tirto.id - Sinai berduka. Lebih dari 200 orang menjadi korban serangan teror yang menyasar sebuah masjid di utara wilayah tersebut. Tak hanya korban jiwa, 120 orang lainnya dikabarkan mengalami luka-luka. Banyaknya korban disebabkan oleh serangan yang dilancarkan saat umat Muslim berkumpul menunaikan salat Jumat.
Awalnya pelaku meledakkan bom di luar masjid yang terletak di desa Al-Rawda, 40 kilometer barat Kota al-Arish, Sinai. Lalu pelaku melancarkan serangkaian tembakan ke arah jemaah yang sedang salat Jumat. Setelah serangan itu, sekitar 50 ambulan dikerahkan ke lokasi kejadian. Korban yang terluka langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Serangan pada Jumat (24/11) menjadi yang paling brutal yang pernah terjadi di Sinai. Menurut Jaksa Penuntut Umum Mesir, jumlah pelakunya mencapai 30 orang. Pemerintah Mesir bertekad membalas para pelaku yang berasal dari kelompok militan Islamis di Sinai dan berafiliasi dengan ISIS.
Baca juga: Tujuan Teroris Mengklaim Serangan yang Tidak Mereka Lakukan
Sudah bertahun-tahun pemerintah Mesir memerangi kelompok militan tersebut. Jika merujuk pada sejumlah teror yang terjadi di Sinai, tak hanya satu kelompok militan yang aktif di Sinai dan mereka memiliki motif yang berbeda-beda.
Misalnya serangan bom mematikan pada 2004 hingga 2006 oleh Tauhid wal Jihad yang menargetkan warga Israel. Kelompok militan yang mendiami Sinai yang berdekatan dengan Jalur Gaza itu kerap melancarkan serangan di sejumlah resor-resor yang dikunjungi warga Israel.
Sesuai nama lengkapnya, Jahafil Al-Tawhid Wal-Jihad fi Filastin, kelompok ini beroperasi di Jalur Gaza dan Sinai, sehingga kerap menyerang siapapun yang diidentifikasi sebagai warga Israel. Serangan pada 2004 di Hotel Hilton Taba di Sinai, misalnya, pengunjungnya paling banyak memang berasal dari Israel.
Serangan Hilton menewaskan 34 orang dan melukai 105 orang lainnya. Tak lama berselang, dua serangan lanjutan terjadi di Ras al Sultan dan desa Tarabeen dekat Nuweibadi, sebuah kota di pantai timur Semenanjung Sinai. Sekitar 20 korban diidentifikasi merupakan warga Israel.
Selain itu, ada juga kelompok militan Ansar Beit al-Maqdis yang aktif sejak 2011 di Sinai. Setelah Muhammad Mursi yang dekat dengan kelompok islami dilengserkan pada 2013, serangan teror pun mulai dilancarkan terutama menyasar pos-pos militer termasuk helikopter militer Mesir. Kelompok ini kemudian mengaku telah berafiliasi dengan ISIS sehingga kini dianggap sebagai cabang ISIS di Mesir.
Tak hanya pos penjagaan yang terus diserang, warga sipil pun dihajar. Kini Sinai dianggap menjadi sarang kelompok militan yang juga mendapat dukungan ISIS. Sedangkan penembakan terhadap pesawat Airbus A 321 milik Rusia di Semenanjung Sinai yang menewaskan 224 orang menjadi penanda bahwa persenjataan para militan kian meningkat.
Faktor Ekonomi dan Geografis
Faktor ekonomi menjadi pemicu hadirnya gerakan-gerakan pemberontakan dan militan di Sinai. Secara geografis, wilayah Sinai diberkahi oleh pantai yang indah dan sumber daya minyak. Tahun 1990an investasi besar memasuki wilayah Sinai. Wilayah selatan mulai berdiri resort-resort mewah.
Lokasi itu awalnya merupakan desa nelayan warga asli Sinai. Kehadiran resor-resor mewah tersebut membuat warga setempat tersingkir dan kehilangan pekerjaan sebagai nelayan. Selain itu, sumber daya alam yang berada di Sinai juga dikuasai pemerintah dan pendatang.
Baca juga: Inilah Jalur Para Militan ISIS dari WNI ke Marawi
Penduduk Sinai yang kecil juga jauh dari pemberitaan media karena tertutup oleh megahnya resor-resor di Sinai. Di sisi lain, pemerintah tidak hadir. Minimnya akses kesehatan, pendidikan dan ekonomi menyeret warga Sinai kepada kemiskinan, bahkan penduduk Sinai menjadi yang termiskin di Mesir.
Kondisi ini menciptakan kriminalitas. Jalur perdagangan tradisional diubah menjadi jalur penyelundupan, termasuk pasokan senjata gelap. Kondisi yang sama menyuburkan gerakan-gerakan jihadis. Alasannya tak hanya dendam sejarah seperti pendudukan Israel di Sinai (sampai 1979), Yerusalem, dan konflik di Gaza, namun juga perasaan kecewa, benci dan merasa diasingkan oleh industri pariwisata yang tak melibatkan warga Sinai.
Kekuatan para militan yang awalnya berskala kecil menguat di bawah konsolidasi ISIS yang saat itu sedang memperluas wilayah kekuasaannya di luar Suriah dan Irak. Serangan teror yang kerap dilakukan kelompok militan Sinai membuat pemerintah Mesir geram dan membalas dengan tindakan represif.
Tindakan keras Kairo ditanggapi militan Sinai dengan terus meningkatkan aksi-aksi teror dan kampanye anti pemerintah agar menjauhkan warga Sinai dari pemerintah. Sokongan bantuan dari ISIS membuat militan di Sinai semakin percaya diri untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan pemerintah Mesir bahkan dunia.
Marawi, Sinai di Asia Tenggara?
Terasing dari tanah sendiri merupakan faktor penting Diasingkan, diusir dari tanah sendiri serta minimnya perhatian pemerintah pada sektor ekonomi di suatu wilayah memang berdampak buruk pada tumbuhnya gerakan-gerakan perlawanan. Konflik di Marawi, awalnya bermula dari sekelompok militan yang melawan pemerintah Manila. Lalu muncul kelompok seperti MNLF, Abu Sayyaf hingga kelompok Maute yang bergerak di wilayah Mindanao dan sekitarnya.
Baca juga: Dendam Keluarga yang Disuburkan oleh Perang Marawi
Menurut laporan Family Income and Expenditure (FIES) 2015 yang dilansir Rappler, 4 dari 5 orang miskin di Filipina berada di Mindanao. Sebanyak 8 dari 10 provinsi termiskin di Filipinan berada di Mindanao.
Selain itu, wilayah Lanao del Sur yang menjadi tempat kota Marawi berada, tingkat kemiskinan terus menanjak dari 44 persen pada 2006 menjadi 74,3 persen penduduk yang hidup di ambang kemiskinan pada 2015. Hal ini menyeret penduduk Lanao del Sur menjadi wilayah paling miskin di antara semua provinsi di Filipina.
Tak heran, muncul gerakan-gerakan perlawanan dari warga yang terpinggirkan. Namun sama seperti di Mesir, pemerintah Filipina juga melakukan tindakan represif dengan berbagai serangan kepada kelompok militan di Mindanao.
Hasilnya pun mirip, yaitu peningkatan eskalasi teror dengan kehadiran ISIS yang terang-terangan mempropagandakan Marawi sebagai Suriah-nya Asia Tenggara, sehingga siapapun yang tak dapat berperang di Suriah, dipersilakan ke Marawi.
Faktor kemiskinan, terpinggirkan dan minim perhatian pemerintah kerap memunculkan banyak konflik, namun kondisi ini akan semakin buruk jika didukung oleh letak geografis yang secara strategis menguntungkan kelompok-kelompok militan. Sinai berada di jalur yang digunakan ISIS untuk menyerang Kairo dan lokasi strategis untuk latihan. Marawi dikelilingi sejumlah negara dengan jumlah simpatisan ISIS yang tinggi, salah satunya Indonesia.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf