tirto.id - Awal Mei lalu di Telegram muncul seruan kepada “pembela daulah” di Asia yang tak bisa berhijrah di negeri Syam untuk segera pergi ke Filipina. Bersatu dalam satu panji dan kepemimpinan Islamic State East Asia (ISEA). Pesan tersebut berjudul “Labbun-Nidaa.” Di akhir pesan tertulis: "Selotip, merekatkan apa yang terserak".
Fakta yang ditemukan saya di Marawi ternyata selotip itu gagal merekatkan apa yang terserak.
Najib, nama samaran, hidupnya kini jadi pelarian. Ia diburu oleh dua pihak yang berperang: pemerintah Filipina dan pendukung ISIS. Bagi pemerintah, Najib dianggap teroris. Bagi ISIS, Najib dianggap pengkhianat.
Najib sempat berjuang bersama ISIS pada pekan pertama pertempuran di Marawi, akhir Mei lalu. Merasa "perjuangan jihad" dimanfaatkan, ia kabur dari Mindanao, Filipina selatan, dan bersembunyi di sebuah kota di Pulau Luzon, utara Filipina.
Seorang anggota senior Front Pembebasan Islam Moro (MILF) memperkenalkan Najib kepada saya. Tak banyak informasi yang bisa dikorek dari Najib. Yang pasti ia kesal melihat kenyataan di internal ISIS, khususnya faksi Kelompok Maute.
"Saya akui saya bergabung dengan ISIS, tapi waktu itu saya pikir ini jihad, kenyataanya tidak begitu," katanya.
- Baca perpecahan di antara faksi militan di selatan Filipina dan motivasi mereka bergabung ISIS: Grup Maute dalam Perang Marawi: 'Anak Muda Tak Tahu Diri'
Beberapa hari setelah perang berjalan, Najib kecewa melihat motif sebagian kombatan ISIS yang erat kaitan dengan politik. "Obrolan di antara mereka selalu membicarakan hal: 'Bagaimana? Apa walikota sudah mundur? Apa gubernur sudah mundur?'"
"Jika tidak, pasti berbicara, 'Apakah uang dari luar sudah datang?'"
"Saya kaget, apakah jihad ini seperti ini? Saya sudah merasa tak nyaman. Pada suatu malam, saya putuskan untuk pergi. Saya lempar M-16 ke semak-semak. Dan menyamar jadi pengungsi, kabur ke Iligan sebelum akhirnya ke sini," ujarnya.
Penuturan Najib menggambarkan bahwa propaganda ISIS menyebut Marawi sebagai Daulah demi konsolidasi faksi militan Islamis di Asia Tenggara adalah omong kosong belaka.
Juru bicara Pasukan Tempur Gabungan dari Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) di Marawi, Jo-Ar Herrera, menuturkan kepada The Australian News pada 28 Juni lalu bahwa pihaknya menerima laporan ada perpecahan di kalangan internal ISIS. Bahkan muncul laporan ISIS mengeksekusi pejuang mereka sendiri.
Katanya, laporan ini mesti diverifikasi tetapi bisa jadi serpihan kebenaran karena dituturkan oleh banyak pihak, dari warga sipil yang baru saja lolos dari zona konflik, para anggota keluarga dan militan yang ditangkap.
"Kami memiliki laporan mereka telah mengeksekusi pejuang mereka sendiri. Itu adalah manifestasi dari kepemimpinan yang hancur, " kata Herrera.
Saya mengklarifikasi pernyataan ini ke Herrera, dan ia meyakinkan saya, "Laporan itu memang benar, tapi kami tidak dapat memverifikasinya karena kita tidak tahu betul apa yang sebetulnya terjadi di dalam internal mereka.”
Seorang anggota senior MILF di Iligan mendetailkan kabar yang diterima pihak militer pemerintah. Informasi ini didapatnya dari militan ISIS sendiri, yang sesekali menghubunginya.
"Tahukah Anda, militer sempat mengonfirmasi kematian Omar Maute pada pertengahan Juni lalu?" katanya.
Pada 23 Juni, AFP merilis pernyataan resmi bahwa mereka yakin Omar Khayam Maute, salah seorang pendiri dan pemimpin Kelompok Maute, telah tewas. “Dia terbunuh di salah satu dari empat wilayah konflik (Kelurahan Bangolo, Lilod, Raya Madaya, dan Marinaut)," ucap Herrera dikutip dari Inquirer.
"Kami tidak bisa mengatakan hari apa dia terbunuh, apa kaliber (dari senjata api) membunuhnya, atau di mana mayatnya dikuburkan. Tapi kami dapat laporan sejak dua minggu lalu bahwa dia [Omar] mendapatkan luka serius dan kemudian tewas," tambah Herrera.
"Omar sebetulnya tidak tewas. Namun dia mengalami luka parah," ucap si komandan MILF kepada saya.
Ia menceritakan musabab Omar mendapat luka. Katanya, dalam satu pertemuan antara Kelompok Maute dan faksi-faksi lain, berlangsung perdebatan sengit, khususnya antara Omar Khayam dan Ali Hassan. Ali adalah bekas kombatan MILF di Butig, Provinsi Lanao del Sur. Ia tak memiliki relasi kekeluargaan dengan klan Maute.
Entah apa topik yang dibicarakan, tapi perdebatan itu tak menemui titik temu, ujar si sumber tersebut.
Ali, yang seorang diri itu, kemudian mengeluarkan pistol dan menembak Omar dari jarak dekat. Beruntung Omar tak tewas; ia hanya terluka parah.
"Lalu bagaimana nasib Ali?" tanya saya. “Dia tewas di tempat akibat diberondong pengawal Omar," jawabnya.
Mundur atau Berperang Sampai Mati
Di wilayah selatan Filipina, semangat mempertahankan tribalisme bisa menjadi pisau bermata dua bagi kalangan muslim. Fanatisme puak dan kesukuan kadang bikin mereka erat tetapi tak jarang membuat perpecahan.
Misalnya, Suku Tausug akan lebih merasa berani ketimbang Maranao. Sebaliknya, Maranao merasa lebih pintar dan berpendidikan ketimbang Tausug, yang mereka anggap sebagai orang laut. Sentimen sama membelah antara suku Maguindanao, Yakan, Iranun, dan suku-suku lain. Bangsamoro, yang menggabungkan suku-suku ini, diikat oleh sentimen etnoreligius meski pengaruh gerakan milisi komunis Tentara Rakyat Baru (NPA) juga besar di sana.
“Kamu muslim?” kata Inan Villan, petugas lapangan LSM Omega, kepada saya. “Saya Kristen. Tapi kamu tahu, meskipun kamu muslim, kamu tidak bisa menikahi sembarang perempuan di sini jika kamu tidak satu suku.”
“Di sini ikatan kesukuan amat begitu kental," ujarnya, lagi.
Dalam konteks Marawi, secara umum, Kelompok Maute mencerminkan Suku Maranao, Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF) merepresentasikan Suku Maguindanao, Kelompok Abu Sayyaf (ASG) faksi Isnilon Hapilon yang beroperasi di Basilan adalah Suku Yakan, dan faksi ASG di Sulu adalah suku Tausug dan Iranun.
Friksi inilah yang membuat internal ISIS rentan retak. Tiap kelompok memilik kepentingannya masing-masing.
Itu persis seperti diungkapkan Bin Laden—sosok yang mudah dikenali karena tampil beda dengan yang lain: jenggot lebat-panjang hingga dada dan sering memakai kopiah. Nama aslinya Agakhan Manguindato Sharief, ulama ternama di Marawi. Orang di sana lebih akrab menyapanya 'Bin Laden'—merujuk nama pemimpin Al-Qaeda yang tewas dibunuh oleh Navy SEAL, pasukan elite Angkatan Laut AS, pada 2011 di Abbottabad, Pakistan.
Selain sebagai ulama, Manguindato 'bin Laden' Sharief aktif di politik. Pada 2016, ia mencalonkan diri sebagai calon wakil gubernur daerah otonomi muslim Mindanao tetapi kalah.
Meski tak bergabung dengan ISIS, Sharief diketahui memiliki koneksi dengan Keluarga Maute. Statusnya sebagai ulama membuatnya dihargai.
Akses ini membuatnya jadi sosok penting menjembatani negosiasi pemerintah Filipina dan Kelompok Maute, khususnya saat pembebasan warga sipil yang terperangkap dan terjebak di antara baku tembak pada masa awal perang Marawi.
Ketika ditemui usai jumpa pers Majelis Ulama Ranao pada 23 Juni lalu, Sharief 'Bin Laden' mengakui kondisi internal ISIS di Marawi “amatlah begitu dinamis.”
Secara resmi, simpatisan ISIS—terdiri banyak faksi di Mindanao—sepakat untuk menyetujui mandat Abu Bakar Al-Baghdadi dipegang Isnilon Hapilon, pemimpin ISIS di Basilan sebagai Amir Junud Khilafah di Filipina. Namun, kenyataannya, terjadi kondisi sebaliknya.
"Mereka tidak sepenuhnya satu suara," kata bin Laden.
Bin Laden adalah sosok yang sempat diminta Presiden Filipina Rodrigo Duterte bernegosiasi dengan kelompok Maute, meminta mereka untuk menyerah dan pergi jauh-jauh dari Marawi. Katanya, lewat pendekatan kaum ulama, Duterte berharap Abdullah Maute bisa terbujuk.
Saat gencatan senjata dan tengah mengupayakan pembebasan warga sipil, Bin Laden berjumpa dengan Abdullah Maute. Ia berkata. "Anda berasal dan tumbuh besar di Marawi. Sekarang coba lihat di sekitar Anda, betapa banyak properti yang hancur dan korban yang mati. Bagaimana nasib para pengungsi yang mencapai ratusan ribu orang? kehancuran ini harus segera diakhiri."
Menurut pengakuan Bin Laden, hati Abdullah melunak dan membuka pintu negosiasi. Namun, pembicaraan ini harus melibatkan pihak ketiga, yakni MILF.
Di tengah jalan, upaya negosiasi ini ditolak keras oleh faksi-faksi lain.
"Penolakan datang dari mereka yang bukan Maranao," tuturnya, menyebut suku yang menempati kawasan danau di Mindanao.
Pernyataan ini selaras dengan penjelasan dari Rommel Banlaoi, akademisi Filipina dan sarjan politik dari Philippines Institute for Peace, Violence and Terrorism Research.
"Saat ini masih ada kesulitan karena militan asing dari Indonesia dan Malaysia berusaha keras memperjuangkan agar berdirinya provinsi Kekhilafahan ISIS di Filipina. Dan upaya itu dilakukan tidak dengan negosiasi, hanya bisa dicapai melalui perjuangan bersenjata," kata Banlaoi.
Kedekatan emosional dengan kawasan—tempat lahir mereka—dengan Marawi membikin Kelompok Maute terenyuh melihat kehancuran total di kota mereka. Namun rasa iba ini tak dirasakan oleh kombatan-kombatan pendatang, menurut Banlaoi.
Analisis ini sesuai pengalaman dari Sersan Ismael Albinner. Ia banyak makan asam garam menghadapi gerakan pemberontak di Filipina. Ia turun dalam pertempuran sengit pembebasan Zamboanga pada 2013 saat melawan Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF).
Ismael ikut menggasak Grup Abu Sayyaf di Basilan dan Sulu, serta Kelompok Maute di Butig pada 2016. Ia bertempur di Marawi dan merasakan hal janggal: menemukan musuh yang dihadapinya saat ini lain dari biasanya.
"Di peperangan lain, saya menemukan jika kondisi sudah terdesak dan terkepung, mereka biasanya menyerah atau melarikan diri. Di Marawi, betapa sulit untuk merebut satu rumah saja. Mereka yang bertahan seolah memang ingin berperang sampai mati," ujarnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam