Menuju konten utama

Cerita Mantan Teroris: Deradikalisasi Berjalan, Meski Belum Efektif

Salah satu poin penting dalam proses deradikalisasi ini terletak pada pemahaman petugas lapas yang baik.

Cerita Mantan Teroris: Deradikalisasi Berjalan, Meski Belum Efektif
Terdakwa kasus dugaan teror bom Thamrin Aman Abdurrahman alias Oman (tengah) digiring petugas seusai menjalani sidang perdana kasus terorisme dengan agenda pembacaan dakwaan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (15/2/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Kerusuhan di Rumah Tahanan Cabang Salemba yang berada di Markas Komando Brigade Mobil Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pada Selasa hingga Kamis pagi, menyisakan pertanyaan soal program deradikalisasi dan cara perlakuan pemerintah terhadap narapidana dan tahanan teroris.

Langkah preventif sebenarnya sudah dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), meskipun masih ada kekurangan. Ini diakui Nasir Abbas, mantan narapidana terorisme dari kelompok Jamaah Islamiyah.

Kepada Tirto, Nasir mengatakan upaya itu cukup membantu lantaran aparat mencoba melakukan pendekatan pribadi dalam melakukan deradikalisasi. Ia bercerita sejumlah langkah dilakukan aparat untuk menjadikannya terbebas dari doktrin ekstremisme. Salah satunya dengan mengajak berbincang tentang ideologi dan menghadirkan anggota keluarga untuk memulihkan kondisinya selama 11 bulan ditahan.

“Kami memang mendapat pendekatan halus,” kata Nasir, Jumat (11/5/2018).

Tak hanya dengan menghadirkan keluarga, Nasir yang kini menjadi konsultan senior di Division for Applied Science Psychology Research (DASPR) Daya Makara Universitas Indonesia ini mengaku pemerintah memberikan bantuan keuangan untuk sekolah.

Ia pun menyebut salah satu poin penting dalam proses deradikalisasi ini terletak pada pemahaman petugas lapas yang baik. Nasir merasa, program deradikalisasi baru bisa efektif apabila petugas lapas mempunyai kemampuan untuk membujuk napi secara pribadi.

“Karena mereka yang selalu bersentuhan dan komunikasi dengan narapidana teroris. BNPT datang ke lapas tidak setiap saat,” imbuh Nasir.

Meski begitu, Nasir mengakui, tidak semua penanganan yang dilakukan pemerintah melalui BNPT berjalan efektif. Ia merasa ada perbedaan penanganan yang dilakukan pemerintah.

“Penanganan pada narapidana teroris [yang] kelompok dan narapidana teroris [yang] sendiri, berbeda,” ucap Nasir tanpa merinci lebih jauh apa perbedaannya.

Belum Semua Tersentuh

Soal langkah preventif ini, Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan program pembinaan terhadap narapidana terorisme sudah dijalankan BNPT. Pembinaan ini dilakukan melalui assesment atau penilaian.

Selain assesment, Irfan mengatakan, langkah-langkah deradikalisasi yang diupayakan BNPT sudah semaksimal mungkin. Setiap narapidana terorisme diidentifikasi dan direhabilitasi. Tidak sedikit juga dari mereka yang dibantu untuk berbisnis agar bisa kembali ke masyarakat.

Irfan menjelaskan proses deradikalisasi ini dijalankan untuk mereka yang sudah mendapat status narapidana. Status ini jelas berbeda dengan tahanan yang umumnya masih menjalani persidangan atau berstatus hukum sebagai terdakwa.

Masalah status hukum ini yang membuat penanganan tak bisa dilakukan secara menyeluruh. Dalam konteks Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Irfan mengaku tak semua penghuni mendapat pembinaan lantaran banyak penghuni Rutan Mako Brimob yang juga masih berstatus sebagai terdakwa alias belum mendapat putusan tetap dari Mahkamah Agung.

“[Jadi] yang kami prioritaskan di 108 lapas lainnya yang dihuni 270 narapidana terorisme,” kata Irfan kepada Tirto.

Infografik CI deradikalisasi gagal

Masalah Baru

Situasi ini jadi masalah lantaran tahanan dan narapidana jadi membaur dalam satu tempat. Masalah ini disoroti Faisal Margie, periset senior dari DASPR Daya Makara Universitas Indonesia. Ia mengatakan pembauran antara tahanan dan narapidana ini menjadi perdebatan.

“Ada yang menyebutkan bahwa lebih baik disatukan agar potensi penyebaran ideologi menjadi minimum, sedangkan lainnya berpendapat bahwa lebih optimal jika dipencar agar tidak membentuk kelompok,” ujarnya.

Faisal menerangkan deradikalisasi sebenarnya bisa dilakukan di mana saja dengan jumlah peserta berapa saja, asalkan ada penilaian yang tepat. Penilaian ini harus bisa memisahkan narapidana teroris yang cenderung benar-benar radikal dan mereka yang hanya fanatik.

“Hanya saja program yang dipilih harus tepat.” kata Faisal.

Masalah pemilihan program ini juga disoroti Ali Fauzi, mantan narapidana terorisme lainnya. Ali mengatakan program dan perlakukan dalam penanggulangan terorisme menjadi penting dikedepankan karena terorisme merupakan kejahatan luar biasa.

Jika program dan perlakuan dalam penanggulangan ini biasa saja, Ali khawatir deradikalisme tidak berjalan sesuai dengan yang dicanangkan.

“Terorisme itu kan kejahatan luar biasa. Extraordinary crime. tentu penanganannya juga harus extraordinary, termasuk pembinaannya di rutan, di lapas, itu juga harus extraordinary. Jika kita menginginkan optimal,” kata Ali lewat sambungan telepon kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN MAKO BRIMOB atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani