tirto.id - Video seorang laki-laki mengenakan baju kutang dan perban di lengan kirim disiarkan langsung di Instagram. Di depannya, terlihat seorang pria tergeletak dan sedang diperban. Lelaki itu disebut mengalami luka tembak.
Cerita itu dirangkai sang perekam video. Sang perekam menjadi narator yang menjelaskan kondisi mereka tak bisa keluar karena sedang terkepung. Siaran langsung itu dilakukan saat terjadi kerusuhan di dalam Rumah Tahanan Cabang Salemba Klas II yang berada di kawasan Markas Komando Brimob, Polri, Kelapa Dua, Depok, Selasa malam, 8 Mei 2018.
Siaran langsung itu kemudian berhasil direkam dan diunduh sejumlah orang. Saya menerima video tersebut dari salah seorang anggota tim pengacara muslim, Mahendradatta yang terlebih dahulu menerima dari sumber yang tak bisa dia ceritakan.
Kemunculan siaran langsung di Instagram itu disesalkan anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, Charles Honoris. Ia menyebut persebaran konten hasil produksi narapidana terorisme dari dalam rutan menunjukkan pemerintah belum maksimal menyelidiki jaringan akun-akun milik jejaring teroris.
Politikus asal Dapil DKI Jakarta itu menjelaskan, jaringan teroris selama ini menyebarkan konten-konten bikinan mereka melalui grup-grup WhatsApp, Telegram, dan aplikasi sejenis.
“Komunikasi mereka tidak lagi secara langsung, tapi melalui media-media semacam ini,” kata Charles kepada Tirto, Jumat (11/5/2018).
Charles berkata pemerintah harus bisa melacak sampai sejauh mana jaringan pelaku teror bekerja di media sosial. Keberadaan konten berbau terorisme di media sosial, disebut Charles, dapat membangkitkan kembali jaringan teroris yang selama ini tidur dan memberikan inspirasi kepada jaringan lain untuk melakukan hal serupa.
“Ini harus di-follow up untuk bisa menghabisi sisa akun yang ada,” kata Charles.
Pendapat Charles diakui Ali Fauzi, mantan narapidana kasus terorisme Bom Bali. Kepada Tirto, ia mengaku juga mendapatkan rekaman siaran langsung yang menyebar di sosial media. Rekaman yang diperoleh Ali bahkan lebih lengkap lantaran sudah ada reaksi-reaksi atas apa yang terjadi di Mako Brimob.
Menurut Ali, kelompok teroris pintar mengolah isu untuk membangkitkan rasa solidaritas jejaringnya. Rekaman tersebut pun disebut Ali, mampu memicu empati dan perlawanan dari kelompok teroris yang berada di luar tahanan. Tak heran, kata dia, begitu siaran langsung itu muncul, muncul pula video reaksi terhadap insiden tersebut.
“Kalau masalah solidaritas, empati, dan simpati, kelompok ini luar biasa,” ucap Ali.
Perlunya Literasi Digital
Di luar penelusuran jaringan komunikasi teroris, pemerintah diminta memaksimalkan kinerja pencegahan persebaran paham radikal di sosial media (sosmed). Permintaan ini disampaikan Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari
Abdul menyatakan pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, harus membuat program pendidikan literasi digital. Program ini untuk mendidik masyarakat lebih peka terhadap paham radikal yang tersebar di media sosial.
Politikus dari Partai Keadilan Sejahtera ini berkata pemblokiran yang selama ini dilakukan Kemenkominfo bukan solusi yang ampuh untuk memberantas akun dan konten berbau terorisme di media sosial. Pemblokiran merupakan respons, bukan pencegahan.
“Seperti akun pornografi, satu diblokir, besoknya tumbuh baru. Jadi memang harus dicegah melalui pendidikan literasi digital,” kata Abdul kepada Tirto.
Peneliti Media dari Lembaga Remotivi Muhammad Heychael sepakat dengan Ketua Komisi I ihwal perlunya Kemenkominfo melakukan kegiatan literasi digital. Sebab, menurutnya, dengan begitu publik dan media massa tidak mudah larut dalam opini yang dibuat teroris dan tidak turut mengamplifikasi ketakutan akibat teror.
“Kalau ingat, waktu bom Thamrin dulu banyak media yang memberitakan desas-desus tanpa akurasi, itu juga bisa mengamplifikasi ketakutan dan memperluas teror. Kemenkominfo dan KPI juga harus mengawasi itu,” kata Heychael kepada Tirto.
Namun untuk kondisi saat ini, Heychael berpendapat Kemenkominfo harus bertindak cepat membatasi ruang persebaran konten-konten aksi teror yang telah tersebar di sosmed.
“Karena sekarang sudah kadung tersebar ke publik maka yang paling mungkin menonaktifkan akun-akun itu. Terus juga meminta publik agar tidak mudah percaya dengan narsis yang dibangun kelompok teror,” kata Heychael.
Pemerintah Sudah Mencegah
Menanggapi hal ini, Direktorat Jenderal Aplikasi Kemenkominfo Samueal Pangerapan menyatakan pihaknya telah mempunyai mekanisme dari hulu sampai hilir untuk mencegah alur komunikasi teroris dan penyebaran konten di media sosial.
Samuel berkata Kemenkominfo telah memiliki program literasi digital bernama Siber Kreasi sebagai bentuk pencegahan dari hulu. Program ini, menurutnya, telah diikuti 83 lembaga yang terdiri dari lembaga pemerintahan, NGO, media, dan komunitas-komunitas digital.
“Di hilirnya ada caranya memblokir sampai penindakan hukumnya melalui UU ITE dan UU lainnya,” kata Samuel kepada Tirto.
Anggapan kurang maksimalnya kerja Kominfo, kata Samuel, lantaran pihaknya hanya menjadi pelaksana. Penentuan konten dan informasi berbau terorisme bukan berada di Kominfo melainkan pada Kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Koordinasi dengan tiga lembaga itulah yang sejauh ini bisa dilakukan Kemenkominfo. “Kami hanya sebagai pelaksana. Karena kalau pemahaman substansi konten itu ada di kepolisian, BIN, dan BNPT,” kata Samuel.
Lebih lanjut, kata Samuel, pihaknya juga melakukan pelacakan jaringan teroris dan membuat pemetaan pola gerakan mereka di dunia maya. Pemetaan tersebut kemudian diberikan ke Kepolisian, BNPT dan BIN dalam pelaksanaan pencegahan terorisme di media sosiak.
Saat kerusuhan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Mako Brimob, Selasa malam, Samuel mengklaim Kemenkominfo langsung mencegah tersebarnya konten-konten hasil produksi narapidana terorisme saat itu.
“Kami langsung lakukan pemutusan akses dan pemblokiran setelah dapat laporan dari BIN,” kata Samuel.
“Lihat saja akunnya beberapa saat setelah siaran langsung kan hilang dari Instagram,” imbuhnya.
Pernyataan Samuel ini dibenarkan Deputi Pencegahan BNPT, Irfan Idris. Menurutnya, dalam melakukan pencegahan terorisme di sosmed pihaknya dan Kemenkominfo melakukan kontra narasi, kontra propaganda dan kontra ideologi.
“BNPT mempunyai pusat media damai yang aktif melakukan pengawasan. Tapi kemenkominfo yang memiliki kewenangan membatasi. BNPT tetap berkoordinasi,” kata Irfan kepada Tirto.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih