tirto.id - Kerusuhan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua menggoreskan duka mendalam dengan kematian 5 putra terbaik bangsa dalam menjalankan tugas. Kerusuhan ini juga meninggalkan pertanyaan sangat besar pada publik: Mengapa bisa terjadi? Apa yang kita bisa lakukan untuk mencegah hal ini terulang?
Untuk menjawab pertanyaan itu ada beberapa asumsi dasar yang perlu dijawab terlebih dulu. Misalnya, apakah strategi penanganan terorisme yang digunakan sudah tepat? Mengapa Polri terlihat ragu-ragu menghadapi aksi para tahanan dan terdakwa teroris pada kasus kericuhan di Mako Brimob?
Dalam menghadapi bahaya terorisme di Indonesia, pemerintah Indonesia pasca-Reformasi mengandalkan pendekatan penegakan hukum dengan ujung tombak kepolisian. Pendekatan yang berbeda digunakan negara tetangga Filipina yang sejak 1986 mengandalkan Armed Forces of the Philippines (AFP)beserta operasi-operasi militernya dalam menghadapi terorisme.
Pendekatan yang diambil Indonesia sudah sangat tepat. Global Terrorism Database (GDT), yg berpusat di University of Maryland, menemukan selama operasi militer, serangan teroris di Filipina justru meledak 13 kali lipat pada periode 2002 hingga 2013. Sementara pada periode yang sama di Indonesia serangan menurun 26 persen.
GTD memandang kampanye militer untuk mengatasi terorisme justru melahirkan gelombang balas dendam teror yang meluas akibat penggunaan kekerasan yang tidak diatur dalam koridor hukum sipil. Ketika operasi militer diperluas, pola dan sebaran serangan teroris justru meningkat.
Strategi penegakan hukum, meskipun terlihat lambat dan kurang tegas, bisa relatif efektif meredam meluasnya aksi teror ataupun munculnya generasi balas dendam.
Pendekatan ini penting untuk dilanjutkan di Indonesia mengingat pendekatan militeristik justru dapat memperluas simpati dan dukungan pada kelompok teror, terutama dalam kondisi ketika hoaks dan ujaran kebencian sangat meluas belakangan ini. Pendekatan penegakan hukum memastikan agar tindakan yang diambil dalam menghadapi terorisme lebih bisa dipertanggungjawabkan melalui mekanisme hukum.
Kinerja Polri dalam Kontra-Terorisme
Tidak lama setelah pengesahan UU 15/2003 mengenai Tindak Pidana Terorisme (PDF), Polri melebur beberapa grup di bawah Brimob dan Mabes Polri untuk membentuk Detasemen Khusus 88 Anti-Teror. Kapasitas Densus ini dengan cepat ditingkatkan baik dari segi keahlian (pelatihan intensif, pembangunan sarana JCLEC, dll), anggaran (APBN 2017 = Rp1,9 triliun) maupun keorganisasian.
Pada awal 2017, Densus 88 ditingkatkan eselonnya, dipimpin perwira bintang dua dan diperkuat di tingkat provinsi. Dukungan kerja sama teknis luar negeri juga cepat meningkatkan reputasi Densus 88 dalam mencegah beberapa kali rencana serangan teror (Tangerang, Karanganyar, Bekasi, Surabaya, Jakarta) maupun dalam penegakan hukum kasus serangan yang sudah terjadi.
Densus 88 bukan tanpa cacat dalam tugas. Ada sejumlah pelanggaran prosedur yang menyebabkan salah tangkap atau meninggalnya tersangka seperti pada kasus Nur Syawaludin (2015) atau Can alias Fajar (2016). Namun, secara umum, bisa dikatakan prestasi Densus 88 cukup positif sebagaimana disampaikan oleh pejabat pemerintahan negara sahabat seperti Arab Saudi (2017) dan Australia (2016).
Antisipasi agar Kerusuhan Rutan Mako Brimob Tak Terulang
Kerusuhan di Rutan Mako Brimob bukan disebabkan oleh kesalahan pendekatan polisional (versus militeristik) atau ketidakmampuan Densus 88 menindak aksi-aksi terorisme di masyarakat. Melakukan koreksi atas keduanya bukanlah solusi pencegah kejadian kerusuhan berulang. Menurut saya, yang terjadi justru pada bagian hilir: pengelolaan penahanan napi teroris.
Pertama, lokasi rutan yang memiliki risiko tinggi. Rutan berada di satu area dengan perumahan keluarga anggota, markas Densus, markas Brimob, dan gudang senjata.
Dalam suasana penuh kekacauan, potensi bagi perusuh untuk merebut senjata dan menjadikan warga (napi lain/ petugas/ keluarga anggota) sebagai sandera sangat tinggi. Apalagi persis di luar tembok Mako Brimob adalah permukiman penduduk yang terhitung padat. Sudah saatnya Polri berpikir untuk merelokasi Rutan Mako ke areal yang lebih steril untuk diawasi.
Kedua, Rutan Mako Brimob Kelapa Dua didesain sebagai fasilitas penahanan sementara bagi anggota Polri yang sedang menjalani proses hukum hingga vonis berkekuatan hukum tetap. Rutan ini ditetapkan sebagai Cabang Rutan Jakarta Salemba (Permenkumham Nomor 01.PR.07.03 Tahun 2007).
Namun, dalam perkembangannya, Rutan beralih fungsi: tak hanya buat anggota Polri, tetapi juga tahanan/ napi non-polisi pada kasus korupsi/ ekonomi (Aulia Pohan, Gayus) dan kasus terorisme.
Rutan ini, meski berada di tengah-tengah Mako Brimob, tidak didesain sebagai fasilitas penjara super maximum security untuk menahan secara permanen napi teroris yang berisiko tinggi. Kualitas Rutan Mako Brimob ini tebal terhadap ancaman dari luar, tetapi tipis menghadapi ancaman dari dalam.
Terlihat dari foto-foto ruang tahanan, tampak sekali tipisnya tembok sehingga mudah dijebol. Padahal, tebal dinding Lapas rutan adalah 20 sentimeter menurut standar Kemkumham Permen no M.01.PL.01.01/2003 tentang Pola Bangunan UPT Pemasyarakatan.
Standar penahanan napi berisiko tinggi mensyaratkan setiap penghuni ditempatkan di sel terpisah dan tidak dapat berinteraksi fisik, baik dengan napi lain maupun petugas. Namun, disayangkan, kondisi ini tidak mungkin terjadi di Rutan Mako Brimob akibat tata ruang dan keterbatasan lahan.
Para napi teroris ditempatkan pada jumlah besar secara bersama-sama, alih-alih terpisah. Situasi ini sangat rawan perlawanan dan kekerasan terhadap petugas.
Ketiga, overcrowding dalam Rutan Mako Brimob dan fasilitas penahanan pada umumnya seringkali dianggap bukan masalah penting.
Jumlah penghuni dan ruangan yang tersedia tak seimbang. Sebanyak 156 penghuni harus tinggal bersama di 3 blok yang terdiri 14 kamar, masing-masing berukuran 2 x 3 meter persegi. Tentu tingkat kepadatan yang begitu tinggi menyebabkan tingkat ketidakpuasan melonjak. Belum lagi dalam kondisi overcrowding, kualitas layanan tentu mengalami penurunan akibat keterbatasan akses.
Persoalan makan hanyalah picu lentik api bagi kerusuhan. Ada perjuangan yang belum selesai bagi para teroris yang kemudian disatukan dan dikuatkan oleh kondisi penahanan.
Tak heran, dalam rentang waktu lima bulan, sudah terjadi dua kali kerusuhan yang menjebol pintu dan dinding sel di Rutan Mako Brimob—dan serangan kali ini memakan korban jiwa.
Keempat, sudah saatnya kepolisian meninjau ulang standard operating procedure (SOP) penggunaan dan penyimpanan sejata api dalam fasilitas penahanan. Standar internasional pengelolaan tahanan melarang senjata tajam dan api dibawa ke dalam area blok, apalagi sel/ kamar penghuni tahanan. Barang bukti yang dapat digunakan untuk menyerang juga tidak diperiksa atau disimpan di dalam area yang dekat dengan blok.
Evaluasi
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa ditarik agar kejadian serupa bisa dicegah.
Pertama, segenap aspek bangsa tetap harus mendukung dan mengapresiasi sepenuhnya upaya pemerintah dan Polri dalam pemberantasan terorisme. Semakin keras kebencian kelompok teror pada kepolisian menunjukkan kita sudah pada arah yang tepat dalam melemahkan jaringan teroris.
Kedua, melakukan pembenahan pada pengelolaan napi teroris oleh kepolisian. Kementerian Hukum dan HAM sudah menetapkan lima Lapas maximum security dan sudah selesai membangun dua di antaranya di Nusakambangan. Apabila demi kepentingan penyidikan atau pra-adjudikasi lain tersangka teroris harus ditahan dekat dengan penyidik, hendaknya Polri juga menyediakan fasilitas maximum security yang aman bagi petugas, napi lain, dan masyarakat luas.
Ketiga yang tidak kalah penting adalah perbaikan kondisi ruang penahanan yang dikelola kepolisian secara nasional. Setiap tahanan yang sudah selesai menjalani pemberkasan BAP tetapi masih tetap perlu ditahan hendaknya dapat dikirim ke fasilitas rutan yang dirancang khusus untuk penahanan dalam jangka lebih panjang.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.