tirto.id - Sofyan Tsauri harus menjalani pemeriksaan di sekujur tubuhnya. Tas miliknya harus dilepas dan dicek petugas. Selepas pemeriksaan luar, petugas lalu mengidentifikasi dirinya berdasarkan tanda pengenal.
Penjagaan super ketat dilaluinya saat hendak masuk ke Rumah Tahanan Cabang Salemba Kelas II yang berada di Markas Komando Brimob Polri (selanjutnya ditulis rutan Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok, sekitar akhir April 2018.
Selepas menjalani pemeriksaan di luar, Sofyan pun terperangah. Kondisi itu berkebalikan terasa di dalam rutan.
Ia menggelengkan kepala. Di bangunan yang berada di belakang masjid dan di sisi kanan dari jalan masuk, Sofyan hanya melihat ada sembilan polisi yang berjaga di dalam bangunan rutan. Lima orang Brimob dan empat orang bagian pemberkasan Detasemen 88 Antiteror.
“Bagaimana mungkin 9 orang menghadapi 150 orang lebih,” tutur Sofyan saat dihubungi Tirto, Jumat (11/5/2018).
Sofyan bukan orang baru di tempat itu. Ia pernah mendekam di salah satu sel di salah satu blok rutan tersebut selama menjadi narapidana kasus terorisme sekira 2010. Ia pernah dipidana karena terbukti menjual senjata untuk kebutuhan Dulmatin dan ikut bergabung dalam kelompok Aman Abdurrahman pada 2008.
Perasaan kaget yang dialami Sofyan tak berhenti sampai di situ. Ia mendapati puluhan narapidana dan tahanan terorisme dimasukkan ke dalam sel yang sama dan dibiarkan berinteraksi satu sama lain.
“[Padahal] Ini tahanan teroris bukan tahanan narkotika,” katanya mengeluhkan kondisi rutan.
Kekhawatiran Sofyan soal kondisi keamanan di dalam rutan Mako Brimob rupanya terbukti. Dua pekan setelah kedatangannya yang terakhir ke rutan, tahanan dan narapidana di rutan itu berontak. Mereka mencoba menguasai rutan dan membikin rusuh.
Enam polisi disandera dan lima di antaranya tewas pada saat kerusuhan. Polisi menyebut tubuh kelimanya mengalami luka tusuk dan sayatan benda tajam saat diautopsi. Sedangkan seorang lainnya dibebaskan setelah negosiasi namun mengalami luka lebam dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polri.
Para narapidana yang melawan ini akhirnya ‘tunduk’ setelah Aman Abdurrahman sang pemimpin ISIS Indonesia dan juga pernah menjadi pimpinan kelompok yang diikuti Sofyan, meminta narapidana untuk menghentikan kerusuhan dan menyerahkan diri.
Jangan Digabung
Masalah pencampuran narapidana dan tahanan terorisme yang dilihat Sofyan juga diperparah dengan manajemen rutan yang tidak ditangani sipir dari kalangan sipil profesional. Rutan ditangani polisi yang tak memiliki kemampuan khusus untuk memperlakukan tahanan.
Menurut Sofyan, manajemen rutan harusnya dikelola sipir yang berpengalaman dan dibina langsung Dirjen Permasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kondisi diperparah dengan kurangnya aparat yang berjaga mengawasi tahanan dan kondisi gedung yang tidak didesain sebagaimana penjara pada umumnya.
“Sehingga Anda bisa lihat kenapa jatuh korban. Karena enggak ada escape. Ketika kemudian ada insiden, gedung itu memang enggak safety dan enggak representatif seperti LP lain yang layak,” ucap Sofyan.
Sofyan menekankan pentingnya pemisahan narapidana dan tahanan. Ia menyebut negara sebenarnya sudah punya program tersebut melalui proses assessment dan infrastruktur yang baik. Assessment yang dimaksud adalah mengindentifikasi dan profiling masing-masing narapidana dan mengklasifikasi sesuai tingkatan ideolog, radikal, atau simpatisan.
Meski begitu, Sofyan mengatakan, proses assessment dan infrastruktur yang baik ini tidak dijalankan manajemen rutan Mako Brimob. “[Jadi] tetap enggak akan berhasil mengubah para teroris menjadi moderat. [...] Men-treatment singa dengan cara tikus, atau sebaliknya,” kata Sofyan.
Belakangan diketahui jumlah tahanan di tiga blok yang berada Mako Brimob mencapai 155 orang saat kerusuhan kemarin. Satu blok rutan berisi 10 sel, dan satu sel diisi lima sampai enam tahanan/narapidana teroris. Masalah ini membuat rutan Mako Brimob rentan rusuh.
Soal potensi kerawanan ini juga diakui Robi Sugara selaku pengamat terorisme dari Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC). Robi mengatakan jumlah narapidana teroris yang ditahan di tempat tersebut teramat banyak dan sebagian besar di antaranya belum menjalani deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Mereka ini yang ditangkap rata-rata target operasi polisi. Ketika mereka dikumpulkan dalam satu tempat, sangat mudah menyulut bentrokan seperti itu," kata Robi kepada Tirto.
Buat mengatasi masalah bercampurnya narapidana dan tahanan teroris ini, Robi berkata, assessment menjadi penting dilakukan dalam proses deradikalisasi ini. Pencampuran narapidana dan tahanan akan menjadi dilema dalam proses deradikalisasi.
“Isolasi menjadi penting untuk tipikal ideolog yang punya kemampuan mempengaruhi orang lain. Bahkan sipir penjara saja bisa terpengaruh, apalagi yang simpatisan. Bisa jadi mereka akan jadi ideolog-ideolog baru,” ujar Robi.
Tidak Juga Asal Disebar
Kepala Hubungan Masyarakat Ditjen Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto mengakui adanya pencampuran tahanan dan narapidana di rutan Mako Brimob. Menurut Ade, pencampuran ini bukan lantaran tidak ada lapas untuk menampung para teroris, melainkan mempermudah pengembangan perkara dan proses penyidikan.
Ade mengaku kepada Tirto bahwa Ditjen PAS selalu memberikan masukan dan pengawasan kepada rutan “tapi otoritas untuk mengatur jumlah petugas jaga dan sebagainya itu ada di Polri”.
Menurut Ade, tiap narapidana terorisme seharusnya mendapatkan pengamanan khusus. Saat ini, kata dia, hal itu tengah diperhitungkan agar kerusuhan di Rutan Mako Brimob tidak terulang di lapas-lapas tempat para teroris itu dipindahkan.
“Karena karakteristik radikal begitu, kan, perlu dipisahkan dari kelompoknya dan dipindahkan ke lapas maximum securty,” ujarnya.
Namun sebelum dipindahkan dan disebar ke sejumlah lapas, Ade menyinggung perlunya penilaian terhadap narapidana atau tahanan teroris. Narapidana/tahanan teroris harus diidentifikasi terlebih dahulu satu-persatu untuk membedakan tingkat radikal masing-masing.
“Karena massa teroris itu ada yang radikal dan tidak radikal, jadi perlu dipisahkan dan itu di-assessment. Jangan sampai, dua orang yang benar-benar radikal dan jadi satu di tahanan dan malah jadi provokator,” ungkap Ade.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih