Menuju konten utama

Inilah Jalur Para Militan ISIS dari WNI ke Marawi

Dua kota yang mungkin jadi pintu masuk WNI ke Marawi: Zamboanga dan General Santos.

Inilah Jalur Para Militan ISIS dari WNI ke Marawi
Amir ISIS Asia Tenggara, Isnilon Hapilon (memakai baju koko coklat), Wakil bidang Internasional, Dr Mahmud (berpakaian kaos abu) dan juru bicara ISIS, Abu Hafs (menenteng M-16), berpose di sebuah tempat di Marawi. FOTO/Rumiyah

tirto.id - Sejak dua pekan terakhir eksistensi ISIS di Marawi semakin tergerus dan terancam. Militer Filpina mengklaim kekuatan ISIS kini tak lebih dari 40-an orang.

Mungkin inilah sebab mengapa selama beberapa hari terakhir, lain dari biasanya, milisi ISIS di media sosial begitu gencar menyerukan simpatisannya segera “hijrah” ke Filipina.

Pemimpin Grup Maute, Omar Khayam, bahkan menulis status terbaru di Facebook, 22 Agustus lalu—seakan mengiba: “Untuk saudaraku di nusantara, ayolah bantu agama Allah, kami sudah memuliakannya dan kami perlu ada yang meneruskannya.”

Selain itu, di hari yang sama, ISIS merilis video terbaru yang lebih agitatif lewat Al-Hayat Media Center. Isinya, ajakan kepada simpatisan “Daulah di Asia Timur”, khususnya dari Malaysia dan Indonesia, agar “berjihad” ke Marawi.

Seruan ini seringkali disikapi secara serius oleh simpatisan ISIS. Beberapa bulan sebelum serangan Marawi digelar, pesan berantai agar ikut ke Filipina selatan diserukan kepada para simpatisan di Asia Tenggara. Hasilnya, puluhan pejuang asing dinyatakan ikut bertempur. Kehadiran mereka malah membuat konflik Marawi makin rumit.

Baca juga: Internal ISIS di Marawi: Selotip itu Tak Selamanya Lengket

Mundur sejenak, beberapa hari setelah konflik Marawi meletus, pemimpin ISIS Asia Tenggara, Isnilon Hapilon dalam wawancara di Majalah Rumiyah berujar: "Ada beberapa cara dan jalan yang relatif aman untuk berhijrah. Kami akan menyambut Anda."

Saya menguji kemungkinan jalur yang dipakai jaringan dan simpatisan ISIS di Asia Tenggara, termasuk WNI, yang ingin bergabung dalam “Daulah Asia Timur” di Marawi dalam perjalanan 18 hari saya ke Filipina selatan, Juli lalu.

Baca juga:

Jalur Favorit dari Borneo

Rencana dua WNI, Faisal Abu Bakar and Ali Misron, untuk bisa bertempur di Marawi urung terjadi. Pada 16 Juni, mereka keburu ditangkap polisi antiteror Malaysia di Sandakan, Malaysia. Mereka ditangkap bersama seorang warga negara Malaysia, Nor Azmi Zahyi.

Malaysia diketahui jadi salah satu titik kumpul sebelum ke Marawi. Sistem ini dibangun oleh Dr. Mahmud Ahmad, orang Malaysia yang jadi sosok penting di ISIS Marawi dan jadi tangan kanan Amir ISIS Asia Tenggara, Isnilon Hapilon.

Dr. Mahmud diberi tugas oleh Isnilon untuk merekrut, membiayai, dan menjalin kontak dengan orang asing yang ingin berperang di Marawi.

Beberapa bulan sebelum serangan Marawi, eksodus jihadis asing telah dilakukan. Sebelum ke Marawi, ada kabar bahwa sekitar 60-an jihadis asing transit terlebih dulu di Pulau Basilan, bergabung bersama dengan Isnilon dan Dr. Mahmud. Mereka lantas secara bertahap menyeberang ke Zamboanga, dan melalui jalur darat ke Marawi.

Saya menemui Murshid, nelayan yang merangkap penyelundup di pelabuhan Zamboaga pada 27 Juli lalu. Ia berkata, WNI yang tertangkap di Sendakan itu hendak masuk Filipina lewat jalur resmi, bukan ilegal.

Alasannya, di Sendakan amat jarang penyelundup. “Dan memang ada rute resmi kapal feri dari Sandakan ke Zamboanga setiap seminggu sekali," ucapnya. "Mereka mungkin ingin mengenakan kedok sebagai Jamaah Tabligh karena nama mereka bersih di daftar pencarian orang Polisi Malaysia, Filipina, atau Indonesia.”

Kata Murshid, rute ilegal milisi ISIS untuk masuk Filipina biasanya lewat pelayaran dari Semporna atau Lahad Datu, “Di sana banyak penyelundup yang akan membantu Anda masuk ke Filipina.”

Kapal biasanya berangkat malam hari. Dari Semporna—pesisir timur Sabah, kapal biasanya mendarat di Pulau Sitangkai—sudah masuk teritori Filipina. Jarak dari Semporna ke Sitangkai hanya 85 kilometer. Dari Sitangkai, lanjur naik perahu lain ke Pulau Tawi-Tawi.

Kata Murshid, ketimbang dari Semporna, para penyelundup lebih memilih lewat Lahad Datu, sebuah kota di negara bagian Sabah.

“Kita bisa pergi berlayar dari Tabisan. Dari Tabisan, kita bisa langsung ke Tawi-Tawi. Dengan kapal cepat, perjalanan sekitar 1-2 jam," ujarnya.

Normalnya, dari Tawi-Tawi, perjalanan lanjut secara estafet melalui Jolo dan berhenti di Basilan.

Ketika perang belum meledak, milisi asing yang berkumpul di Basilan masuk ke Mindanao lewat Zamboanga. Mereka menyeberang dengan kapal feri selama 1 jam. Dari Zamboanga, mereka menempuh perjalanan darat 9 jam menuju Marawi.

Namun, setelah perang pecah, status darurat militer bikin penjagaan ketat di Zamboanga.

Saya sempat melakukan perjalanan darat dengan bus dari Marawi ke Zamboanga. Sepanjang jalan, setiap hendak masuk ke sebuah kota, seluruh penumpang—baik itu yang naik kendaraan umum atau pribadi—mesti turun dan jalan kaki melewati pos pemeriksaan sembari menunjukan identitas.

Di Santa Barbara, Zamboanga, saya berbincang dengan seorang perwira marinir, yang enggan namanya dikutip. Katanya, ada kemungkinan besar bantuan dari Basilan, Jolo, dan Tawi-Tawi tak akan lagi melewati Zamboanga setelah perang berkecamuk.

“Dari Basilan, mungkin mereka akan memilih melewati jalur laut dan langsung singgah di Malabang,” ujarnya.

Malabang adalah sebuah kota kecil, 73 kilometer sebelah selatan dari Marawi. Kota ini terletak di pesisir pantai Teluk Illana. Sedikit menjorok dari Teluk Illana, kita akan menjumpai perairan Moro. Di situlah Pulau Basilan berada. Jarak dari Basilan ke Malabang sekitar 200 kilometer.

Malabang jadi akses penting ke Marawi karena kota ini dekat dengan Danau Lanao. Di Marawi, ISIS kini sudah terkepung. Satu-satunya akses pasokan bantuan hanya dari sisi Danau Lanao dengan memakai perahu.

Pada 11 Agustus lalu, militer Filipina (AFP) kecolongan setelah gagal mencegah 10 militan ISIS dari luar yang masuk ke area pertempuran. Mereka memasuki Marawi dari arah danau dengan perahu saat hujan deras. Pada pekan lalu, AFP menembak dua orang yang mencoba masuk ke Marawi lewat jalur ini.

Akses dari Malabang menuju kota pesisir Danau Lanao seperti Ganassi dan Binidaya hanya 50-60 kilometer. Setelah dari kota itu, milisi ISIS bisa leluasa memakai perahu dan bergabung dengan rekan-rekan mereka di Marawi.

HL jalur masuk marawi

Jalur Penyelundup dari Laut Sulawesi

Sejak perang Kota Marawi berkecamuk, pemerintah Indonesia dan Filipina mengetatkan pengamanan di Laut Sulawesi. Saat konflik komunal di Ambon dan Poso, antara 1998-2001, ada hubungan simbiosis antara milisi pemberontak di Mindanao dan Indonesia.

Mindanao kerap jadi tempat pelarian teroris asal Indonesia. Di sisi lain, Ambon dan Poso sering dijadikan pasar menguntungkan untuk menjual senjata ilegal oleh para milisi pemberontak Mindanao. Dua transaksi simbiosis ini sering melewati Laut Sulawesi. Wajar belaka ketika Marawi memanas, pintu-pintu ini berusaha ditutup serapat mungkin.

Sabtu sore, 22 Juli lalu, pesisir Pulau Marore terlihat ramai. Marore adalah pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. Selain Marore, ada Pulau Miangas. Namun, jalur ilegal ke Mindanao jarang dilakukan lewat Miangas, karena wilayah di Kepulauan Talaud ini lebih dekat dengan Kota Davao—penjagaannya lebih ketat ketimbang Kota General Santos atau Gensan.

Marore adalah pintu keluar-masuk penyelundupan barang-barang ilegal dari dan ke Filipina. Dari sembako, ayam aduan, rokok, miras, barang antik, obat-obatan, senjata, hingga perdagangan manusia dan buruh migran.

Fadli, seorang kuli di Pelabuhan Marore, berkata sempat bekerja sebagai penyelundup dari Filipina. Sejak dua tahun terakhir ia berkata kepada saya tidak lagi menyelundupkan barang ilegal di Marore.

“Dulu kita lewat jalan tikus yang tidak ada pengawasan pihak patroli. Kita tahu kalau ada kapal angkatan laut untuk masuk ke wilayah. Sekarang pengawasan lebih ketat lagi, apalagi ada kebijakan Menteri Susi," katanya menyebut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Baca juga: Susi Pudjiastuti, 'Kalau Enggak Terima, Silakan Gagalin Saya Jadi Menteri'

Fadli sedang berbasa-basi. Sejauh 152 kilometer ke arah utara dari posisi Fadli berbicara, di Calumpang, Kota Gensan, Ronny terlihat sibuk berkeliling desa mencari ayam Texas. Di Filipina, harga ayam ini relatif murah, berkisar Rp600 ribu. Di Indonesia, harganya bisa melejit hingga Rp6 juta karena sering dipakai sabung ayam.

Setelah mendapatkan ayam yang ia mau, Ronny bergegas menuju ke kapal. Ia punya sebuah pump boat kayu berukuran 8 meter, bermesin dua tak, dengan jukung berukuran 2x6 meter persegi.

Petang Minggu, 16 Juli lalu, saat saya menjumpainya, Ronny bergegas menyalakan mesin kapal dan berlayar ke arah selatan. Pelan-pelan kapalnya hilang ditelan bayang-bayang senja.

Ronny adalah salah satu penyelundup, berkebalikan dari gembor-gembor penjagaan ketat di perbatasan yang selama ini disebarkan pemerintah kepada media. Ronny jadi bukti bahwa jalur ilegal distribusi barang dan manusia di Laut Sulawesi masih berjalan normal. Ia setidaknya dua kali sepekan bolak-balik Filipina-Indonesia.

Temuan saya di Gensan: mayoritas penyelundup adalah warga keturunan Indonesia (Person of Indonesian Descent/PID) yang tinggal di Filipina. Banyak dari mereka bahkan memiliki paspor WNI, termasuk Ronny. Berstatus penyelundup bukan berarti mereka bisa mudah dicap terlibat terorisme.

Mustajo Taguere Mediang, tetua Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang paling dihormati di General Santos, membagi kisahnya kepada saya. Mediang semula dikenal sebagai perompak dan penyelundup senjata. Ia berkata bahwa tidak semua penyelundup atau nelayan tahu barang apa yang dikirim.

"Terkadang mereka patuh saja. Ditugasi kirim barang ini ke ini. Nanti di sana sudah ada yang jemput,” ujarnya.

“Dan soal isi kadang itu dimanipulasi. Misal, memasukkan senjata ke karung beras. Saya akan tetap bilang ke dia [si penyelundup] bahwa saya kirim beras bukan senjata. Jika jujur malah berisiko dan berpotensi ditolak," ucapnya.

Beda cerita soal bagaimana menyelundupkan orang. Agar bisa menyeberang, warga biasa menyewa pump boat dari penyelundup. Tarifnya antara 2-3 juta per kapal. Satu kapal bisa diisi 5-6 orang.

Titik awal berlayar bisa dari Bitung, Manado, Pulau Tahuna atau Pulau Marore—tergantung seberapa kuat si penyewa terombang-ambing di laut.

Opsi menuju Marore lebih banyak dipilih karena waktu tempuh dari Mindanao lebih dekat, hanya 3-5 jam. Dari Marore, mereka yang hendak menuju/dari Tahuna dan Manado biasanya melanjutkan dengan kapal perintis.

Alex adalah salah satu yang sering menyelundupkan orang ke Filipina. Ia sempat ditangkap polisi Filipina saat ketahuan menyusupkan warga India yang mau bekerja di Davao pada 2014. Warga India yang ia bawa itu ingin ke Filipina lewat Sulawesi karena tak memilik surat izin kerja.

Biasanya pendatang gelap akan diturunkan bukan di Gensan tetapi Kiamba, kota kecil di Provinisi Sarangani, yang jaraknya 95 kilometer dari Gensan. Gensan terlalu riskan karena harus melewati pos marinir dan imigrasi Filipina, kata Alex.

Kota Gensan terletak di pesisir Teluk Sarangani, beda dari Kiamba yang langsung berhadapan dengan Laut Sulawesi. Selain didukung topografi, secara demografi penduduk, kota-kota di pesisir selatan Mindanao relatif lebih sepi dan kultur orangnya sangat cuek. Saat mendarat, kapal-kapal itu tidak segan berhenti di pantai yang bersampingan dengan jalan nasional Sarangani - Cotabato Utara.

Ketua Diaspora Indonesia di Filipina Selatan, Josapath Layang, bercerita lain. Sepengetahuannya, para teroris menggunakan jalur dan pola yang lebih ekslusif.

"Mereka dijemput oleh penyelundup di satu titik dengan waktu yang ditentukan. Lalu diantar ke Filipina. Dan setelah sampai Filipina, mereka langsung ada yang jemput," ucapnya.

Awal Mei 2017, tiga pekan sebelum Marawi berkobar, sebuah rombongan dari Jawa pernah menyewa kapal seorang penyelundup. Keberangkatan rombongan ini berbarengan seruan masif ISIS untuk datang ke Filipina selatan.

Menurut Josapath, kehadiran orang Jawa ini “amat janggal” karena yang biasa menyewa kapal adalah masyarakat lintas batas. Saat ada orang asing menyewa kapal, ia menaruh curiga. Lebih-lebih ia tidak tahu lagi kabar kabar si penyelundup, "Saya juga sudah lama tidak jumpa dia di sini. Kabar yang saya dengar, dia sekarang sudah pulang lagi ke Indonesia.”

Salah seorang pemimpin ISIS di Marawi, Omar Khayyam Maute, disebut-sebut punya banyak relasi di Sulawesi.

Di Sulawesi, ISIS Filipina punya keterikatan khusus dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang beroperasi di Poso. Saat polisi menangkap seorang simpastisan ISIS dari Jambi, 30 Mei lalu, terungkap bahwa sebagian anggota faksi al-Hawariyun tengah siap menyeberang ke Mindanao lewat Toli-Toli, Sulawesi Tengah.

Melihat dari masih banyak celah pos lintas batas di Laut Sulawesi, tak menutup kemungkinan bala bantuan simpatisan ISIS Marawi akan datang lewat jalur ini.

===========

Keterangan foto: Amir ISIS Asia Tenggara, Isnilon Hapilon (memakai baju koko coeklat), wakil bidang internasional, Dr. Mahmud (berpakaian kaos abu), dan juru bicara ISIS, Abu Hafs (menenteng M-16), berpose di sebuah tempat di Marawi. FOTO/Rumiyah

Baca juga artikel terkait MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam