Menuju konten utama

Keluarga Dita Oepriarto, Potret Bomber Surabaya di Mata Tetangga

Tetangganya, yang satu arisan bulanan PKK dan seorang jemaat GKI Diponegoro, tak menyangka gerejanya jadi target keluarga bomber.

Keluarga Dita Oepriarto, Potret Bomber Surabaya di Mata Tetangga
Ilustrasi pelaku teror bom Surabaya. tirto.id/Louis Lugas W

tirto.id - Sulit menemukan para tetangga di Perumahan Wisma Indah yang punya kesan negatif kepada keluarga Dita Oepriarto, pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu pagi kemarin, 13 Mei 2018.

Rumah yang dihuni Dita bersama istri dan keempat anaknya berada di Blok K-22 di kawasan Wonorejo. Andi, tetangga yang berjarak dua rumah, melihat Dita dan istrinya selalu memberi senyum kepada para tetangga sekitar. Begitupun kesan Saimin, sekuriti perumahan tersebut menyebut Dita sebagai "orang bagus" lantaran keramahannya kepada warga.

"Pak Dita kalau lewat selalu menyapa, senyum, nunduk kepalanya. Menghormati sekali," kata Bagus, tetangga Dita yang berjarak empat rumah dan sudah mendiami Wisma Indah sejak 2000. "Sebagai tetangga, enggak ada pemikiran jelek."

Bagi Khorihan, Ketua RT perumahan, bahkan semula tak percaya berita bom bunuh diri di tiga gereja yang ia dengar sejak Minggu pagi berasal dari keluarga seperti Dita.

Dita dan kedua putranya tidak asing bagi Khorihan. Ia menyebutnya sebagai "orang yang cukup baik." Lima kali dalam sehari, Khorihan selalu bertemu Dita dengan kedua putranya di Mushola Al-Ikhlas saat menunaikan salat berjamaah. Ketika Iduladha, Dita adalah keluarga yang selalu mengatakan siap dan sanggup berkurban seekor sapi untuk musala kompleks.

Ketika pihak Densus 88 menyodorkan foto-foto kondisi para pelaku bom tiga gereja itu kepadanya untuk mengonfirmasi, barulah Khorihan, selaku wakil takmir musala, percaya.

Iya benar ini anaknya. Iya ini Pak Dita ini,” ujar Khorihan separuh kaget.

Tidak ada aktivitas sosial-keagamaan dan "perilaku aneh" yang menimbulkan kecurigaan tetangga terhadap keluarga Dita—suatu profiling yang acap dilekatkan kepada pelaku teror. Sebaliknya, Dita dan istrinya kerap menunjukkan sikap ramah kepada para tetangga, termasuk terhadap yang berbeda secara etnis dan agama.

Enggan Menyerahkan KK & KTP

Sejak kepindahan keluarga Dita dari daerah Tembok Dukuh ke Perumahan Wisma Indah pada 25 September 2012, belum pernah sekalipun Dita menyetorkan fotokopi Kartu Keluarga atau KTP kepada Ketua RT.

Lima bulan lalu, cerita Khorihan, ia pernah menagih fotokopi KK agar segera diserahkan untuk keperluan administrasi tingkat RT. Setelah dua minggu tanpa respons, ia menyampaikan lagi, kali ini kepada salah satu putra Dita. Namun, tidak ada balasan.

Akhirnya, Khorihan datang ke rumah Dita untuk menagih kembali. Khorihan tidak masuk ke rumah dengan alasan "sudah cukup kesal." Dengan nada suara yang agak meninggi dari biasanya, ia menagih fotokopi KK. Tetapi, hasilnya tetap nihil. Dita hanya menjawab singkat “iya” tanpa menuruti permintaan sang ketua RT.

Nyatanya, ulah Dita ini agak merepotkan Khorihan ketika didesak anggota Polsek setempat saat mulai melakukan penyelidikan pada Minggu siang, sekitar pukul 11, tiga jam setelah rentetan ledakan di tiga gereja.

Polisi menyodorkan nama Puji Kuswati beserta alamat rumah Blok K-22 kepada Khorihan. Ini didapat kepolisian dari pelat nomor pelaku bom bunuh diri yang tertinggal di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela. Khorihan mengatakan tidak ada warganya bernama Puji, meski alamat rumah mengarah kepada Dita.

Meski dikenal sebagai orang yang sopan dan kerap menyapa para tetangga, Dita adalah sosok yang irit bicara. Di musala, yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah mereka, seusai menunaikan salat, Dita dan kedua putranya langsung beranjak pulang. Mereka tidak terlibat percakapan dengan jemaah di musala.

Lingkungan Wisma Indah memang punya suasana tenang dan cenderung sepi. Para tetangga terdekat mengaku tak pernah berbicara secara akrab dengan Dita selain hanya bertegur sapa.

Bagaimana dengan Puji Kuswati?

Informasi dari Khorihan, sudah dua bulan terakhir Puji tidak ikut arisan bulanan ibu-ibu perumahan. Saya menemui Yayuk, anggota arisan bulanan dari ibu-ibu PKK. Ketika menghadiri arisan bulanan, Puji tidak terlihat memakai cadar, melainkan berjilbab biasa.

Biasanya hadir, terus enggak ada. Saya enggak nanya-nanya karena saya bukan petugas RT, ya,” ujar Yayuk.

Yayuk adalah jemaat GKI Diponegoro, satu dari tiga gereja yang jadi sasaran serangan bom bunuh diri keluarga Dita Oepriarto. GKI Diponegoro adalah sasaran Puji Kuswati yang membawa kedua putrinya, yang meledakkan diri di lokasi parkir motor, melukai Yesaya Bayang, seorang satpam.

Ketika Yayuk mendengar informasi ini, ia tercekat. Mungkin sebuah kebetulan, mungkin sebuah nasib baik, pada Minggu pagi itu, 13 Mei, Yayuk tidak beribadah di GKI Diponegoro, melainkan di gereja lain.

Baik sekali orangnya. Ramah, baik sekali,” ujar Yayuk, seakan tak percaya.

Infografik HL teror Bom 3

Yang Terakhir Kali Mengetahui

Tidak banyak warga Perumahan Wisma Indah yang mengetahui aktivitas terakhir sebelum Dita sekeluarga meledakkan diri di tiga gereja. Saya menemui Yanto, sekuriti perumahan rekan Saimin, yang berjaga pada Minggu pagi.

Tugas Yanto selain memastikan keamanan adalah membuka dan menutup portal perumahan ketika ada warga atau tamu yang keluar-masuk kompleks.

Sekitar pukul 6 pagi, Yanto melihat mobil Avanza warna silver berisi keluarga Dita bersama sepeda motor yang dikendarai kedua putra mereka berboncengan melintas portal perumahan. Seperti biasa, Yanto membuka portal perumahan tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun. Kaca mobil tak dibuka. Yanto hanya mendengar bunyi klakson mobil, tanda menyapa dari Dita, seperti yang selama ini dilakukan tiap keluar perumahan.

Sulit kalau disuruh mencurigai. Dita kalem. Selalu salat jamaah lima waktu," ujar Yanto. "(Dia) sampai mendatangkan guru ngaji ke sini. Guru pria untuk anak cowok, yang perempuan ada guru wanita sendiri. Setiap hari. Memang ekonomi mereka berlebih."

Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap hari Minggu, Dita Oeprirto dan keluarga sering pergi untuk berlibur. Hal ini membuat tetangga hafal.

Beberapa jam sebelum melakukan aksi bom bunuh diri, Dita bersama kedua putranya masih menjalankan ibadah salat Subuh berjamaah seperti biasa di Mushola Al-Ikhlas. Tidak ada gelagat aneh yang diperlihatkan Dita dan kedua putranya.

Usai salat, Dita dan kedua putranya saling berangkulan. Kebiasaan berangkulan ini sudah dilakukan mereka sejak lama, bukan sesuatu yang baru, bukan sebuah tanda bahwa dalam dua jam kemudian, mereka menciptakan teror kelabu di Surabaya.

Baca juga artikel terkait TEROR BOM GEREJA SURABAYA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam