tirto.id - “Bahkan sebelum Pancasila lahir, kehidupan di Kampung Sawah sudah rukun. Saya merasakan keindahan warisan nenek moyang itu,” ujar Richardus Jacobus Napiun, 61 tahun, awal September lalu.
Jacobus dianggap tokoh Katolik dari Kampung Sawah, sebuah daerah di Kota Bekasi yang meliputi Kelurahan Jati Murni dan Jati Melati di Kecamatan Pondok Melati. Dari Kali Sunter, titik terluar DKI Jakarta, jarak ke sana sekitar 2 kilometer.
Ciri khas dari Kampung Sawah adalah sikap toleransi beda agama antar-warganya, yang berkelindan dengan sejarah dan kisah keluarga.
Sikap ini makin penting di tengah kecemasan naiknya tindakan pelarangan ibadah, termasuk diskriminasi dan aksi kekerasan, terhadap minoritas-minoritas agama di Indonesia. Terlebih di Provinsi Jawa Barat, lokasi Kampung Sawah, yang setiap tahun selalu mencatat rapor merah dalam kebebasan beragama di Indonesia. Pendeknya, Kampung Sawah terlihat kian mencolok melawan tren persekusi yang melanda hak beragama.
Di sini Anda bisa menjumpai tiga tempat ibadah tertua, satu sama lain berjarak 80-an meter. Di antaranya Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan, dan Masjid Agung Al Jauhar Yayasan Pendidikan Fisabilillah (Yasfi).
Tak heran saat Magrib tiba, terdengar nyaris bersamaan lonceng gereja dan azan. Saat itu pula jemaah dari tiga agama mengisi bahu jalan. Para pria dari umat Nasrani memakai peci hitam, baju koko, dan sarung. Sementara para perempuannya memakai kerudung.
“Pakaian itu bukan simbol agama. Ini kekhasan nasional. Orang Kampung Sawah dialeknya Betawi Ora, Betawi pinggiran,” tutur Jacobus.
Jacobus pernah menjabat Wakil Dewan Paroki di Gereja Katolik Santo Servatius. Ia salah satu inisiator forum lintas agama bernama “Ngeriung Bareng” yang membidani terbentuknya Forum Umat Beragama dan ia salah satu pengurusnya. Ia juga memprakarasi kerja penerjemahan Kitab Injil ke dalam bahasa Kampung Sawah, yang dituangkan lewat mimbar misa di gerejanya.
Jacobus adalah anak pertama dari delapan bersaudara. Tiga adiknya menganut Islam dan Kristen. “Kami rukun karena bersaudara secara keturunan dan sesama umat manusia,” tambahnya.
Adon Nasrullah Jamaludin, peneliti dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, mengemukakan tradisi Betawi di Kampung Sawah tidak ditemukan di tempat lain.
Dalam penelitiannya, “Sistem Kekerabatan Masyarakat Kampung Sawah di Kota Bekasi," ia menguraikan sistem marga dari garis bapak mengikat kekerabatan warga. Sistem ini pula berguna mencegah pernikahan antar-marga yang sama.
Beberapa marga di Kampung Sawah antara lain Baidan, Baiin, Centeng, Cimi, Dani, Emeng, Empit, Halim, Jilin, Kadiman, Kari’in, Kelip, Kuding, Kuding, Minan, Modo, Napiun, Nathanael, Niman, Noron, Oyan, Peking, Pepe, Rikin, Rimin, Sabajan, Saiman, Senen, dan Seran.
Richard Karde Napiun, 75 tahun, adalah paman Jacobus. Warga sekitar memanggilnya Engkar. Di Gereja Polonia, Jakarta Timur, 20 tahun silam, Engkar menikahi perempuan muslim bernama Maesaroh alias Aroh, kini 69 tahun. Aroh memutuskan kembali menganut Islam, tujuh tahun kemudian.
Pasangan itu dianugerahi 10 anak, lima anaknya Katolik, empat muslim, dan seorang lagi meninggal.
“Tidak saya paksa, mereka memilih sendiri. Saya cuma kasih tahu, ‘Jangan sampai enggak patuh pada agama masing-masing’,” ujar Aroh, awal September lalu.
Engkar mengungkapkan bahwa keberagaman dalam keluarganya indah.
“Mungkin Yang Kuasa memberikan ujian kepada diri saya. Hak mereka memilih agama,” katanya. Keluarga itu puluhan tahun harmonis. Mereka rutin merayakan Natal dan Idul Fitri dengan saling menyambangi.
Asmat Rikin, 64 tahun, adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Asmat penganut Kristen, sementara empat adiknya memeluk Islam. “Waktu nikahan mereka, saya datang ke KUA,” katanya menyebut kantor kementerian agama di tingkat kecamatan tempat warga Indonesia mencatatkan pernikahan.
Zainal Arifin, 47 tahun, juga memiliki sanak keluarga beda agama. Adik dari neneknya beragama Kristen. Zainal adalah putera Rahmadin Afif, pengasuh Ponpes Yasfi sekaligus ketua MUI Pondok Melati. Ia kini sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid Agung Al Jauhar Yasfi.
“Kami saling menghargai. Di Islam diajari: Bagiku agamaku, bagimu agamamu,” tutur Zainal.
Setiap agenda besar Islam, Zainal berkoordinasi dengan pengurus Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Santo Servatius untuk meminjam lahan parkir, bantuan pengatur lalu lintas, maupun keamanan. Begitu juga sebaliknya, halaman masjid dipakai menampung kendaraan jemaat Nasrani.
Pengurus Masjid Agung Al Jauhar Yasfi selalu mengimbau setiap penceramah menyiarkan pandangan toleran, menyebarkan Islam yang ramah, bukan yang marah.
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi tahun 2016 mencatat ada 52.512 penduduk di Kampung Sawah. Ia meliputi 11.982 kepala keluarga, 149 rukun tetangga, dan 23 rukun warga. Di kampung ini ada 27 masjid, 38 musala, dan 15 gereja.
Menurut Dea Alvi Soraya dalam risetnya tahun 2016, “Komunikasi Lintas Agama: Kegiatan Penyebaran Agama Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah Kota Bekasi”, ada 43.314 jiwa yang menganut Islam di Kampung Sawah, Narasi 9.736 jiwa, Buddha 274 jiwa, dan Hindu 164 jiwa.
“Minoritas harus dilindungi dan dihargai,” tegas Zainal Arifin.
Menjadi Teladan untuk Menangkal Kekerasan atas Nama Agama
Nilai-nilai keberagaman di Kampung Sawah telah mengakar dalam budaya dan tradisi penduduknya.
Zuhairi Misrawi, seorang penggiat toleransi yang beberapa kali diundang oleh warga Kampung Sawah, menilai penghargaan penduduk di sana terhadap orang-orang beda agama, bahkan dalam satu keluarga, menjadi “senjata kuat” melawan radikalisme.
Ia menilai, pluralisme Kampung Sawah dapat menjadi bagian dari simpul moderasi Islam.
“Perlu gerakan bersama untuk menolak ujaran kebencian dan radikalisme yang mengatasnamakan agama,” ujarnya, seraya menyebut peran itu juga harus terus dipromosikan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Muhammad Abdullah Darraz dari Ma'arif Institute, organisasi di Jakarta dalam penguatan demokrasi, menilai Kampung Sawah mampu menjadi teladan meredam radikalisme agama dengan melihat upaya-upaya warganya menghormati kebhinekaan.
Darraz pernah meneliti kerja-kerja Yayasan Pendidikan Sultan Iskandar Muda, sebuah sekolah swasta di Medan yang didirikan oleh Sofyan Tan. Sekolah ini melakukan pembauran murid untuk mengikat keberagaman. Misalnya, beasiswa terhadap para murid dari lintas agama dan suku.
“Dalam fenomena toleransi di Kampung Sawah, kita melihat budaya dan rasa kesukuan dapat menjadi tali yang mempererat unsur-unsur perbedaan. Meski berbeda agama, mereka mampu disatukan oleh identitas ke-Betawi-annya,” ujar Darraz.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam