tirto.id - Beberapa jam sebelum aksi pemberontakan napi teroris di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob terjadi, Wawan Kurniawan, terdakwa kasus dugaan kepemilikan senjata api dan rencana jihad ke Marawi, berkata kepada kuasa hukumnya, Asludin Hasjani.
“Bagaimana (makanan) bisa masuk atau enggak?” kata Wawan kepada Asludin, sebelum menjalani persidangan di PN Jakarta Barat.
Hanya beberapa jam setelahnya, dari balik jeruji besi Blok C, Wawan mengamuk.
“Sipir anjing,” teriak Wawan.
Teriakan Wawan menjadi rangkaian dari ekspresi apa yang mereka klaim sebagai "akumulasi" kejengkelan napi dan terdakwa kasus terorisme dari balik Rutan Mako Brimob. Para tahanan, yang memendam emosi karena perlakuan petugas polisi yang dianggap tak bisa ditoleransi, melakukan perlawanan.
“[...] akumulasi ini dari kejadian yang ada. Pertama adalah makanan yang diberi ummahat (istri). Kedua, masalah besukan. Ini masalah klasik yang kami sudah peringatkan," ujar Ruri Alexander Rumatarai alias Iskandar alias Abu Qutaibah, sosok yang dihormati dan dihargai di antara seluruh tahanan.
Rekaman Qutaibah adalah tanggapan atas pernyataan Aman Abdurrahman, sosok yang berpengaruh dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS, yang dipakai oleh pihak kepolisian sebagai negosiator untuk meredam gejolak kerusuhan di Rutan Mako Brimob, pertengahan pekan lalu (8-10 Mei 2018).
“Seranglah thagut, bunuhlah yang kalian jumpai di jalan, termasuk di Mako. Seranglah Mako karena kita akan mati syahid.”
Pesan macam ini, kendati masih spekulatif untuk mengukur eksesnya, sejalan dengan penyerangan terhadap individu dan institusi kepolisian, beberapa saat setelahnya.
Pada saat sekitar Mako Brimbob dijaga ketat, Tendi Sumarno, lelaki yang diduga bagian dari jejaring JAD, menusuk Brigadir Kepala Marhum Prencje hingga tewas. Kejadian serupa hampir terjadi sehari setelahnya. Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah, dua mahasiswi usia 18 dan 22 tahun yang terafiliasi dengan kelompok ini, melakukan serangan kepada polisi, yang untungnya bisa digagalkan.
Namun, ketika para polisi masih dalam posisi siaga, aksi bomber oleh tiga keluarga di Surabaya dan Sidoarjo menambah kekacauan, memperuncing keraguan atas soliditas internal Polri.
Aksi pada Minggu dan Senin kemarin, 13 & 14 Mei, segera mendorong pemerintahan Joko Widodo bereaksi, dari memberi alarm siaga satu ke sejumlah kota, termasuk untuk kawasan Jabodetabek, hingga minta parlemen segera mengesahkan RUU Terorisme, yang memperluas dan memperdalam cakupan "tindak pidana terorisme" termasuk melibatkan TNI.
"Semua berduka atas kejadian ini,” kata Kapolri Tito Karnavian di Surabaya, beberapa jam setelahnya. "Dari tadi pagi kami bergerak, Alhamdulilah, kami sudah bisa mengidentifikasi para pelaku-pelakunya.”
Jejaring ISIS di Indonesia
Semua kejadian, sebagaimana penjelasan polisi, bermula dari Wawan Kurniawan di ruang tahanan Blok C Mako Brimob. Wawan memilik nama lain sebagai Abu Afif, nama panggilan bagi orang yang dihormati dalam jejaring teror kelompok ini. Ia adalah amir Jamaah Ansharut Daulah, Pekanbaru, Riau, satu dari sekian jaringan teroris yang dipimpin Aman Abdurrahman.
Wawan berbaiat kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, pada 2014 setelah kepincut melalui propaganda video yang ia tonton pada 2010. Ia ditangkap karena diduga melakukan aksi amaliyah dan merencanakan penyerangan ke kantor polisi. Di kursi pesakitan, Wawan didakwa memiliki senjata api dan rencana jihad ke Marawi, kawasan Filipina selatan, yang menjadi wilayah ISIS.
Wawan ditangkap tak sendiri. Empat anggotanya juga diseret dalam dakwaan terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Wawan menjadi amir JAD Riau atau dikenal “Jaringan Riau”.
Salah satu pengikut jaringan ini adalah Benny Syamsu Tresno, terdakwa tindak pidana teroris yang tewas saat kericuhan di Rutan Mako Brimob. Bersama Wawan dan Benny, polisi juga menangkap Yoyok Handoko, Nanang Kurniawan, dan Handoko pada Oktober 2017.
Bermula dari Wawan, lantas mengarah ke jejaring JAD pimpinan Aman Abdurrahman, sosok yang dianggap anggota JAD sebagai mentor dan ideolog. Insiden di Rutan Mako Brimob yang menewaskan lima polisi dan seorang napi teroris itu berlangsung selama 36 jam.
Dalam insiden itu, Aman berusaha membujuk kelompok napi teroris agar "meredam" aksinya "karena untuk masalah urusan dunia, tidak pantas terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Imbauan itu ditanggapi Abu Qutaibah, yang ditangkap atas dugaan kasus bom Kampung Melayu pada 2017 dan pernah terlibat dalam jaringan Abu Roban di Bima pada 2013.
Kedekatan Abu Qutaibah dan jejaring Aman dimulai dari ayahnya, yang dijuluki Natsir Kecil, orang yang ikut bersama Abu Bakar Ba'asyir, pimpinan Jemaah Islamiyah, dalam pelarian ke Malaysia pada 1985. Ia mulai menjadi pengikut Aman saat kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2004. Ia pernah mengundang Aman pada 2004 untuk mengisi pengajian di pesantren yang ia dirikan di Bima.
Ketika Majelis Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso alias Abu Wardah dibentuk, Qutaibah meminta para pengikutnya untuk bergabung. Qutaibah menjadi amir JAD Bima hingga ditangkap atas keterkaitan dengan aksi bom Kampung Melayu.
Semula enggan menanggapi soal ada negosiasi dalam pusaran insiden kekerasan di Rutan Mako Brimob, belakangan Kepala Divisi Humas Polri Setyo Wasisto membenarkan soal anggota jejaring kelompok JAD di balik aksi di Mako Brimob dan serangan bomber di Surabaya dan Sidoarjo.
Sel-Sel Tidur ISIS dan Seruan Para Jihadis
Muhammad Jibriel Abdul Rahman, yang pernah menjalani masa penjara dua tahun di Rutan Mako Brimob atas kasus pemalsuan paspor dan menyembunyikan informasi lokasi buronan Noordin M. Top, mengatakan meski orang-orang di balik kericuhan di Rutan Mako Brimob tercatat sebagai anggota JAD, tetapi serangan susulannya bukanlah dari kelompok ini.
Aksi individu oleh Tendi Sumarno terhadap Bripka Marhum Prencje hingga tewas di lokasi Mako Brimob pada Kamis tengah malam, 10 Mei lalu, menurut Jibriel sebagai serangan yang disiapkan untuk "menunggu momentum.” Serangan macam ini dilakukan oleh pelaku yang "seideologi" seperti Sumarno. Satu ideologi ini, katanya, adalah para pendukung Daulah. Jibriel menyebutnya sebagai "ISIS lokal."
"Apa sih JAD? JAD artinya pendukung daulah,” kata Jibriel.
Dalam dokumen penyidikan (BAP) Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah, disebutkan mengenai motivasi kedua gadis ini mendatangi markas Brimob Polri.
“Untuk membuat chaos atau rusuh," ujar Dita.
Baik Dita maupun Siska mengaku belajar ideologi ISIS dari media sosial. Keduanya berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi dan berjanji menjadi pengikut setia ISIS. Momentum kericuhan dimanfaatkan keduanya untuk berjihad sesuai ideologi ISIS.
"Dalam rangka berjuang dan berjihad di jalan Allah dan menegakkan hukum Allah di Indonesia," ujar Dita dalam BAP.
Teka-Teki Jejaring JAD Jawa Timur
Hanya beberapa jam usai serangan bom beruntun di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, Polri merilis nama-nama pelaku pengeboman, yang semuanya adalah keluarga.
Kapolri Tito Karnavian menyatakan motif pelaku adalah aksi pembalasan atas penangkapan pimpinan-pimpinan Jamaah Ansharut Daulah. Selain itu, aksi ini tak terlepas dari perintah ISIS, organisasi yang berafiliasi dengan JAD.
"Motifnya terkait serangan ini karena adanya instruksi dari ISIS, sentral. Mereka terdesak dan mereka memerintahkan sel-sel di seluruh dunia untuk bergerak. Di tingkat lokal itu pembalasan dari kelompok JAD karena pimpinannya Aman Abdurrahman ditangkap," kata Tito dalam keterangan pers di Surabaya, Senin kemarin, 14 Mei 2018."Yang bersangkutan [Aman] telah divonis dan harusnya keluar pada Agustus lalu. Namun, Aman kemudian ditangkap kembali karena diduga keras terkait dengan perencanaan dan pendanaan pada kasus bom Thamrin di Jakarta awal tahun 2016," ujar Kapolri.
Setelah Aman ditangkap, kepemimpinan JAD dialihkan kepada pimpinan JAD Jawa Timur bernama Zainal Anshori. Namun, Zainal ditangkap di Lamongan pada 7 April 2017 atas keterlibatan dalam pendanaan untuk memasok senjata dari Filipina selatan ke Indonesia.
"Otomatis dalam proses hukum itu membuat jaringan JAD Jatim, termasuk di Surabaya, memanas," kata Tito.
Menurut Tito, kelompok yang paling bereaksi adalah JAD cabang Surabaya, yang dipimpin oleh Dita Oepriarto, bomber tiga gereja.
Namun, apakah seorang amir mau melakukan bom bunuh diri?
Keterangan Tito Karnavian sangat spekulatif karena, berdasarkan pengalaman aksi terorisme yang diklaim oleh ISIS, seorang amir adalah yang memerintahkan aksi, menurut Muhammad Jibriel Abdul Rahman.
“Kalau amir itu enggak mungkin melakukan amaliyah,” ujar Jibriel. “Dia otaknya.”
Dalam dokumen persidangan Zainal Anshori di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tak ada nama Dita Oepriarto dan tak ada pula keterangan soal pimpinan JAD Surabaya. Yang ada hanya nama Budi.
Benarkah Dita Oepriarto adalah amir JAD Surabaya?
Sejauh ini belum ada rilis dari sumber lain yang bisa mengonfirmasi keterangan dari kepolisian tersebut, termasuk dari lembaga-lembaga kredibel yang berfokus pada isu terorisme.
Menurut Jibriel, bisa jadi Dita memang bukan pimpinan atau anggota jejaring JAD di Surabaya. Namun, karena jejaring ini berafiliasi dengan ISIS, Dita sekeluarga yang "satu ideologi dengan ISIS" bisa disebut sebagai "jejaring daulah."
“Karena seideologi ... tidak penting jaringannya. Yang pasti [tekad] mereka melakukan serangan bom bunuh diri. Mereka adalah teroris,” ucap Jibriel.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam