tirto.id - Awal tahun 2018, Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela menggelar diskusi umum bertema “Apa Itu Katolik?” Tema ini diambil dari buku Romo Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat di Driyarkarya Jakarta. Romo Magnis dihadirkan sebagai pembicara.
Panitia sengaja mengundang sejumlah tokoh masyarakat dari lintas agama dan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, dan sebagainya. Diskusi dibuat bukan dalam rangka memperkenalkan apa itu Katolik dan mengajak orang memeluk agama, melainkan sebagai momentum untuk mengumpulkan tokoh-tokoh lintas iman di Surabaya.
Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tak Bercela, Romo Alexius Kurdo Irianto, adalah inisiator kegiatan tersebut. Ia menilai para tokoh gerakan lintas iman harus sering bertatap muka dan berdialog bersama. Tujuannya agar kehidupan antarumat beragama di Surabaya semakin harmonis.
“Kalau menurut saya, relasi gereja dengan masyarakat di sini baik. Tidak ada masalah. Begitu juga dengan agama lain,” kata Romo Kurdo kepada saya di Sekretariat Gereja Santa Maria, Senin kemarin.
Kerukunan yang terbangun selama ini, lanjut Romo Kurdo, yang mungkin membuat kelompok teroris gerah. Karena itu, Surabaya menjadi target pemboman. Tujuannya, muncul rasa kecurigaan, kebencian yang berujung pada perpecahan.
“Itu bisa saja terjadi, tapi kita berharap tidak. Kami yakin masih solid,” katanya.
Aktivitas 3 Gereja yang Dibom
Selama ini Gereja Santa Maria Tak Bercela memiliki program pelayanan masyarakat umum. Setiap Minggu, jemaatnya menjual makanan murah untuk orang tidak mampu. Sebungkus nasi lengkap lauk hanya dijual seharga Rp2.000. Selain itu, pada momen tertentu, gereja membagikan bingkisan untuk warga sekitar. Minimal setahun sekali.
“Kami ingin membagi dari sedikit apa yang kami punya, kami juga ada poliklinik untuk warga umum,” kata Romo Kurdo.
Kegiatan gereja yang tak hanya mengurusi jemaatnya itu yang membuat warga di sekitar gereja juga ikut kegiatan gereja, menerima bantuan, bahkan bekerja di gereja. Salah satunya Budi Hartono, seorang muslim yang bekerja sebagai satpam.
Budi, 39 tahun, sudah bekerja selama 17 tahun di Gereja Santa Maria. Kebetulan rumahnya tak jauh dari gereja. Sepanjang ia bekerja di sana, ia banyak mendapat cerita yang baik tentang gereja dari warga. Misalnya, para pengayuh becak yang kerap mangkal di samping gereja merasa senang karena gereja sering membagikan bingkisan, biasanya sembako.
Bahkan selama ini, meskipun ia seorang muslim, ia tidak pernah diperlakukan berbeda oleh para romo dan pengurus gereja. Ia juga tidak pernah diajak untuk memeluk agama Katolik.
“Saya tujuh belas tahun di sini tidak pernah ada upaya dijadikan Katolik. Saya juga diperlakukan sama oleh romo-romo di sini, tidak dibedakan. Saya yakin ini salah sasaran,” kata Budi. Ia marah sekaligus sedih karena bom di tempat kerjanya membuat rekannya, Aloysius Bayu Rendra Wardhana, meninggal dunia.
Aktivitas gereja yang ditujukan untuk kalangan di luar gereja juga dilakukan oleh Gereja Kristen Indonesia di bilangan Diponegoro. Sejak dulu, gereja yang menjadi target pemboman itu memiliki program beasiswa untuk warga di sekitar gereja. Beasiswa ini khusus untuk siswa SD, SMP, dan SMA.
Koordinator tugas Majelis GKI Diponegoro, Jozua Poli, mengatakan program itu adalah wujud kepedulian gereja terhadap lingkungan. Program ini diampu oleh bidang Kesaksian dan Pelayanan GKI Diponegoro.
Pada saat bom meledak, rencananya gereja akan menyerahkan bantuan beasiswa kepada tiga siswa SMP. Malangnya, tiga siswa itu justru menjadi korban bom. Saat bom meledak, ketiga penerima beasiswa itu hendak masuk ke gedung gereja. Punggung mereka mengalami luka dan dilarikan ke rumah sakit.
“Kami dengan warga menjalin hubungan baik. Selain itu di Surabaya, memang kondisi toleransi ini sangat baik, mungkin karena di sini adalah basisnya muslim tradisional NU,” kata Jozua.
Selain beasiswa, ditingkat Klasis, GKI Diponegoro aktif dalam kegiatan lintas iman. Beberapa pendeta di sana aktif dalam kegiatan Gusdurian, sebuah komunitas yang menebarkan pemikiran almarhum Abdurrrahman Wahid, tokoh NU.
Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, yang berdiri pada 1946, juga punya program serupa. Selama ini mereka fokus pada pemberian layanan kesehatan gratis dan murah untuk publik. Sebuah klinik di gereja dibuka setiap hari dengan harga murah, hanya sekitar Rp15 ribu sekali cek medis sekaligus obat. Khusus hari Minggu, layanan itu diberikan secara gratis.
Gembala gereja, Yonatan Biantoro, mengatakan layanan kesehatan itu banyak diakses oleh warga sekitar gereja, bahkan orang dari luar Surabaya. Ia bahkan tidak tahu dari mana informasi klinik murah dan gratis yang mereka buat bisa sampai ke telinga orang di luar Surabaya.
“Pada intinya kami, kan, melayani, siapa pun tidak peduli agamanya. Itu sudah menjadi tugas gereja,” kata Yonatan.
Khusus untuk merawat silaturahmi dengan jaringan lintas iman, Yonatan aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surabaya. Sebulan sekali mereka rutin mengadakan pertemuan. Selain itu, pemuka GPPS Sawahan kerap diundang dalam forum-forum dialog kebangsaan yang dibuat oleh pemerintah.
“Kita tahu bahwa keberagaman itu ada, karena itu kita perlu merawatnya." ujar Yonatan. "Apa yang terjadi pada gereja kami kemarin, tidak akan membuat kami terpecah. Kami sudah memaafkan para teroris."
Bom Tak Membuat Kerukunan Terpecah
Alih-alih membuat rasa curiga muncul dan membuat perpecahan antarumat beragama, pemboman yang dilakukan teroris di Surabaya justru makin menguatkan kelompok lintas iman. Pada Minggu malam setelah bom meledak, para aktivis lintas iman dan warga kota menggelar aksi lilin bersama di Tugu Pahlawan Surabaya sebagai bentuk solidaritas dan keprihatinan bersama.
Yuska, aktivis Gusdurian Surabaya dan salah satu penggagas acara itu, mengatakan aksi teror bom tak mengusik sama sekali relasi kelompok lintas iman, khususnya muslim dan Kristiani. Sebaliknya, peristiwa ini justru menjadi momentum untuk makin merapatkan barisan memerangi terorisme.
“Dari pengalaman ini, selama ini kita merasa bahwa kita itu sudah aman. Tapi ternyata tidak. Ini membuat kita harus menyiapkan energi lebih besar," kata Yuska. "Kita harus memikirkan aktivitas yang output-nya itu bisa lebih jangka panjang. Agar anak-anak tidak tumbuh dengan virus kebencian seperti para teroris."
Virus kebencian ini, menurut Pendeta Simon Filantropa dari GKI Diponegoro, disebarkan melalui banyak hal. Salah satunya lewat serangan bom. Para teroris berharap bahwa bom bisa membuat warga Kristen marah dan timbul kebencian dalam hati.
Ia melihat gejala itu mulai ada. Ia mencontohkan ada beberapa orang yang ia kenal mempertanyakan mengapa teror bom dilakukan menjelang bulan puasa. Ia segera menegur.
“Lho, ini kalau Anda mengaitkan bom dengan bulan puasa, artinya menunjuk agama lain. Jadi jangan kamu mengaitkan bom ini dengan urusan puasa. Itu reaksi yang berlebihan. Dan itu yang diharapkan oleh para teroris. Kita tidak boleh terpancing,” tegas Simon.
Masalah ancaman teror dengan menyebar kebencian ini yang selama ini diakui Romo Alexius Kurdo Irianto dari Gereja Santa Maria belum menjadi perhatian gereja Katolik. Menurut Romo Kurdo, kegiatan yang dilakukan gereja Katolik semata-mata karena asas semua manusia adalah saudara. Semua manusia, apapun etnis dan agamanya, apapun kelompoknya, harus diperlakukan sama baiknya.
“Cara berpikir kita tidak seperti sekarang. Ada ancaman yang harus ditangani. Ini memang yang harus dipikirkan. Kerja ini memang tidak bisa dilakukan sendiri, harus bersama-sama,” ujar Romo Kurdo.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam