahkan diri ditahan di penjara-penjara yang diawasi oleh SDF dan otoritas pemerintahan Rojava-Kurdi.
Sementara anggota keluarga ISIS, perempuan maupun anak-anak, dibawa ke kamp-kamp pengungsian, termasuk di kamp Al-Hol, Provinsi Al-Hasakeh, 60-70 jam berjalan kaki dari Baghouz.
Banyak dari kombatan dan anggota keluarga ISIS ini adalah warga negara asing, termasuk warga negara Indonesia.
Berdasarkan rilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 14 Maret lalu, ada sekitar 66.000-67.000 ribu pengungsi di kamp tersebut, melebihi kapasitas kamp itu yang cuma bisa menampung 10.000 orang.
Medio Maret lalu, 120 pengungsi tercatat tewas, mayoritas balita, tulis WHO. Air dan sanitasi yang buruk serta cuaca dingin dan minimnya layanan medis membuat ratusan ribu pengungsi itu rentan hipotermia dan penyakit menular lain.
"Total 146 anak-anak, dengan kondisi gizi buruk yang akut, telah dibawa ke sebuah rumah sakit swasta di kota tersebut," tulis laporan WHO.
Menurut Afshin Ismaeli, wartawan lepas yang meliput konflik terakhir ISIS di Suriah dan melaporkan untuk Tirto, ada sekitar 50 warga negara Indonesia di kamp Al-Hol.
Ismaeli bertemu dengan salah satu keluarga dari Indonesia itu.
Mariam Abdullah, ibu empat anak yang mengaku dari Bandung, Jawa Barat, berkata datang ke Suriah bersama suaminya buat bergabung dengan ISIS.
“Suami saya hilang tidak ada kabar,” ujar Mariam, yang baru dua hari keluar dari Baghouz.
Salah satu putrinya yang besar bernama Nabila. Ketika diwawancarai, Nabila membuka nikab yang dipakainya.
“Ayah saya bernama Saifuddin,” kata si bocah, menampakkan wajah polos. Ia sedang menyuapi tiga adiknya yang masih kecil.
Mariam memohon agar ia bisa dibantu untuk pulang ke Indonesia bersama empat anaknya.
“Mungkin minta bantuan untuk bisa pulang ke negara asal kami, Indonesia,” katanya dalam bahasa Indonesia.
Editor: Fahri Salam