Menuju konten utama

WNI yang Bertempur di Marawi

Panggilan mengusung Negara Islam Asia Timur di Marawi—waralaba ISIS di pasar ASEAN—memikat WNI yang terpesona pada gagasan hijrah dan jihad.

WNI yang Bertempur di Marawi
Para Milisi ISIS berjaga di sebuah check point di jembatan Mapandi pada pekan pertama konflik dimulai. FOTO/Amaq

tirto.id - Ada berapa banyak warga negara Indonesia yang ikut berperang di Marawi? Jawaban pasti dari pertanyaan ini tentu sulit didapat.

Kapolri Tito Karnavian mengonfirmasi data Densus 88 yang menyebut ada sekitar 38 WNI. Namun, ia pesimistis dengan data itu.

Sejak Abu Walid (Indonesia), Mohd Reza Kiram (Filipina), dan Mohd Rafi Udin (Malaysia) tampil bersama di sebuah video resmi ISIS yang menggorok leher sandera, saat itulah propaganda "hijrah" ke Filipina makin semarak di media sosial.

Video ini dirilis Media ISIS berbahasa melayu, Al Fatihin, pada 21 Juni 2016. Inilah kali pertama muncul ajakan kepada simpatisan ISIS yang tak sanggup ke Irak dan Suriah agar berperang saja ke Filipina selatan. Sejak itu pula milisi ISIS di Filipina mulai kedatangan simpatisan, baik dari Indonesia, Singapura, maupun Malaysia.

Informasi yang saya dapatkan, enam bulan sebelum penyerangan Marawi, ada sedikitnya 60 kombatan asing yang singgah di Basilan, salah satu provinsi di Region Otonomi Muslim Mindanao, sebelum pada akhirnya meneruskan perjalanan ke Marawi.

Ketika perang Marawi meletus pada 23 Mei 2017, dan sebagian dari milisi itu meregang nyawa, jadi kesulitan tersendiri untuk membedakan mana kombatan lokal dan mana kombatan asing, khususnya dari Asia Tenggara.

"Saya akan kebingungan jika ditanyakan apakah saya pernah melihat WNI di konflik Marawi ini atau tidak," ucap Letkol Bill Pasla, Komandan Batalion Tim Pendarat Marinir 7, saat dijumpai di garis depan Jembatan Mapandi, 22 Juli lalu.

"Kita memiliki wajah dan kulit yang sama. Kami akan tahu dia dari Indonesia atau tidak jika melihat paspornya, atau saat mengajak dia berbahasa lokal," katanya, lagi.

Pasla benar. Amat sedikit jejak kematian kombatan ISIS asal Indonesia yang bisa terkonfirmasi.

Enam bulan sebelum konflik Marawi meletus, terjadi dua perang besar di Provinsi Lanao del Sur. Pertama, November 2016 sampai Januari 2017 di Butig, kota kecil tempat muasal kelompok Maute. Kedua, April lalu di Piagapo, sebuah desa kecil sebelah barat Marawi yang bisa ditempuh satu jam perjalanan darat.

Ketika menggelar operasi penangkapan pemimpin Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, yang sudah bergabung dengan kelompok Maute di Butig, 29 Januari lalu, Militer Filipina mengklaim operasi itu sukses menewaskan 15 milisi ISIS. Satu di antaranya adalah WNI dengan identitas "Mohisen." Inilah kali pertama WNI disebut terlibat menjelang konflik Marawi meledak.

Kisah dari Daud Abdullah mungkin bisa menyingkap gambaran bagaimana seseorang terpikat pada bujuk rayu kepemimpinan Islamic State East Asia (ISEA) di Filipina, yang nantinya beririsan dengan WNI.

Abdullah merupakan relawan di sebuah lembaga kemanusiaan. Ia memiliki sahabat dekat yang bergabung dengan kelompok Maute.

"Saya juga heran kenapa dia memilih jalan itu. Padahal dia amat cerdas," katanya.

Ketika pertempuran Butig berlangsung, rekannya itu meminta tolong agar ia menyelamatkan tiga perempuan yang terjebak di peperangan. Perempuan ini sedang terluka.

"Saya tentu saja tidak bisa menolong mereka," ucapnya.

Kata Abdullah, si rekan itu menjelaskan bahwa para perempuan ini berasal dari Indonesia dan punya relasi dekat dengan istri Omar Khayam Maute, Minhati Madrais, yang juga seorang WNI. Status inilah yang membuat nyawa mereka begitu penting untuk diselamatkan.

Namun, militer Filipina geleng-geleng kepala ketika ditembuskan informasi ini.

Ayah Minhati, KH Madrais Hajar ketika saya menemuinya di Babelan, Bekasi, awal Agustus lalu, juga tidak tahu apa pun soal dugaan anaknya yang menggaet para WNI, khususnya perempuan, untuk berperang di Filipina selatan.

"Saya tidak tahu itu. Setelah terakhir bertemu, tidak pernah komunikasi lagi," kata Madrais.

Baca wawancara dengan KH Madrais Hajar: "Di Marawi, Saya Bujuk Putri Saya Pulang"

Setelah digempur di Butig, militan ISIS bergeser dan membentuk kamp baru di Barangay Gacap, Piagapo. Militer Filipina mengejarnya dan menggelar operasi militer selama beberapa hari di sana.

Pada 22 April, operasi besar dilancarkan. Militer mengklaim menewaskan 30 milisi; 16 tewas dibom dari udara dan 14 sisanya tewas saat baku tembak di darat.

Di Piagapo inilah ditemukan paspor Indonesia dengan nama Mohammed Ilham Syahputra, pemuda 22 tahun asal Medan yang diketahui pergi ke Filipina pada November 2016.

Kepada saya, juru bicara Pasukan Operasi Gabungan Marawi, Letkol Jo-Ar Hererra, bersikukuh bahwa salah satu mayat yang tewas di Piagapo adalah Ilham.

Namun, Jakarta berkata sebaliknya. Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno bersikukuh bahwa mayat yang disodorkan militer Filipina bukanlah Ilham.

"Kami sudah mengirimkan tim investigasi, menggali mayat dan mencocokkannya dengan foto di paspor, hasilnya tidak sama," kata Agung.

"Kami terkadang kesulitan untuk menyelidiki soal kabar WNI yang tewas atau ditemukan bertempur di sana karena militer Filipina pun belum begitu terbuka kepada kami. Mungkin mereka juga sedang melakukan penyelidikan," ucap Agung, lagi.

Untuk mencari informasi ini secara detail, saya sempat mengunjungi KJRI Davao dan meminta berjumpa dengan Abdul Majid, petugas imigrasi yang melakukan investigasi tersebut. Namun, Majid enggan berkomentar.

Pihak Filipina sendiri tidak tahu seberapa banyak WNI yang bertempur di Marawi. Mereka hanya bisa merilis 7 WNI yang masuk ke Marawi lewat jalur front door alias jalur resmi dengan menggunakan pesawat dan melewati pos imigrasi.

Ketujuh orang ini terendus bergabung dengan ISIS setelah tak kembali lagi ke Indonesia.

Mereka adalah Al-Ikhwan Yushel, Anggara Suprayogi, Mochamad Jaelani Firdaus, Muhammad Ghufron, Muhammad Ilham Syahputra, Yayat Hidayat Tarli, dan Yoki Pratama Windyarto.

Ketujuh WNI itu ke Marawi memakai pesawat dari Jakarta-Manila, lalu Manila-Cagayan de Oro. Dari Cagayan, mereka menempuh perjalanan darat sekitar tiga jam menuju Marawi.

Saat perang Marawi sudah berlangsung hingga tiga bulan, tak ada yang tahu soal nasib ketujuh orang ini.

Tapi di media sosial, kabar lebih cepat datang: Muhammad Ghufron dan Yoki Pratama Windyarto tewas dalam pertempuran di Marawi.

Yoki dikonfirmasi meninggal pada 20 Juni lewat kabar grup Telegram. Sementara Ghufron tewas pada 28 Juli—kabar kematiannya beredar di Facebook. Yoki dan Ghufron adalah sahabat dekat. Keduanya teman satu angkatan saat menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang.

Infografik HL Indepth Marawi

Masuk Marawi via Ijtima'i Jamaah Tabligh?

Saat menggelar operasi pembersihan di sebuah rumah pada awal Juni lalu, militer Filipina menemukan dua paspor WNI lain. Keduanya warga Tasikmlaya (Jawa Barat) dengan nama Ali Al Amin (49) dan Irsyad Ahmad Darajat (43).

Laporan 29 halaman dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) pada 21 Juli 2017, berjudul Marawi, The "East Asia Wilayah" and Indonesia, menyebut dugaan kuat bahwa kedua orang ini masuk ke Marawi sebagai rombongan Jamaah Tabligh, organisasi dakwah nonpolitis yang dikembangkan oleh Muhammad Ilyas dengan mayoritas pengikutnya tersebar di Asia Selatan.

Bagi publik awam di Indonesia, Jamaah Tabligh mungkin dikenal berkat sebagian pengikutnya dari kalangan selebritas, seperti rocker Gito Rollies, Ilsyah Ryan Reza dan Loekman Hakim dari grup band Noah, serta Salman Sakti dari Sheila on 7. Di Jakarta, Anda bisa menemukan pusat kegiatan Jamaah Tabligh di Masjid Jami Kebon Jeruk, salah satu masjid kuno di kawasan barat Jakarta.

Saat konflik Marawi meletus, muncul pemberitaan soal keterlibatan 16 WNI yang bertempur di Marawi.

Namun, pemerintah meluruskan bahwa WNI yang datang ke Marawi itu sebagai anggota Jamaah Tabligh. "Mereka murni melaksanakan kegiatan keagamaan. (Hanya saja) mereka terperangkap di sana kemudian diselamatkan dan sudah dibawa ke Indonesia," ujar Kapolri Tito Karnavian, 5 Juni lalu.

Ali dan Irsyad dikabarkan tak masuk dalam rombongan ini. Sampai sekarang, nasib dua orang ini tidak jelas.

Di beberapa kamp pengungsi di Saguiaran dan Iligan, saya sempat menunjukkan foto Ali dan Irsyad kepada anggota Jamaah Tabligh yang hadir dalam Ijtima'i (acara pengajian akbar yang dihadiri ribuan orang), tetapi semua orang di sana menggelengkan kepala.

Ijtima'i disebut sebagai salah satu jalan untuk menyusupkan jihadis asing ke Marawi.

"Jujur saja ketika Ijtima'i, kami melihat banyak tablighi baru, mereka tidak berpakaian seperti kami (berserban dan bergamis). Mereka pakai jins dan kaus. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya," ujar Jamil Mangandang, tablighi yang saya temui di Saguiran.

Jamaah Tabligh punya relasi dekat dengan polisi dan militer Filipina. Otoritas Filipina meyakini bahwa organisasi dakwah ini enggan ikut campur politik.

"Mereka tidak pernah punya track record berbuat kejahatan. Karena itu kami selalu berbaik sangka kepada mereka," kata Hererra.

Diakui atau tidak, kebaikan inilah yang membuat simpatisan ISIS sukses menyusup ke Marawi dengan menyaru sebagai tablighi.

"Kami tentu akan terus belajar dari kesalahan. Setelah ini mungkin pandangan militer kepada Jamaah Tabligh akan sedikit berubah," kata seorang perwira intelijen militer Filipina.

=============

Keterangan foto: Para milisi ISIS berjaga di sebuah check point di Jembatan Mapandi pada pekan pertama konflik Marawi. FOTO/Amaq

Baca juga artikel terkait MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam