tirto.id - Berakhir sudah kehidupan Abu Wardah Asy Ayarqi alias Santoso. Polisi memastikan pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) ini tewas dalam baku tembak di salah satu hutan lebat di Tambarana, Poso Pesisir, Senin sore (18/7/2016).
“Sudah pasti. Yang satu adalah Santoso dan yang satu adalah Basri. Kepastian itu didapatkan dari foto dua jenazah itu yang diidentifikasi oleh rekan-rekannya," kata Kapolda Sulteng Brigjen Rudy Sufahriady.
Di sosial media, foto-foto jenazah yang diduga Santoso beredar luas. Foto itu menunjukkan seperempat badan dari dada hingga kepala. Dalam foto itu terlihat wajah pria berambut panjang, dengan kumis dan jenggot yang lebar. Di antara kedua matanya terlihat tahi lalat pada dahi. Tahi lalat inilah yang memantapkan keyakinan bahwa jenazah tersebut adalah Santoso.
Kematian Santoso tentu kabar gembira bagi aparat kepolisian dan TNI. Betapa melelahkannya mengejar gerombolan yang beranggota tak lebih dari 50-an orang ini. Ribuan pasukan sudah dikerahkan, tapi tak kunjung berhasil.
Operasi Camar Maleo I hingga IV yang dilakukan Polri selalu gagal menangkap Santoso. Polri melanjutkan pengejaran dengan menggandeng TNI melalui Operasi Tinombala yang dimulai pada 10 Januari 2016. Operasi Tinombala yang direncanakan dua bulan akhirnya diperpanjang hingga enam bulan. Pada Operasi ke tujuh inilah baru Santoso bisa ditaklukan.
Korelasi jejaring JAT dan MIT
Di Asia Tenggara, setidaknya ada tiga kelompok berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi dan mengklaim bagian dari ISIS. Mereka adalah Anshar Khilafah, Abu Sayyaf dan MIT. Dua nama yang disebut di awal adalah kelompok separatis di Filipina Selatan.
Selain MIT, di Indonesia sebenarnya muncul pula Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. JAT pun disebut-sebut sempat berbaiat kepada ISIS, tetapi dukungan itu telah dicabut. Berbeda dengan MIT, JAT adalah organisasi yang eksis di tengah-tengah masyarakat: mereka mempunyai kantor, anggota, dan kegiatan aktif secara terbuka.
Sangat berbeda jauh dengan MIT, yang meniru dua saudaranya di Filipina dengan angkat senjata, bergerilya dan meneror penduduk serta aparat keamanan. Mesti begitu JAT dan MIT dicap oleh pemerintah dan Amerika sebagai kelompok berbahaya.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai dalam bukunya “Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia” menyebut Santoso adalah bagian dari jejaring JAT. Pada 2009, Ansyaad menuturkan, pelbagai kelompok jihad menggagas pembentukan negara Islam. Salah satu proyek pertamanya adalah mengadakan pelatihan militer di Jantho, Aceh.
Namun, aparat mengendus kegiatan ini. Mereka yang terlibat kocar-kacir dikejar-kejar aparat, termasuk Ba’asyir yang ditangkap karena diduga menjadi donatur. Mereka yang tidak tertangkap membentuk jaringan sendiri di berbagai daerah, di antaranya adalah Abu Tholut yang datang ke Poso pada akhir 2009.
Ansyaad bercerita, Abu Tholut menyarankan proyek pelatihan militer tetap berlanjut dan dipusatkan di Poso. Dia mengajak Santoso sebagai penanggung jawab. Kegiatan difokuskan di Gunung Mauro di Tambrana, Poso Pesisir Selatan, serta Gunung Biru, Tamanjeka, di Kabupaten Morowali.
Setelah perekrutan, sekitar 50-an orang bergabung dengan Santoso. Upaya Abu Tholut dan Santoso mencari simpatisan di Poso amat cerdik. Konflik SARA sempat terjadi di sana. Banyak anak-anak muda mudah dikompori bahwa perjuangan ini adalah bagian dari jihad.
Dia pun memanfaatkan dendam sebagian kecil warga Poso terhadap aparat keamanan dan pemerintah akibat konflik. Faktor ekonomi jadi alasan lainnya. Dalih-dalih ini penyebab kenapa banyak anak-anak muda bergabung dengannya.
Agar program ini sukses Santoso membutuhkan senjata. Mayoritas senjata itu dia dapatkan dari Filipina. Dari video rekaman dan senjata yang disita polisi, kelompok ini kebanyakan memakai senjata serbu M-16. Ini sudah sesuai karakter separatis di Filipina Selatan yang akrab memakai M-16.
Mbai bercerita, Santoso membutuhkan senjata tambahan bagi anak buahnya. Apes, dia tak punya uang. Alhasil aksi ofensif dengan merebut senjata dari aparat dilakukan. Tidak hanya merampas, mereka juga diperkenankan untuk membunuh aparat sebagai aksi balas dendam.
Rabu 25 Mei 2011, gerombolan ini menembak mati 2 polisi dan melukai seorang personel lainnya yang sedang berjaga di BCA Palu. “2 pucuk senjata dibawa kabur mereka,” terang Ansyaad.
Aksi ini berbarengan dengan penangkapan Ba’asyir karena diduga terlibat kasus kamp militer di Aceh. Alhasil tudingan pun langsung mengarah pada JAT. Hasil identifikasi Polri menemukan empat pelaku yakni Aryanto, Dayat, Fauzan dan Faruq adalah anggota JAT.
Dari sinilah kemudian terkuak bahwa Santoso telah membentuk kelompok baru dan aktif membuat pelatihan militer di Poso. Alhasil, namanya pun muncul dalam daftar DPO. Sejak itulah aksi-aksi teror tak henti menghinggapi Poso. Setidaknya lima warga sipil dan belasan aparat tewas di tangan kelompok ini.
JAT sudah berkali-kali membantah keterlibatan mereka dengan MIT. Nasir Abbas, mantan anggota Jamaah Islamiah yang sekarang jadi partner pemerintah membenarkan pembelaan JAT ini. Dalam sebuah rilis yang muncul April 2013, Santoso pun menegaskan berlepas diri dari JAT.
Tapi bantahan ini bisa benar, bisa juga tidak. mengingat pada masa-masa awal eksis, MIT dapat banyak dukungan dari berbagai kelompok ekstrem kanan, khususnya di dunia maya. Banyak media islam “radikal” jejaring JAT seperti Arrahmah, VOA-Islam dan panjimas dsb ikut menyebarkan rilis proganda MIT. Kelompok ini juga mendapat dukungan pasukan cyber yang bertebaran meretas situs-situs TNI dan Kepolisian.
Pada April 2014, video proganda berbahasa inggris muncul dengan judul “So Fight Against the Allies of Satan”. Isinya ancaman keras terhadap Detasemen Khusus 88. Dengan sangar mereka menantang aparat Densus 88 berkelahi secara jantan.
Tapi beberapa bulan kemudian, propaganda yang dilakukan MIT seperti berkurang. Terutama setelah mereka memploklamirkan diri berbaiat kepada ISIS.
Sempat Mendompleng ISIS
Sikap MIT yang mendukung ISIS dikritisi banyak jihadis sebagai keputusan terburu-buru. Wajar, sebab baiat dilakukan hanya selang sehari setelah Abu Bakar Al-Baghadi mendeklarasikan dirinya sebagai khilafah. MIT dicap sebagai kelompok yang tak mau diatur dan gegabah. Kritikan ini diungkapkan sendiri oleh anggota MIT dalam tulisan berjudul “Curahan Hati Seorang Jundi MIT” yang tersebar di blog-blog milik mereka.
Abu Tholut, sosok yang mengenalkan Santoso pada kelompok-kelompok jihadis pun tak habis pikir dengan sikap Santoso ini. “Melihat teman-teman kita yang di gunung (Kelompok Santoso-red) saya merasa sedih dan heran mengapa mereka mau mengikuti ISIS?” ucap sosok yang pernah dipenjara dan kemudian bebas.
Ada alasan dua alasan politis kenapa MIT segera berbaiat kepada ISIS: nama besar dan uang. Dengan mendompleng ISIS, MIT akan dapat nama besar dan jadi perbicangan orang, inilah yang mereka inginkan. Di sisi lain, MIT pun butuh suplai dana besar agar tetap bisa eksis.
Beberapa bulan sebelum berbaiat pada ISIS, Kapolri yang ketika itu dijabat Jenderal Sutarman sempat menuding MIT mendapat sokongan dari Al-Qaeda. Tuduhan ini dibantah langsung oleh Santoso lewat sebuah rilis. Dia mengatakan, perjuangan di Poso murni tanpa bantuan asing. Dalam rilis tersebut tersirat bahwa MIT memang sedang kesulitan dana.
Berpihak pada ISIS yang kala itu menguasai ratusan ladang minyak di Irak adalah keputusan terbaik. Benar saja, penelusuran BNPT membuktikan Santoso dapat aliran dana miliaran rupiah dari ISIS dalam kurun dua tahun terakhir.
Konsekuensi berbaiat pada ISIS adalah MIT ditinggalkan simpatisannya. Semua bermula dari konflik antara ISIS dan Jabhat Nusrah – dua kelompok yang dulunya di bawah kendali Al-Qaeda di Suriah.
ISIS memutuskan berseberangan dengan Al-Qaeda. Alhasil, situasi di kelompok-kelompok jihadis dalam negeri pun terbelah, termasuk di JAT dengan munculnya organisasi sempalan Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) yang menolak ISIS.
Sebenarnya , di tubuh JAT dan simpatisan ISIS banyak yang tidak sejalan dengan MIT. Hal ini bisa terlihat dari sikap jihadis yang lebih memilih berangkat ke Irak dan Suriah ketimbang berjuang bersama Santoso di Poso. Ironis. Bukankah MIT pun sama-sama bagian dari ISIS?
Bisa jadi ini sikap cari aman pada jihadis untuk menghindari bentrokan langsung dengan aparat. Di lain sisi, muncul anekdot bahwa berjuang di Irak berarti mempertahankan eksistensi “Kekhilafahan”, sementara berjuang di Poso itu hanya demi kepentingan Santoso.
Bulan November 2015, seorang simpatisan Santoso menulis artikel terkait masalah ini. Dia merasa MIT kini seolah berjuang sendiri dan ditinggalkan oleh para pejuang "Khilafah" nusantara.
“Ikhwah MIT resmi mengumumkan baiat kepada Daulah Islam beberapa bulan yang lalu, prediksi saya selain untuk memenuhi kewajiban Syariat, baiat itu juga bertujuan sebagai batu loncatan untuk dapat merekrut anggota baru dengan sasaran mereka yang menjadi Ansar Daulah di Indonesia.”
“Dengan baiat tersebut MIT berharap para Ansar Daulah Islam mau bergabung dengan mereka karena secara logika cabang terdekat dari Daulah Islam di Asia Tenggara berada di Gunung Biru, Poso.”
“Ternyata harapan jauh dari kenyataan, hari demi hari semakin berat terlebih gugur syahidnya beberapa ikhwah terutama di bagian Media dan Komandan, mulai saat itu tidak terlihat lagi rilisan video MIT kecuali hanya beberapa Audio dan tulisan.”
“Ansar Daulah Islam di Indonesia bukannya menuju Bumi Poso justru pergi menjauh berlawanan arah menuju Bumi Syam, padahal yang mengaku para Ansar Daulah itu berkeinginan bergabung menjadi pasukan Khilafah tetapi pada kenyataanya justru menuju Bumi Syam dan kemudian berselfie ria di Media Sosial sambil menceritakan kisah perjalanan masing-masing walau tidak semuanya seperti itu […] sekarang Ustadz Abu Wardah hanya berharap kepada Allah. Karena terlihat dari beberapa rilisan seruan untuk bergabung sebelumnya tidak ada yang bisa menyambutnya, sehingga rilisan akhir-akhir ini sudah tidak ada seruan lagi tetapi hanya sebatas kabar dan kondisi terkini di Gunung Biru.”
“Jika ini terus berlanjut, tidak ada sambutan serius dari para Ansar Daulah untuk bergabung memperkuat MIT, maka MIT hanya tinggal menunggu waktu karena secara perlahan ikhwah kita di MIT satu per satu terus berguguran..”
Betapa malang Abu Wardah Asy Ayarqi alias Santoso. Dia mati dalam keadaan kesepian..
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti