tirto.id - Aktivitas teror ISIS di selatan Filipina memasuki babak baru sejak pekan lalu. Mulai sekarang target mereka tak hanya menyerang pemerintah Filipina. Kini ISIS melancarkan serangan bersenjata plus propaganda terhadap Front Pembebasan Islam Moro (MILF)—salah satu pemberontak terbesar di Filipina dan Asia Tenggara.
Pada hari Senin kemarin (7/8), media resmi ISIS, Amaq, melansir ISIS telah melancarkan dua serangan ke Andavit dan Dato Salifu, dua kota terpisah di Provinsi Maguindanao. Aksi ini menewaskan 11 tentara MILF. Ini adalah kali pertama teror kepada MILF disiarkan Amaq.
Pelaku serangan adalah Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), yang dipimpin Esmail Abdulmalik alias Abu Turaifi. Kelompok ini mengidentifikasikan diri sebagai Negara Islam (IS)-Maguindanao.
Aksi teror terhadap MILF merupakan serangan balasan setelah dua komando pasukan MILF dari Batalion ke-118 pimpinan Abdulkarim Sinumagad dan Batalion ke-105 di bawah Haji Ali Omar memerangi dan menewaskan empat anggota ISIS di Pusaw, Maguindanao, Selasa pekan lalu (1/8).
Namun, bukan kali pertama itu saja ISIS di Filipina selatan menyudutkan MILF. Dalam wawancara di majalah Rumiyah, media resmi ISIS, edisi Juni lalu, amir ISIS, Isnilon Hapilon, menyebut MILF sebagai “ikhwanul murtadin” atau “saudara yang murtad”.
Di kalangan pemimpin MILF, genderang perang ini tentu tak bisa diterima. Sebab, ibu kandung yang melatih dan membesarkan dua dari tiga unsur besar penyokong ISIS—BIFF dan Kelompok Maute—adalah MILF.
Relasi MILF dan BIFF
BIFF adalah pecahan dari MILF. Dipimpin oleh Ameril Umbra Kato, mereka membangkang pada 2008. Musababnya: kecewa terhadap proses dialog damai antara MILF dan pemerintah Filipina. Kato adalah sosok yang disegani di MILF; ia bekas komandan di Batalion ke-105.
Pada Agustus 2014, BIFF memutuskan berbaiat kepada ISIS dan menjadikan Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai khalifah. Dugaan kuat BIFF berpindah ke ISIS dipengaruhi sosok Zulkifli bin Hir alias Marwan, anggota senior Jemaah Islamiyah dari Malaysia.
Dalam konteks hubungan dengan MILF, usai 2014 meski sudah berbaiat pada ISIS, hubungan antara kombatan MILF dan BIFF di akar rumput tetap terjaga, meski bukan hubungan formal.
Terbukti mereka saling membantu dalam Pertempuran Mamapasano pada 2015 yang menewaskan lebih dari 44 pasukan elite kepolisian Filipina.
Baca:
Usai Umbra Kato meninggal pada April 2015, BIFF hilang kepemimpinan. Imam Minimbang alis Uztaz Karialan mengajak sebagian anggota BIFF membentuk faksi baru, elemen BIFF yang tidak berafiliasi dengan ISIS.
Kepergian Imam Minimbang otomatis membikin tampuk kepemimpinan BIFF pendukung ISIS dikendalikan Esmael Abubakar. Sosok yang akrab disapa Komandan Bungos ini mengubah nama organisasi pada 6 April 2017 menjadi Jama’at al-Muhajirin wa al-Ansar bi al-Filibin (JMAF), meski sejatinya tetap disebut BIFF oleh kalangan masyarakat lokal.
Upaya Kelompok Maute Merekrut Keluarga Sang Jenderal
“Because blood is thicker than water—karena darah lebih kental ketimbang air,” ujar Dr. Safrullah Dipatuan, Kepala Bangsamoro Development Agency (BDA), secara lugas. BDA adalah lembaga konsorsium antara MILF dan pemerintah Filipina.
Jawaban Safrullah itu terlontar saat ditanya relasi antara Kelompok Maute dan keluarga Wakil Ketua MILF, Abdulaziz Mimbantas.
Safrullah adalah sosok tepat untuk mengisahkan relasi keduanya. Hampir 39 tahun ia bergabung dengan MILF. Ia kenal dekat dengan Abdulaziz Mimbantas.
“Saat beliau masih hidup, saya adalah kepala staf Alim (ustaz) Abdulaziz,” katanya kepada saya.
Safrullah tak menampik jika dua pendiri Kelompok Maute, Abdullah dan Omar Khayam Maute, adalah anggota MILF. “Mereka memang keluarga MILF, ayah mereka (Cayamora Maute) adalah anggota senior kami," ucapnya.
Sebelum meninggal pada 2012, Abdulaziz Mimbantas adalah orang kedua paling berpengaruh di MILF. Jabatannya adalah wakil ketua urusan militer. Ibarat jenderal, semua komando angkatan bersenjata MILF berada dalam kendalinya. Karena itulah ia begitu disegani.
Abdulaziz memiliki pertautan darah dengan keluarga Maute. Istri kedua Abdulaziz, Azizah Romato, adalah keponakan dari Farhana Romato Maute, ibu dari Abdullah dan Omar Khayam. Anak-anak Abdulaziz memangggil Abdullah dan Omakhayam sebagai paman.
Faktor ini yang membuat keluarga Maute merasa dekat dan memanfaatkan popularitas dari Abdulaziz Mimbantas. Kedekatan ini seringkali membuat grup teror ini kebal hukum. “Kedekatan itu terjadi karena Alim Abdulaziz dan Maute sama-sama berasal dari Butig. Kami sering melihat mereka datang ke rumah Alim Abdulaziz,” kata Safrullah.
Keterikatan darah itu semakin mengental setelah anak pertama keluarga Maute, Mohammad Khayam Otto Maute, menikah dengan putri Alim Abdulaziz, Adlia Mimbantas. Otto adalah anak pertama dari 12 anak yang dimiliki Cayamora dan Farhana. Sama seperti sang adik, Otto punya peran sebagai kepala operasi intelijen Kelompok Maute.
Meski memiliki keterikatan keluarga, Abdulaziz selalu berupaya menjaga jarak dengan Keluarga Maute. Sebabnya, kedekatan Romato Maute dan militer dan kans kuat ia sebagai intelijen.
"Namun Alim Abdulaziz tidak pernah mengajaknya dalam rapat-rapat MILF. Beliau tahu Keluarga Maute ini berbahaya," ucap Safrullah, lagi.
Kata Safrullah, ketika Grup Maute mendirikan kelompok Jamaah Tauhid Wal Jihad bersama Zulkifli bin Hir alias Marwan, Abdulaziz mewanti-wanti agar mereka tak bikin onar di Butig. Perintah ini dipatuhi hingga Abdulaziz meninggal pada Mei 2012.
Usai Abdulaziz meninggal, Maute mulai sering bikin masalah terutama setelah berhubungan dengan Sanusi, warga negara Indonesia, anggota Jemaah Islamiyah. Sanusi dikabarkan menikah dengan salah seorang putri dari Abdulaziz. Kehadiran Sanusi, ditambah propaganda gencar Grup Maute di kalangan anak muda keluarga Mimbantas, membuat banyak dari klan Mimbantas angkat senjata bersama mereka.
Saat militer menggelar operasi memberantas Grup Maute pada Mei 2016, dari 36 milisi ISIS yang tewas, satu di antaranya adalah Nawawie Mimbantas, anak bungsu Abdulaziz Mimbantas.
Pihak keluarga membantah kabar ini. Namun, Khair Hanafi, staff ahli Abdulaziz bagian humas, membenarkannya kepada saya.
"Saya yang menjemput mayatnya di rumah sakit. Dan itu betul anak Alim Abdulaziz. Anak itu masih muda, dia hilang arah setelah ayahnya meninggal. Semangat jihadnya begitu tinggi, dan itu dimanfaatkan oleh Maute," katanya.
Dalam daftar pencarian orang dari otoritas Filipina, ada dua orang dari klan Mimbantas yang ditengarai ikut bertemput di Marawi; mereka adalah Jer Mimbantas dan Mashouri Mimbantas.
Perlu dingat pula: dalam peperangan atau konflik bersenjata di Mindanao, unsur fanatisme kekeluargaan membuat kekacauan di selatan Filipina ini begitu awet. Itulah alasan mengapa Safrullah menyebut bahwa "Darah lebih kental daripada air."
"Di sini jika satu orang keluarga Anda terbunuh, itu sudah cukup untuk membuat semua anggota keluarga marah dan angkat senjata melawan Anda," kata Safrullah, merujuk ada motif dendam dari sebagian keluarga Mimbantas kepada militer Filipina yang lantas dimanfaatkan oleh Grup Maute.
"Anak Muda yang Sangat Tidak Sopan"
Maute sebetulnya tak hanya sukses memikat klan Mimbantas. Banyak pula anggota MILF lain yang bergabung. Di antara tokoh populer MILF yang bergabung dengan Maute adalah Abu Sumpa dan Ali Amintao alias “White Lawaan”. Dua orang ini adalah bekas komandan di Batalion ke-105 MILF.
Seorang perwira militer Filipina yang enggan diungkap identitasnya menyebut ada setidaknya 100 anggota MILF yang ikut membantu Kelompok Maute di Marawi. Dan mayoritas dari mereka adalah anak-anak muda, yang semangat jihadnya tinggi tetapi dihambat kelompok tua yang mengedepankan diplomasi politik ketimbang senjata.
Orang-orang Maute sukses mendekati pembangkang macam Umbra Kato dari BIFF, tetapi gagal total saat mendekat Abdullah Macapaar alias Komandan Bravo.
"Jika Komandan Bravo jadi bergabung, kita tidak bisa membayangkan kekacauan seperti apa yang akan terjadi," kata si perwira.
Bravo adalah pemimpin tertinggi di Brigade ke-303 MILF. Brigade ini menaungi tiga provinsi: Lanao del sur, Lanao del Norte, dan Maguindanao. Ia membawahi setidaknya 3.000 pasukan dan tinggal di Kamp John-Mack, Kauswagan, sebuah wilayah pesisir di Teluk Iligan yang berlokasi 50 kilometer dari Marawi. Brigade yang dipimpin Bravo dikenal pasukan elite MILF. Ia sendiri saat ini berstatus sebagai buronan kakap pemerintah Filipina.
Sama seperti Umbra Kato, Bravo adalah anak bengal yang sukar dikontrol termasuk oleh pemimpin MILF di Cotabato. Ia satu-satunya komandan yang menolak menyerahkan senjata guna memenuhi Perjanjian Menyeluruh tentang Bangsamoro yang ditekan MILD dan pemerintah Filipina pada 2014. Tapi beda dengan Umbra Kato, Bravo masih rela menahan diri untuk tak kembali angkat senjata melawan pasukan pemerintah.
Ketika konflik Marawi pecah, petinggi militer Filipina harap-harap cemas Bravo ikut serta terlibat dalam konflik. Ketakutan ini tentu beralasan. Pada 2013, Grup Maute mendatangi Bravo dan meminta izin untuk berlatih di Balindong, Lanao del Sur—wilayah yang masih dalam kekuasaan Batalion ke-102 di bawah Bravo. Ia setuju memberi izin, tetapi menugaskan seorang bawahan memantau pelatihan tersebut.
Di sisi lain, pada 7 Desember 2016, Haji Omar Amir, paman dari Bravo yang juga anggota pasukan Brigade ke-303, ditangkap di sebuah rumah keluarga Maute di Marawi. Dugaan kuat, Omar Amir terlibat dalam jejaring ISIS. Meski begitu Bravo membantah tudingan ini dan menyebut pamannya bukan bagian dari Kelompok Maute.
Beberapa hari setelah perang di Marawi, Kota Iligan, ibu kota provinsi Lanao del Norte—50 kilometer dari Marawi—dijaga ekstra ketat oleh pasukan pemerintah. Militer menduga Bravo akan menyerang Iligan dan beberapa lokasi lain di Lanao del Sur.
Bravo tak nyaman dengan tudingan tersebut dan mengeluarkan pernyataan resmi di akun media sosialnya:
“Mayoritas ulama mengatakan kami berada di jalur yang benar dan ISIS berada di sisi yang salah. Apa yang terjadi di Marawi hanya mengakibatkan kehancuran. Itu lazim terjadi seperti menimpa negara lain tempat bersarang ISIS. Dan kerusakan ini terjadi di daerah muslim.”
Mujib, seorang milisi di Brigade ke-303, bercerita kepada saya soal awal mula kekesalan Bravo kepada Grup Maute. Pada 2015, Abdullah Maute dan rekan-rekannya mendatangi Kamp John-Mack dengan maksud mengajak Bravo bergabung bersama mereka.
Bravo menolak ajakan tersebut karena masih percaya dengan kepemimpinan MILF.
"Anda tahu apa yang dijawab mereka kepada komandan?” kata Mujib, dengan gaya dramatis. “Abdullah mengatakan Bravo seorang munafik. Anak muda ini sungguh tidak sopan."
Bravo langsung bermasam muka, ujar Mujib. Dengan tegas Bravo mengusir rombongan Maute sembari menggerutu, “Kenapa saya harus bergabung dengan mereka jika saya guru yang dulu melatih mereka?!"
===========
Keterangan foto: Kondisi salah satu kamp pengungsian di Marawi, Filipina. Tirto.id/Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam