tirto.id - Saat tiba di atas podium, seisi ruangan langsung bertepuk tangan menyambut Letnan Satu Kent Fagyan. Di depan anggota Kongres Filipina, perwira muda ini memilih tampil dengan mengenakan seragam dinas lapangan loreng-loreng.
Tangannya dibebat kain, menandakan ia terluka. Kent baru pulang bertempur dari Marawi. Ia hadir di Kongres Filipina pada 22 Juli lalu untuk memberi perspektif ke anggota Senat soal kebijakan Presiden Rodrigo Duterte yang memperpanjang darurat militer di Mindanao hingga akhir 2017.
Fagyan bercerita betapa sulit mengalahkan ISIS di Marawi. Katanya: Ini perang terberat yang ia jalani. Padahal ia punya pengalaman tempur cukup mentereng. Fagyan terlibat dalam perang kota di Zamboanga pada 2013, menghadapi Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF).
Saat itu pasukan Nur Misuari mengerahkan pasukannya lebih dari 500 orang dari Sulu dan Basilan dengan perahu lalu menyerbu Zamboanga dari laut. Mereka mengibarkan bendera Bangsamoro di Balai Kota Zamboanga dan menguasai kota itu selama 20 hari.
Selain di Zamboanga, Fagyan ikut menghadapi Kelompok Maute, yang berbaiat ke ISIS di Butig pada 2016. Butig adalah kota kecil, 50 kilometer dari arah selatan Marawi dan dikenal sebagai kampung halaman Maute. Di Butig, Kelompok Maute mengibarkan bendera ISIS di balai kota dan menguasainya selama 14 hari.
Berbeda dari Marawi, Butig lebih mirip seperti desa. Karena itulah insiden pendudukan Butig tak seheboh seperti di Marawi. Kata Fagyan, pertahanan ISIS di Marawi lebih sukar ketimbang di Butig.
"Mereka telah melakukan banyak perubahan di Marawi. Mereka memiliki senjata kaliber 50, pemindai frekuensi radio, pesawat tak berawak, dan mungkin persediaan amunisi yang tidak terbatas," ujarnya.
Medan pertempuran berupa perang kota makin mempersulit itu. Banyak gedung tinggi dan kerapatan antar-bangunan membikin pasukan pemerintah sering jadi bulan-bulanan kombatan ISIS.
Fagyan dan pasukannya tak bisa bergerak leluasa di jalanan. Kata Fagyan, mereka akan jadi mangsa empuk para penembak jitu ISIS. Sebagai gantinya, mereka membobok lubang dari dinding bangunan ke bangunan lain dan membentuk sebuah labirin di tengah kota.
Momok dari strategi pertahanan ISIS adalah pertempuran jarak dekat dan jebakan IED.
IED—Improvised Explosive Devices—adalah bom rakitan dengan menambahkan beberapa komponen detonator tertentu, termasuk ponsel, supaya ledakannya terarah dan mematikan. Pemicu ledak, selain pakai sinyal ponsel murah, bisa juga memakai frekuensi radio, bluetooth, dan infrared. IED bukan seperti ranjau yang dipicu oleh kawat sandungan atau tekanan injakan kaki agar meledak. Dengan menambahkan perhitungan waktu ledak itulah IED jadi lebih berbahaya.
Penggunaan masif IED mulai populer sejak invasi pasukan Amerika Serikat dan Sekutu ke Irak dan Afganistan. Sama seperti bom mobil bunuh diri, IED adalah bagian dari taktik impor yang dibawa dari Timur Tengah ke Filipina.
Fagyan tergolong beruntung saat salah satu IED yang dipasang di kursi dan diduduki anak buahnya tak meledak. Namun suatu ketika, kala membersihkan sebuah bangunan, sebuah bom meledak dan melukainya.
Nasib Fagyan tidak seapes anggota marinir Sersan Sandy Benitez. Ia mesti merangkak selama hampir lima jam di sepanjang jalan dengan kaki terluka akibat serpihan granat berpeluncur roket (RPG) mengenai kaki kirinya.
"Beberapa rekan saya yang terluka," kata Benitez. "Mereka kehilangan harapan dan kebingungan. Ada yang menangis..."
Benitez sedih saat melihat sahabatnya tewas di dekatnya setelah terkena serangan RPG. Musabab kejadian ini akibat operasi penyusupan pasukan marinir di malam hari yang kepergok musuh. ISIS sukses memancing pasukan marinir ke sebuah perangkap dan mengajaknya bertempur lewat peperangan jarak dekat.
Di Marawi, musuh adalah mereka yang lahir dan besar di kota itu. Tidak sulit bagi mereka melakoni perang kota. Di sisi lain, Filipina tidak memiliki pasukan yang terlatih menghadapi perang urban. Fagyan dan Benitez terbiasa berlatih di hutan, gunung, dan laut menghadapi gerilyawan.
Filipina sebetulnya memiliki pasukan khusus yang dilatih untuk perang kota lewat Resimen Reaksi Ringan (LRR) yang dibentuk dan dilatih Amerika Serikat pasca-9/11. Namun, jumlah pasukan di unit ini amat sedikit, hanya 600 personel.
Memaksa Bertempur Jarak Dekat
Salah seorang komandan batalion Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Marawi bercerita kepada saya bagaimana ISIS menerapkan taktik pertempuran jarak dekat yang menyusahkan tentara Filipina.
Tinggal di Marawi membuat sumber tersebut kenal banyak dengan anggota keluarga Kelompok Maute yang berbaiat kepada ISIS. "Saya sebetulnya pernah mengontak salah seorang yang ada di dalam [ISIS]," ujarnya.
Suatu ketika, si komandan bertanya kepada seorang milisi. "Bagaimana cara kamu menyerang?"
"Tidak, kami tidak menyerang," ujarnya menirukan si milisi. "Kami sebetulnya menyerang, tetapi tidak menyerang secara langsung. Kami menunggu mereka [pasukan Filipina] untuk masuk melewati jembatan."
"Dan kami lalu bertempur mereka dengan jarak yang sangat dekat, 3-5 meter."
"Kenapa kamu melakukan itu? Bukankah itu sangat berisiko?"
Si serdadu ISIS ini menjawab, "Kami harus melakukannya. Kami tidak bisa bertempur dengan jarak yang begitu jauh. Karena ketika mereka mati, kami tidak bisa mengambil senjata mereka. Namun, jika kami bertempur jarak dekat, kami bisa mengambil semua senjata."
"Tahukah Anda apa yang mereka lakukan kepada mayat-mayat tentara malang itu?" tanya si komandan MILF kepada saya.
"Mereka melucuti pakaian tentara itu dan memakainya. Strategi ini jadi masalah bagi para komandan militer," tambahnya.
Alasannya, saat memantau peperangan lewat teropong jarak jauh, para komandan pasukan Filipina kebingungan: mana pasukannya dan mana yang bukan. Mengenakan seragam tentara pemerintah melahirkan taktik kamuflase yang menguntungkan kombatan ISIS.
Informasi dari orang dalam ISIS ini dibenarkan oleh seorang kapten dari resimen Scout Rangers, pasukan elite Angkatan Darat Filipina. "Terkadang kami bisa tahu bahwa mereka adalah ISIS setelah kami menarik seluruh pasukan dari garis depan," ucapnya.
Soal klaim tersebut, saya mengajukan pertanyaan kepada Komandan Marine Battalion Landing Team 7 (MBLT7), Letnan Kolonel Bill Pasla. Ia tak menampik informasi ISIS yang sering memakai kamuflase untuk mengelabui anak buahnya.
"Kami harus semakin teliti dan hati-hati, termasuk berkoordinasi dengan unit pasukan lain," ujarnya.
Pada 1 Agustus lalu, media resmi ISIS, Amaq, merilis sebuah video baru dari pertempuran Marawi. Berbeda dari video sebelumnya yang memperlihatkan perang jarak jauh dari blok ke blok, kali ini ISIS menampakkan perang jarak dekat dari rumah ke rumah, ruangan ke ruangan.
Memahami medan bikin kombatan ISIS mempersiapkan serangan mendadak lewat lubang-lubang kecil di dinding bangunan kota yang dibobok. Saking dekatnya posisi dengan pasukan pemerintah membuat komunikasi antara milisi ISIS dilakukan secara berbisik-bisik.
Pada video ini, ISIS memperlihatkan tujuh mayat tentara Filipina yang tewas disergap dan senjatanya dirampas: senapan mesin M60, Senapan Serbu CAR-15, dan M-4 plus M203 peluncur granat beserta granatnya, serta helm dan rompi antipeluru.
Momok Evolusi Penggunaan IED di Filipina
Bagi serdadu Filipina, siasat ISIS yang memaksimalkan IED bikin sukar kondisi perang jarak dekat. Sebulan setelah pengepungan Marawi, 24 Juni 2017, juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina (AFP), Jenderal Restituto Padilla mengakui IED memperlambat gerak pasukannya. Dan hampir sebagian besar korban dari militer pemerintah disebabkan oleh IED.
Ia menceritakan pengalaman satu unit marinir yang hendak membersihkan sebuah gedung di Kota Marawi. "Kami mencoba mengatasinya dengan meledakkannya dari jarak jauh. Ketika meledak, ada 10 ledakan besar lain beruntun, seperti petasan renteng. Ternyata IED adalah bagian dari booby traps (jebakan mengejutkan) yang terdiri dari serangkaian IED yang diletakkan bersama. Jika bom ini meledak, tanpa disadari akan membunuh atau melukai tentara lain di lokasi berbeda," katanya, dikutip dari Philippine News Agency.
Bombardir artileri dan Angkatan Udara Filipina ke wilayah ISIS membuat tiap jalan dan bangunan dipenuhi material reruntuhan. Situasi ini dimanfaatkan ISIS menyebar IED ke banyak titik: jalan besar, gang-gang, selokan, hingga di dalam rumah. Militer Filipina sempat menunjukkan foto bagaimana IED disisipkan di kamar mandi, tangga, pintu, sampai di bawah kursi dan kasur.
Jauh sebelum ISIS, IED sudah masuk ke selatan Filipina sejak awal 2000-an, dibawa oleh Jemaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Mayoritas pelatih bomber ini dari Indonesia, salah satu yang populer adalah Fathur Rahman al-Ghozi dan Dulmatin.
Semula penggunaan IED umum dipakai oleh Kelompok Abu Sayyaf IED mengubah siasat teror para kelompok ekstremis Islam di Filipina dari serangan granat tangan dan RPG menjadi lebih mematikan: memadukan bahan peledak berdaya besar dengan komponen elektronik yang lebih efisien dan fleksibel untuk dikontrol. Salah satu aksi teror pertama dan mematikan adalah serangan bom tahun 2004 yang menenggelamkan kapal Superferry 14 di Manila dan membunuh 116 orang, mayoritas warga sipil.
Dulu IED jadi komponen penting untuk meneror sipil, tetapi jarang dipakai saat kontak tembak. Ketika MNLF menguasai Zamboanga dan berhadapan dengan tentara Filipina untuk melakoni perang kota pada 2013, penggunaan IED oleh MNLF tidaklah sebesar seperti di Marawi. Saat ini ada setidaknya 300 bangunan yang dipasang IED oleh ISIS di Marawi.
Lalu mengapa IED begitu masif digunakan di Marawi?
Hasil riset pustaka dan wawancara ke pelbagai pihak di Marawi membuat saya mengambil tiga kesimpulan.
Satu, kedekatan Kelompok Maute dengan Zulkifli bin Hir alias Marwan, "jihadis" asal Malaysia dan salah seorang pemimpin Jemaah Islamiyah.
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC)—lembaga pemikiran yang didirikan oleh pakar terorisme di Asia Tenggara Sidney Jones—menyebut Kelompok Maute mendapatkan pelatihan langsung dari Marwan sekitar tahun 2011 dan membentuk Jamaah Tawhid wal-Jihad.
Latar belakangnya di Jemaah Islamiyah dan kedekatan dengan para jihadis di Timur Tengah membuat Marwan disebut sebagai "penghubung dan pemersatu" para kelompok pendukung ISIS di Filipina seperti Abu Sayyaf, Kelompok Maute, Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF), dan Ansar al-Khilafaf Philippines (AKP).
Marwan tewas pada 2015 dalam operasi perburuan oleh militer di Kota Mamasapano, Provinsi Maguindanao. Seorang pejabat intelijen kepadaPhilstar menyebut, selama dua tahun terakhir, Marwan setidaknya mengajari lebih dari 300 bomber baru, dan 50 di antaranya berasal dari Marawi. Ia melatih anggota baru untuk membuat bom IED dengan bahan-bahan dari gudang senjata pemberontak, seperti roket anti-tank B-40 dan proyektil mortir.
Faktor kedua: keterlibatan Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF) dalam konflik Marawi. Global Terrorism Database mendapuk BIFF sebagai kelompok yang paling getol menyerang Filipina lewat IED dengan catatan 110 kali.
Pada Maret 2015, Jenderal Gregorio Pio Catapang dari Angkatan Bersenjata Filipina menyebut BIFF memiliki pabrik IED berproduksi besar di kota Salvu, Pagatin, Mamasapano, dan Shariff Aguak di Provinsi Maguindanao. Bergabungnya BIFF membela panji ISIS di Marawi membikin mudah—kalau bukan aliansi sangat menguntungkan—bagi ISIS mendapatkan IED.
Faktor ketiga soal taktik: Jika IED berlimpah, lalu bagaimana memanfaatkannya untuk menghambat laju pasukan infanteri di perang kota?
"Ada beberapa taktik yang tak dilakukan di pertempuran sebelumnya dan sekarang menyulitkan kami," ujar Letnan Dua Melvin Camarez dari Batalion Infanteri. "Saya yakin ada banyak dari mereka yang berperang di Irak dan Suriah ikut bertempur di Marawi," tambah serdadu yang pernah ikut bertempur melawan Kelompok Maute di Butig dan Piagapo pada 2016 itu.
Di Irak, untuk menghadapi IED, tiap unit pasukan infanteri biasa dilindungi jammer anti-IED. Fungsi alat ini untuk mengacaukan frekuensi radio di area sasaran. Saat saya mengunjungi Marawi, beberapa serdadu mengaku belum pernah melihat alat ransel jammer anti-IED dioperasikan di garis depan Marawi.
Itulah salah satu penyebab mengapa Camarez menyebutnya taktik ISIS lewat IED "menyusahkan" pasukan pemerintah.
Filipina, di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte yang kencang bikin banjir darah Kota Manila lewat "perang melawan narkoba", memang salah satu negara di ASEAN yang paling lemah persenjataan militernya. Kehadiran eksodus kombatan ISIS yang terlatih dalam peperangan di Timur Tengah dan Asia Tengah kini menambah elemen kekacauan baru di kawasan selatan Filipina.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam