tirto.id - Ketika euforia dukungan Negara Islam (ISIS) menggema, Farihin, alumnus Afganistan dan mantan anggota Jamaah Islamiyah yang seangkatan dengan Nasir Abbas, masih ingat bahwa Masjid Al Fataa menjadi markas orang-orang yang menyatakan diri bergabung pada Abu Bakar al-Baghdadi, pimpinan ISIS di Irak dan Suriah.
Masjid itu terletak hanya dua gedung dari tempat tinggalnya, dan ia melihat nyaris setiap hari para pendukung ISIS itu berkumpul di sana, sebelum mereka benar-benar diusir oleh warga setempat.
Hari itu, 4 Maret 2014, puluhan simpatisan ISIS mengibarkan Bendera Hitam di Bundaran Hotel Indonesia, dan membentangkan spanduk bertuliskan “Kehadiran Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah; Support & Solidarity for ISIS.”
Di masjid yang terletak di Menteng itu, Farihin melihat Bahrun Naim dan Bahrumsyah. “Mereka juga berbaiat di sini,” kata dia kepada Tirto, Senin kemarin.
Nama lengkap Bahrun Naim adalah Muhammad Bahrun Naim Anggi Tamtomo. Ia menyandang dua panggilan sayang: Abu Rayyan dan Abu Aisyah. Bahrun adalah salah satu dedengkot pendukung ISIS di Indonesia.
Sementara Bahrumsyah adalah kombatan ISIS asal Indonesia, yang berafiliasi dengan Majelis Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso. Bahrumsyah bahkan disebut-sebut sebagai pimpinan ISIS Asia Tenggara. Ia memimpin kelompok Katibah Nusantara, kelompok sempalan yang sengaja diciptakan ISIS untuk mengurusi gerakan ISIS di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Santoso tewas dalam sebuah operasi gabungan aparat keamanan Indonesia pada 18 Juli 2016.
Kedua dalang serangkaian teror di Indonesia ini dikabarkan tewas di Suriah. Bahrun diduga tewas pada November 2017, meski belum terkonfirmasi 100 persen. Sementara Bahrumsyah alias Abu Muhammad al Indonesi tewas pada bulan April 2018.
“Tidak jelas apakah Katibah Nusantara masih ada, walaupun tokoh pentingnya, Abu Walid, mungkin masih hidup,” ujar Sidney Jones, peneliti terorisme dan Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), di kantor redaksi Tirto pada 28 Mei.
Farihin berkata ia "yang mengusir" orang-orang itu dari Masjid Al Fataa. Ia juga mengatakan para alumni Afganistan, yang tergabung dalam Forum Komunikasi Alumni Afghanistan Indonesia, berkumpul di sebuah tempat di dekat masjid saban malam Jumat.
Menurut Farihin, para simpatisan ISIS itu berkumpul sebelum Aksi Bela Islam I, serangkaian gerakan politik jalanan di panggung Pilkada Jakarta yang secara berhasil memenjarakan gubernur petahana Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama. Aksi itu digelar pada 4 November 2016.
Para simpatisan ISIS itu berencana "menunggangi" aksi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dengan membuat situasi panas ketika massa diagendakan menuju Gedung DPR di Senayan, ujar Farihin.
Namun, karena gagal, mereka melakukan rapat kecil untuk melakukan aksi perampokan di Jakarta Utara, yang dipimpin oleh Abu Nusaibah. Pada September 2017, Abu Nusaibah dituntut hukuman selama 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Gelombang Dukungan terhadap ISIS
Secara bergelombang, dari beragam faksi, kelompok-kelompok ini menyatakan janji setia mendukung ISIS. Pada 6 Juli 2014, Bahrumsyah mengumpulkan orang-orang di Masjid Fathullah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Deklarasi dukungan itu baru diketahui pada Agustus dan jadi sorotan media.
Sesudahnya, Bahrumsyah bertolak ke Suriah. Belakangan, ia muncul melalui video dan mengajak para pendukung ISIS untuk bergabung berjihad; suatu propaganda terbaru dalam mesin teror global Negara ISIS.
Di Sukoharjo, Jawa Tengah, sekelompok orang menamakan Forum Daulah Islamiyah juga berbaiat kepada ISIS. Deklarasi ini dihadiri Afif Abdul Majid dan Syaifuddin Umar alias Abu Fida, dua nama yang belakangan diseret ke kursi pesakitan karena berhubungan dengan jejaring teror di Indonesia.
Afif Abdul Majid dikenal sebagai pengurus harian Jamaah Ansharut Tauhid bentukan Abu Bakar Ba'asyir. Sementara Abu Fida adalah mantan anggota Jamaah Islamiyah Lamongan, yang kemudian hijrah ke Jamaah Ansharut Tauhid.
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, dan Malang, Jawa Timur, pada 20 Juli 2014, kelompok bernama Ansharul Khilafah juga berbaiat pada Abu Bakar al-Baghdadi. Sosok yang paling dikenal dalam kelompok ini adalah Salim Mubarok At-tamimi alias Abu Jandal Al Yemeni Al Indonesi. Ia dikabarkan tewas dalam pertempuran di Mosul, Irak.
Merekrut Simpatisan Pergi Ke Suriah
Dukungan terhadap ISIS tersebut diikuti gelombang WNI yang pergi ke Suriah, sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin dan pengikut kelompok-kelompok tersebut. Selain melahirkan aksi teror di Indonesia, mereka juga membuat sistem pendanaan untuk orang-orang yang pengin hijrah ke Suriah.
Salah satu lembaga donatur itu bernama Azzam Dakwa Center (ADC), bentukan Jamaah Ansharut Daulah. Meski mengklaim sebagai lembaga dakwah, termasuk pengumpul dana bagi warga Suriah, belakangan satu per satu pengurusnya ditangkap Densus 88 Antiteror karena mereka terlibat rencana serangan bom di Istana Negara. Kiprah lembaga ini belakangan meredup.
Selain itu, menurut Sidney Jones, muncul para donatur perorangan. Ia menyebut salah satu nama: Kuswandono dari Yogyakarta.
“Dia berangkat sendiri ke Suriah, tapi apa yang dia lakukan sebelum berangkat? Dia kasih kartu ATM kepada teman-teman di sini yang mendukung ISIS. Supaya mereka bisa memakainya untuk orang lain yang mau berhijrah,” ujar Jones.
Nama pendana lain adalah Muhammad Basri alias Abu Saif, dan Robby Risa Putra alias Abu Wahab. Basri dikenal sebagai pemimpin Pondok Pesantren Tanfidzul Al-Quran di Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara Robby adalah simpatisan ISIS yang mendanai pemberangkatan enam WNI ke Suriah. Pada Februari 2016, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis keduanya bersalah karena keterlibatan tersebut.
“Sering terjadi banyak donatur khusus dan bukan bersifat yayasan,” ujar Jones.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam