tirto.id - Seorang laki-laki tampak memasuki sebuah bus berisi sejumlah penumpang yang penuh luka-luka. Di dadanya terpasang bom sabuk yang rencananya akan dia ledakkan. Sembari mendaraskan syahadat, ia melangkah ke tengah bus dan bersitatap dengan seorang bapak dan anak kecil Kedua orang tersebut, alih-alih merasa gentar, justru menanggapi kehadiran Si Pembawa Bom dengan ujaran-ujaran kebaikan.
Reaksi-reaksi serupa kedua penumpang bus ini terus didapat oleh Si Pembawa Bom saat berjalan di luar seraya menyerukan takbir. Di tengah jalan, di dalam sekolah, di depan masjid, sekumpulan orang terus melantunkan nyanyian bertema cinta kasih kepada calon pengebom bunuh diri itu. Posisi kini terbalik. Alih-alih menjadi ancaman bagi sekitar, Si Pembawa Bom justru jadi tersudut oleh puluhan orang yang terus mendekatinya.
Ia jatuh, lantas seorang bapak berkefiyeh mengulurkan tangan, membantunya bangkit. Orang-orang terus merapat. Terhimpit di tengah-tengah, Si Pembawa Bom pun mengambil ancang-ancang menekan bom. Namun, rencana bunuh diri itu akhirnya ia gagalkan sendiri. Bukannya diakhiri dengan penghakiman massa atau pemenjaraan Si Pembawa Bom, cerita ditutup dengan kehadirannya pada sebuah pesta pernikahan sembari tersenyum dan menggendong anak kecil.
Kisah ini diambil dari video klip teranyar Hussain al-Jassmi, penyanyi asal Uni Emirat Arab, yang telah ditonton jutaan warganet dan viral di media sosial. Dalam video klip ini pun disisipkan cuplikan-cuplikan gambar para penyintas dan lokasi pengeboman di Timur Tengah seperti Ibrahim Abdulsalam—korban luka dari pengeboman masjid di Kuwait, Nadia al-Alami—pengantin pada pengeboman pesta pernikahan di Amman, pengeboman di Al-Karrada, masjid Imam al-Sadiq, Kuwait, dan area parkir RS Dr. Sulaiman Faqih, Jeddah.
Banyaknya orang yang menyebarkan video ini tidak terlepas dari serangkaian teror yang terjadi di berbagai penjuru dunia. Tak habis-habis warga dunia dibuat cemas olehnya, dan tak surut pula sentimen negatif terhadap orang-orang Timur Tengah serta para pemeluk Islam.
Video semacam ini pun hadir sebagai kampanye antistereotip negatif terhadap Islam. Alih-alih merepresentasikan Islam sebagai agama yang lekat dengan kekerasan, pembuat video klip bertajuk “With Love We Sing” ini ingin menyampaikan bahwa Islam adalah keyakinan yang mengusung belas kasih dan pengampunan.
Video klip ini tentu saja bukan produk budaya populer perdana yang dibuat dengan tujuan memerangi terorisme dan mengentaskan stereotip tentang Islam. Pada 2010, film My Name is Khan menampilkan Rizwan Khan, seorang laki-laki muslim India yang menolak stereotip negatif seputar afiliasi agama dan rasnya pasca-tragedi 11 September di Amerika Serikat.
“My name is Khan and I’m not a terrorist” adalah kata-kata yang terus diucapkan Rizwan, termasuk pada saat dirinya bertemu dengan sang Presiden. Antistereotip tidak hanya digambarkan melalui ekspresi verbal Rizwan. Pada adegan lain juga ditampilkan ibunya mengajari Rizwan untuk tidak menilai orang lain berdasarkan pengotakan agama seperti Islam atau Hindu, tetapi dari perilakunya yang dikategorikan baik atau jahat.
Empat tahun setelah My Name is Khan diluncurkan, sekelompok anak muda Inggris membuat kampanye antistereotip dengan mengusung tagar #NotInMyName. Pasca-penyanderaan dan pembunuhan David Haines dan penculikan Alan Henning oleh kelompok ISIS, grup Active Change Foundation yang berbasis di London Timur membuat kampanye ini. Mereka menyatakan bahwa kaum Muslim di Inggris mengecam tindakan ISIS yang menurut mereka tidak merepresentasikan ajaran agama Islam.
“Pembunuhan orang tak berdosa tidak memiliki justifikasi dalam agama atau cara hidup apa pun. ISIS bukanlah muslim yang sesungguhnya, mereka tidak mempraktikkan ajaran Islam: perdamaian, pengampunan, dan belas kasih. Mereka adalah musuh seluruh umat manusia,” demikian diutarakan Hanif Qadir, penggagas Active Change Foundation, kepada Mirror.
Tidak hanya tagar ini saja yang diviralkan di media sosial. Sebuah video pun mereka unggah untuk menciptakan kesadaran bahwa aksi terorisme tidak bisa dilekatkan mentah-mentah dengan Islam.
Solidaritas sebagai warga dunia dan kesadaran bersama untuk melawan terorisme juga diejawantahkan melalui simbol-simbol tertentu di media sosial. Pada 2015, 24 jam setelah serangan teror di Paris, warganet ramai-ramai memperbincangkan tragedi ini di macam-macam media sosial.
Time mencatat sebanyak 430 juta interaksi melalui post berita dan komentar seputar serangan di Paris terjadi di dunia digital. Tidak hanya itu, logo “Peace for Paris” buatan Jean Julien pun digunakan warganet sebagai tanda keprihatinan atas tragedi tersebut. Bersamaan dengan logo “Peace for Paris”, tagar terkait kejadian di Paris dua tahun lalu ini juga digunakan sebagai bentuk aktivisme melawan terorisme.
Aktivisme dengan tagar di ranah media sosial juga sempat dilakukan warganet Indonesia menyusul aksi teror di M.H. Thamrin, Jakarta, pada 2016 silam. Ribuan post dengan tagar #KamiTidakTakut memenuhi linimasa media sosial kala itu.
Sebagian orang memandang skeptis bahwa aktivisme melalui produk budaya populer seperti media sosial dan film tidak membawa dampak begitu signifikan. Namun, dalam tulisan Bonilla dan Rosa (2015) mengenai aktivisme tagar, dikatakan bahwa wacana yang diusung melalui penggunaan tagar mampu menyatukan publik dari berbagai tempat. Interaksi yang diawali dengan penggunaan tagar juga dapat menciptakan pertukaran pengalaman dan pengetahuan. Hal inilah yang lantas bisa memicu solidaritas dari warganet yang mulanya sama-sama asing.
Jamaknya film-film dan pembingkaian berita yang mengasosiasikan Islam dengan aksi terorisme juga telah membentuk persepsi keliru dan diskriminasi terhadap para pemeluknya. Untuk menentang pembentukan stereotip negatif semacam ini tentunya kurang efektif bila menggunakan protes-protes langsung.
Oleh karena itu, sejumlah film dan video klip dibuat untuk memberikan cara pandang alternatif yang lebih berimbang mengenai Islam. Benang merahnya satu: tak adil bila memandang aksi kejahatan dilekatkan dengan agama si pelaku kejahatan. Ajaran memang bisa dibelokkan, keyakinan bisa dipupuk atau malah ditebang, tetapi individulah yang memiliki kendali untuk mempertahankan nilai kemanusiaan atau justru mengabaikannya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani