tirto.id - Ini kisah Shamima Begum. Seorang perempuan kelahiran tahun 1999, berasal dari keluarga imigran asal Bangladesh, dan tinggal di sebuah apartemen dua kamar di London Timur. Guardian melaporkan Shamima otomatis mendapat kewarganegaraan Inggris karena lahir di negara tersebut.
Shamima anak tunggal. Pada 2014 ia tinggal bersama neneknya karena ayahnya, Mohammad Uddin, menikah lagi. Ia juga satu atap dengan seorang paman dan ibu kandungnya, Shahnaz Begum.
Shahnaz didiagnosa kanker sejak 2013, dan diprediksi dokter hanya punya sisa hidup selama enam bulan. Shahnaz merahasiakannya dari Shamima, dan meninggal pada Januari 2014.
Kematian sang ibu menyeret Shamima ke fase kesedihan yang mendalam. Mentalnya rapuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh propagandis ISIS. Mereka memengaruhi Shamima melalui khotbah yang Shamima dengarkan di dunia maya. Tujuannya adalah agar Shamima, dan target lain, mau diajak “hijrah”.
Misi itu berhasil. Shamima mulai bolos dari sekolahnya di Bethnal Green Academy. Ia mulai belajar frasa bahasa Arab untuk melancarkan obrolan. Lambat laun ia makin militan. Agar jejaknya tak ingin terdeteksi otoritas setempat, ia menonaktifkan akun-akun media sosial.
Pada tanggal 6 Desember 2014, dengan menggunakan uang hasil pemberian anggota keluarga lain pasca-kematian ibunya, Shamima terbang ke Bandara Gatwick di London menuju ke Istanbul, Turki, lalu menyeberang perbatasan ke Suriah.
Dua minggu kemudian ia menghubungi ayahnya. Ia menyatakan sudah berada di teritori kekuasaan ISIS, sudah menikah dengan seorang pejuang, dan tidak akan kembali ke rumah. Saat itu usianya baru 15 tahun, dan menjadi pelarian ISIS paling muda yang berasal dari Inggris.
Shamima hanyalah satu dari sekian generasi muda Islam di berbagai negara Barat yang berangkat ke Suriah saat beberapa tahun lalu ISIS sedang jaya-jayanya. Dari Inggris, Shamima datang bersama dua teman satu sekolahnya, yakni Amira Abase dan Kadiza Sultana.
Keduanya menemui takdir masing-masing. Abase pernah menikahi pejuang ISIS asal Australia, yang menurut otoritas intelijen Australia terbunuh dalam sebuah serangan udara koalisi. Abase masih sehat wal afiat hingga detik ini.
Sultana lebih tidak beruntung. Ia menikahi seorang pejuang ISIS keturunan Somalia, yang juga terbunuh di satu pertempuran. Ia kemudian berharap bisa pulang ke Inggris. Sayangnya Sultana terlebih dahulu meninggal akibat serangan udara Rusia. Keluarganya percaya ia terbunuh di saat sedang berusaha kabur dari teritori ISIS.
Empat tahun berjalan sejak insiden kaburnya Shamima. ISIS sudah kalah. Kondisi di Irak dan Suriah mulai berangsur-angsur stabil. Tinggal beberapa titik yang sedang dalam penyisiran otoritas keamanan setempat karena diduga masih ditempati sisa-sisa kombatan ISIS.
Pada Februari 2019 jurnalis The Times Anthony Loyd sedang melakukan peliputan di sebuah kamp pengungsian di bagian utara Suriah. Ia mengenali satu perempuan berjilbab panjang karena berbicara dengan menggunakan aksen London yang kental.
“Kau adalah gadis London itu kan?” tanyanya, sebagaimana diucapkan ke BBC News. “Ya, aku adalah gadis Bethnal Green (Academy) itu,” jawab si perempuan, yang ternyata memang Shamima.
Loyd mendeskripsikannya sebagai "Siswi sekolah berusia lima-belas-tahun yang membuat kesalahan fatal karena didoktrin sebagai pengantin ISIS".
Kala itu Shamima sedang mengandung sembilan bulan. Anaknya lahir pada 16 Februari, dengan jenis kelamin laki-laki. Kepada para awak media ia terang-terangan berharap bisa kembali ke Inggris, terutama demi masa depan anaknya.
Sikap Shamima segera memicu perbincangan panas di dunia maya. Banyak warganet yang menganggap ia hipokrit karena telah meninggalkan kenyamanan untuk hidup bersama ekstremis. Lalu, saat ekstremis gagal membangun negara baru meski telah menumpah banyak darah, Shamima dengan entengnya meminta balik ke zona nyaman.
Persoalannya, Shamima sendiri memperparah situasi dengan menyatakan tidak menyesali keputusannya bergabung ke ISIS. Lebih jauh lagi, ia tidak mengutuk serangan bom di Manchester Arena pada Mei 2017 serta menyatakannya “pantas” sebagai tindakan balas dendam atas serangan udara kepada ISIS.
Posisi tawar Shamima makin lemah setelah pemerintah Inggris secara resmi mencabut kewarganegaraannya. Shamima pun kini berada dalam status bukan warga negara manapun, alias “stateless”.
Dalam rekaman yang dipublikasikan ITV, sebagaimana dilaporkan ulang oleh News.com.au, terlihat raut kekagetan Shamima saat menerima kabar tersebut. Ia membaca surat keputusan pencabutan kewarganegaraan yang disetujui oleh Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid.
“Saya lumayan kaget… (Keputusan) ini tidak adil untuk saya dan anak saya,” respons Shamima.
Shamima kemudian meminta Javid untuk “meninjau kembali kasus saya dan memiliki lebih banyak simpati serta pengertian, dan Anda tahu, mungkin memberi saya alasan mengapa mereka (otoritas Inggris) melihat saya sebagai ancaman untuk Britania Raya.”
Shamima sempat menghubungi keluarganya di Baghouz, dan percakapan soal ia kembali ke Inggris terdengar begitu enteng, katanya. Ia kemudian merujuk pada kasus mantan kombatan ISIS yang bisa kembali ke negara masing-masing, termasuk Inggris, dan mempertanyakan mengapa dirinya tidak demikian.
“Opsi lainnya, aku dan keluargaku akan mencoba untuk ke Belanda untuk hidup bersama suamiku yang keluarganya berasal dari sana. Mungkin aku akan meminta kewarganegaraan di Belanda. Jika suamiku ditahan di penjara, aku tinggal menunggu hingga ia bebas,” imbuhnya.
Tidak semua orang setuju dengan sikap pemerintah Inggris. Dalam wawancara bersama ITV News, sebagaimana dilaporkan ulang oleh Telegraph, pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn menyatakan pencabutan kewarganegaraan Shamima adalah “manuver yang terlalu ekstrem”.
"Ia, dalam pandanganku, tentu saja punya hak untuk kembali ke Inggris. Setelah kembali ia mesti menghadapi banyak pertanyaan tentang segala yang telah ia lakukan. Tapi ia juga punya hak untuk mendapatkan dukungan sesuai kebutuhannya," katanya.
Hukum internasional menyatakan larangan untuk membuat seseorang “stateless” dengan mencabut kewarganegaraannya. Tanpa kewarganegaraan, kehidupan seseorang di era modern hampir tak bisa dijalani dengan normal.
Meski Shamima lahir di Inggris, sejak 2002 pemerintah Inggris memiliki kemampuan untuk mencabut kewarganegaraan seseorang jika dianggap mengganggu kepentingan umum. Shamima bukan orang pertama yang mengalaminya, meski dalam beberapa kasus dianggap terlalu politis.
Mengingat orang tua Shamima lahir di Bangladesh dan Shamima berusia di bawah 21 tahun, ada celah bagi Shamima untuk mendapat kewarganegaraan Bangladesh meski ia tak pernah tinggal di negara tersebut atau memiliki paspornya.
Situasinya lebih pelik untuk anak Shamima, yang lahir di kamp pengungsian di Suriah. Secara teori, karena ia lahir saat Shamima masih berstatus sebagai warga negara Inggris, ia berhak mendapat kewarganegaraan Inggris. Namun skenario tinggal bersama Shamima di Bangladesh juga bukan hal yang mustahil.
Persoalannya, pemerintah Bangladesh pada Rabu (20/2/2019) menyatakan Shamima tidak diperkenankan tinggal di Bangladesh. Guardian melaporkan pernyataan resminya datang dari Shahriar Alam, Menteri Luar Negeri Bangladesh.
“Nona Shamima Begum bukah lah warga Bangladesh. Ia adalah warga negara Inggris sesuai kelahiran dan tidak pernah mendaftar untuk kewarganegaraan ganda bersama Bangladesh. Tidak diragukan lagu soal diperkenankan atau tidaknya ia memasuki Bangladesh.”
Pernyataan tersebut menjadi semacam tantangan bagi Sajid Javid yang pada akhirnya akan dipaksa hukum internasional untuk memulangkan Shamima.
Beberapa pihak yang mendukung Shamima kembali ke Inggris juga mengingatkan satu faktor krusial: Shamima masih anak-anak saat memutuskan pergi ke Suriah. Sejumlah orang juga mencurigai langkah Sajid sebagai upaya untuk menggeser isu Brexit yang sedang memanas kembali.
Kenyataannya, memang ada banyak eks anggota ISIS yang telah kembali dari Suriah ke Inggris dalam beberapa tahun terakhir.
Kembali mengutip Telegraph, ada lebih dari 900 orang Inggris yang pergi ke Suriah untuk terlibat dalam konflik yang disulut ISIS. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 20 persennya telah terbunuh, sementara 40 persennya telah kembali ke Inggris.
Mereka yang pulang segera diinvestigasi otoritas keamanan Inggris untuk mencari tahu apakah mereka telah melakukan kejahatan kriminal atau tidak. Analisis lanjutan juga diperlukan untuk menentukan apakah yang bersangkutan punya potensi untuk memberikan ancaman terhadap keamanan nasional setelah kembali menjadi warga Inggris.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti