Menuju konten utama

Mengantisipasi Kebengisan Simpatisan ISIS di Indonesia

Berbeda dari returnis, para deportan masih menyimpan ilusi dan semangat ideologi teror Daulah.

Mengantisipasi Kebengisan Simpatisan ISIS di Indonesia
Ilustrasi: Simpatisan ISIS di Indonesia. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Ketika Anggi dipulangkan, dia sempat menghilang,” ujar Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-Save, kepada Tirto, 14 Mei lalu.

Mira berkata Anggi Indah Kusuma adalah salah seorang deportan Suriah yang kembali pada awal 2017. Tapi, setelah dipulangkan usai menjalani karantina, ia malah kembali ke jejaring teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bandung Raya. Belakangan, perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, ini ditangkap Detasemen Khusus 88, unit khusus antiteror Polri. Anggi menjadi calon pengantin serangan bom bunuh diri yang rencananya menargetkan Istana Negara.

Berdasarkan dokumen deportan yang diperoleh redaksi Tirto, Anggi termasuk deportan yang menunjukkan "gelagat aneh" ketika dikarantina setelah dipulangkan pemerintah Turki karena tertangkap saat berniat menuju Suriah, salah satu basis penting milisi Negara Islam (ISIS).

Anggi dikarantina selama tiga minggu dan dipulangkan ke kampung halamannya pada 27 Maret 2017. Namun, benih ideologi radikal dalam diri Anggi masih kuat. Ia menghilang dari radar para pendamping deportan dan returnis Suriah.

Anggi kembali dalam pelukan jaringan JAD, waralaba teror di Indonesia yang berbaiat pada ISIS. Di sini Anggi menikah dengan Young Farmer, sesama deportan Suriah, yang juga ditangkap di Bandung. Mereka memiliki anak yang dilahirkan di dalam rumah tahanan cabang Salemba di Mako Brimob, Depok—lokasi pemberontakan para napi dan tahanan teroris pada 8-10 Mei lalu.

“Selain Anggi, ada Tomi Gunawan,” kata Mira.

Mira berkata "tak bisa berbuat banyak" terkait para deportan seperti Anggi yang masih terpikat pada ideologi teror. Meski telah dikarantina, para deportan Suriah masih menyimpan ilusi dan semangat untuk hidup di negeri khilafah. "Deportan itu berbeda dari returnis. Deportan masih penasaran dengan Suriah karena mereka belum tiba [ ke sana],” ujarnya.

“Mereka belum mengetahui kebenaran Suriah itu seperti apa,” ujar Mira, menambahkan bahwa orang-orang ini "susah dikendalikan dan berbeda" dari returnis.

C-Save, lembaga Mira Kusumarini, adalah organisasi nirlaba yang mendampingi para deportan dan orang-orang yang kembali ke Suriah sejak 2017. Selain mendorong perhatian khusus pemerintah kepada orang-orang yang pulang dari Suriah, C-Save juga menyikapi penanganan para deportan dan returnis "harus dilakukan dengan terukur."

Mereka tidak bisa seketika dipenjara, melawan pandangan umum bahwa orang-orang ini harus diproses secara hukum. "Mereka juga manusia, [pernah] satu kali jatuh [berbuat salah]" ujar Mira. "Beri [mereka] kesempatan kedua untuk bangkit dan hidup [kembali] di tengah masyarakat.”

Sidney Jones, peneliti terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengatakan kembalinya para deportan ke jejaring teror di Indonesia memang satu masalah bagi pemerintah Indonesia. Selain kepulangan para simpatisan ISIS ini harus menjadi perhatian khusus, Jones mengungkapkan "ada celah" tak berjalannya program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Sampai saat ini tidak ada program terkait para deportan, khusunya program untuk perempuan," ujar Jones di kantor redaksi Tirto, 28 Mei kemarin.“Harus ada program yang membuat mereka bisa menjalani hidup (di lingkungan baru)."

Infografik HL Indepth Fans ISIS

BNPT Lamban Tangani Serbuan Deportan ISIS

Langkah lamban pemerintah mendeteksi para deportan Suriah menjadi sorotan banyak pihak, menurut Sidney Jones. Ini terlihat ketika publik dikejutkan oleh sekelompok WNI yang berbaiat pada ISIS pada 2014. Setahun sebelumnya, sudah ada migrasi WNI yang pergi ke Suriah. Namun, ujar Jones, pendeteksian kepulangan simpatisan ISIS baru disikapi secara serius oleh pemerintah Indonesia lewat BNPT pada 2017.

Selama kurun 2015-2016, para simpatisan ISIS yang kembali ke Indonesia tak dikarantina karena tiada program mengurusi mereka, tambah Jones. Imbasnya, beberapa WNI simpatisan ISIS ini kembali ke jejaring teror dan melancarkan aksinya di Indonesia.

Selain Anggi Indah Kusuma, salah satu mantan deportan WNI dari Suriah yang kembali berulah adalah Khairul Anam—disebut-sebut sebagai pemimpin JAD cabang Jawa Barat. Khairul dibiarkan pulang tanpa karantina. Belakangan, ia ditangkap karena terlibat rencana teror.

Khairul ditunjuk pada 2015 dalam kepemimpinan JAD, kaki tangan Aman Abdurrahman. Dalam berkas dakwaan Aman, Khairul diketahui hadir dalam rapat para pimpinan JAD yang dipimpin Zainal Anshori di Malang, Jawa Timur. Di sini para amir daerah JAD itu berjanji setia kepada pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi. Rapat itu mendapuk Aman sebagai amir ISIS di Indonesia.

“Harusnya ada sistem untuk memantau mereka,” kata Jones.

BNPT mulai membentuk satuan tugas Foreign Terrorist Fighters ( (FTF) yang khusus menangani para deportan. Langkah ini berbarengan dengan pendirian C-Save. Saat dibentuk, Satgas itu berisi anggota Densus 88 Antiteror.

Penanganan para deportan dan returnis ini hanya sebatas karantina tanpa program yang terukur, dilakukan atas kerja sama dengan Kementerian Sosial melalui Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, Jakarta Timur. Metode kerjanya sangat longgar untuk diklaim sebagai kesuksesan program deradikalisasi.

Misalnya, para simpatisan ISIS itu dibolehkan pulang setelah menjalani karantina tanpa mengukur apakah tingkat radikalisasinya sudah bisa diatasi atau belum.

Mira Kusumarini, yang saat mendirikan C-Save menggandeng pemerintah untuk mengurusi para simpatisan ISIS tersebut, mengisahkan petugas panti sosial tidak memahami apa yang telah dilakukan para deportan di Suriah.

“Awalnya kami melihat dan mendengar [bahwa] petugas tidak paham, apa sih terorisme dan apa itu ISIS, siapa deportan,” ujar Mira. Belakangan, pemerintah melalui BNPT baru mulai serius saat ada pemulangan WNI dari Suriah pada Juli 2017. "WNI ini ada 18 orang, yang sudah dua tahun bergabung dengan ISIS di Suriah," kata Mira.

Kepulangan mereka diarahkan menuju karantina BNPT di Sentul. Mereka adalah keluarga-keluarga yang kecewa terhadap ISIS setelah tinggal di Suriah, ujar Mira.

Tirto menemui salah seorang returnis itu. Keluarga ini telah kembali ke masyarakat dan didampingi selama tiga bulan. Namun, usai program pendampingan, minim upaya BNPT untuk menilai kemajuan para returnis tersebut.

“Sudah tidak komunikasi lagi. Paling saya yang menanyakan. Terakhir mereka bilang mau jenguk, tapi enggak jadi karena keburu ada kejadian di Surabaya,” kata salah seorang returnis, yang minta identitasnya tak disebutkan.

Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi BNPT, menolak berkomentar mengenai penanganan deportan dan returnis. Ia cuma menanggapi singkat permintaan wawancara Tirto.

“Saya belum bisa tanggapi karena staf saya sedang bekerja,” tulisnya melalui pesan WhatsApp.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam