Menuju konten utama
Laporan dari Marawi:

Jejak Sniper yang Mengubah Jalan Perang di Marawi

Menjadi penembak jitu adalah wujud kejantanan ratusan anak muda di Mindanao.

Jejak Sniper yang Mengubah Jalan Perang di Marawi
Sniper tentara Filipina berjaga di sebuah bangunan di Marawi, Filipina. tirto.id/Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Siang, 24 Juni lalu, di kamp pengungsi Saguiran, Hashim, 8 tahun, berdiri di atas panggung. Ia tersipu malu saat ditanya seorang tentara kelak ingin jadi apa. Dengan parau ia menjawab: "Sniper". Pengungsi lain terpukau dengan berseru: "Whooo..."

Ketika si tentara bertanya lagi, "Di manakah kamu ingin bergabung jadi penembak jitu? SAF (Polisi), Scout Ranger (tentara), atau marinir?"

Dengan polos, Hashim menjawab: "MILF". Kondisi cair itu pun mendadak kaku.

MILF atau Front Pembebasan Islam Moro adalah kelompok pemberontak muslim terbesar yang berpusat di Mindanao, Filipina selatan. Jumlah milisinya mencapai 30 ribu dan didukung lebih dari ratusan ribu simpatisan. Pada 2013, MILF berdamai sementara waktu dengan pemerintah dan mengutamakan diplomasi politik ketimbang senjata.

Nama Hashim, si anak itu, diambil dari nama pendiri sekaligus pemimpin MILF, Salamat Hashim (meninggal akibat serangan jantung pada 2003). Hafidah, 32 tahun, ibu Hashim, berkata bahwa suaminya, Abdullah, anggota milisi MILF.

Ayah Hashim tewas di pertempuran Guindulungan, Provinsi Maguindanao, saat Hashim berumur sebulan. Sebelum meninggal, Abdullah berpesan agar anak lelakinya dididik jadi mujahid seperti dirinya, lebih spesifiknya menjadi sniper.

"Saya tidak pernah berharap menjadi sniper. Saya tidak ingin kehilangan dia, seperti saya kehilangan ayahnya. Namun, paman-pamannya selalu mengatakan, 'Kau akan jadi sniper' setiap hari padanya. Ini menyebalkan," ucap Hafidah.

Di Kota Cotabato, Arsyad, 29 tahun, bercerita soal tren di kalangan keluarga MILF yang menganggap machismo itu adalah saat anak-anak lelaki jadi sniper. Sehari-hari Arsyad bekerja sebagai pengemudi habal-habal alias ojek.

Ia mengaku aktif di organisasi MILF, jabatannya adalah salah satu staf Haji Murshid Mascud, seorang komandan batalion MILF di Maguindanao. Arsyad paham cerita ini karena ia ditugaskan dalam kaderisasi. Setiap sebulan sekali ia mendatangi komunitas anak muda di Cotabato, menjadi penyambung antara generasi tua dan generasi muda.

"Saya banyak berjumpa dengan orang tua yang punya pengalaman membela MILF. Mereka berharap dan menitipkan anak-anaknya ke saya untuk jadi seorang sniper. Ini lucu. Karena ini adalah masa damai. Dan semua orang menahan diri. Jika pun perang kembali terjadi, menjadi sniper atau tidak itu wewenang amir kami," ujarnya kepada saya.

Unit sniper bukan hal baru dalam konflik di Filipina selatan yang berjalan lebih dari setengah abad. Hanya jenis senjatanya yang berbeda.

Dulu sniper memakai senjata berkaliber tradisional 7,62mm dan kelewat lawas seperti M21 atau M14 bikinan Amerika Serikat yang lazim dipakai dalam Perang Vietnam.

Sering kali pemberontak memakai senjata lebih canggih seperti SR-25, M-24, SG-550, atau McMillan Tac. Tipe senjata ini biasa muncul di film-film Hollywood dan jadi senapan standar pasukan AS. McMillan Tac bahkan membikin Chris Kyle membunuh 160 orang ketika bertempur di Irak. Kisah Kyle difilmkan industri Hollywood dalam American Sniper pada 2004 lalu.

Bagaimana senjata AS ini bisa didapat MILF?

Jenis senjata ini memang tidaklah jamak dipakai karena didapat dari rampasan tentara Filipina yang tewas. Sebagai mitra terdekat AS di Asia Tenggara, Filipina selalu diberi kesempatan mencicipi senjata-senjata AS.

Kata Arsyad, banyak anak muda yang tertarik menjadi penembak jitu karena stok senjata sniper di Mindanao dalam beberapa tahun terakhir memang berlimpah, terutama ketika banyak pabrik senjata rumahan kini sudah lebih canggih dan mampu memproduksi senjata sniper macam Barrett kaliber 50.

Dibuat pada 1982, Barrett adalah senapan sniper semiotomatis pertama di dunia. Sampai sekarang Barrett jadi senapan standar sniper pasukan AS, khususnya NAVY SEAL, pasukan elite Angkatan Laut AS. Berkaliber besar membuat Barrett dikenal senjata antimaterial karena mampu menembus kendaraan lapis baja.

Dulu di Filipina, peredaran Barrett amat sedikit. Polisi dan militer Filipina memang memiliki senjata ini, tetapi jumlahnya tak diketahui. Dugaan kuat memang sedikit karena jarang ditampilkan saat gelaran parade militer. Salah satu sebabnya: beban anggaran untuk membelinya terlalu berat. Harga Barrett memang cukup mahal. Satu unitnya mencapai 750 ribu peso atau Rp198 juta. Harga satu peluru kaliber .50 mencapai 500 peso atau Rp130 ribu.

Sama seperti Filipina, militer Indonesia pun tak punya banyak senjata Barrett. Dalam satu pemberitaan, Kopassus, elite tempur TNI Angkatan Darat, hanya memiliki 20 pucuk Barrett.

Klaim Arsyad soal peredaran senjata Barrett yang menjamur di Mindanao adalah benar belaka. Pada 2015 lalu, salah satu pensiunan perwira intelijen Kepolisian Filipina, Kolonel Rodolfo Mendoza, menunjukkan sebuah video pabrik senjata yang terindikasi milik MILF di Desa Katol, General Salipada Pendatun, Maguindanao.

Dalam video itu lusinan senapan sniper Barrett kaliber .50 tipe M107 baru saja dibuat. Proses pembuatannya dari pengikiran receiver (bolt, pelatuk, dan lubang magasin), pembubutan laras, hingga ujicoba senjata.

Informan Philstar di dalam militer Filipina menyebut MILF sebetulnya sudah mendapatkan prototipenya guna menduplikasi senjata Barrett itu cukup lama. Mereka mencurinya dari tentara dan marinir yang dibunuh saat peperangan di Kota Kapatagan dan Matanog pada 2000.

Rigoberto D. Tiglao, mantan juru bicara Malacanang, yang dekat dengan presiden ke-14 Filpina Gloria Macapagal-Arroyo, dalam kolomnya di Manila Times berkata "tidak heran" dengan sikap MILF yang mulai memproduksi Barrett.

"Saya tidak menganggap ini mengejutkan. Pada 1996, ketika saya mengunjungi Kamp Abubakar, (Ketua MILF) Murad Ibrahim menunjukkan senjata peluncur RPG, ia membual kepada saya bahwa senjata itu dibuat oleh pengrajin MILF. Murad menjelaskan "kemandirian" adalah bagian penting dari strategi jangka panjang MILF."

Di kalangan pejuang MILF, senapan Barrett lazim disebut "Barit".

Penggunaan Barrett yang meluas bisa dilihat dari bagaimana pejuang MILF sering memamerkan senjata ini saat bertemu para jurnalis foto. Barrett kini telah menggantikan granat berpeluncur roket (RPG) yang biasanya dipanggul saat hendak bergaya di lensa kamera pada dekade 1990-an hingga 2000-an.

Isu Barrett jadi omongan di Manila karena sebagian pejuang MILF terlibat dalam insiden Pertempuran Mamasapano pada Januari 2015 yang menewaskan lebih dari 44 personel Pasukan Khusus (SAF) dari kepolisian—jika di Indonesia unit ini lazim dikenal sebagai Detasemen Khusus 88.

Keterlibatan MILF tersebut melanggar perjanjian damai yang disepakati sejak 2013. Laporan investigasi Dewan Penyelidik Polisi Nasional Filipina menyebut 28 korban terindikasi mengalami luka fatal akibat senjata kaliber .50. Indikasi kuat mengarah kepada Barrett M82 yang dimiliki MILF.

Penggunaan Barrett di Mamasapano mengubah jalan pertempuran di Filipina selatan. Pasukan MILF hanya menempatkan diri sejauh satu kilometer dari pasukan SAF. Dengan Barrett, mereka mengeksekusi pasukan komando satu per satu. Pasukan SAF tak berdaya karena jangkauan senjata mereka terlihat amatir dibandingkan Barrett. Jangkauan senapan standar SAF, AR-15 Armalite, hanya 500-600 meter, sedangkan Barrett M82 bisa sampai 1,8 kilometer.

Infografik HL Indepth Marawi

Meremehkan tapi Kesulitan saat Bertempur di Marawi

Seorang penembak jitu yang terlatih, Letnan Kolonel Harold Cabunoc, komandan Batalion Infanteri Angkatan Darat ke-33, menilai senjata duplikat Barrett buatan lokal bikinan MILF tak dapat diandalkan terutama soal presisi. Ia sesumbar sudah mencoba banyak Barrett pemberontak yang disita oleh polisi dan militer.

"Ada ketidaksempurnaan dalam penempatan baut, ruang peluru, dan laras. Hanya senapan Barrett asli yang memilikinya," kata Cabunoc kepada saya. Ia mengambil kesimpulan bahwa Barrett lokal bisa bisa membunuh dan melukai, tapi hanya dalam jarak 30 sampai 60 meter.

Kolonel Markton Abo, juru bicara divisi Infanteri ke-6, menilai Barrett lokal bikinan pemberontak hanya terlihat keren dan sangar. Pemberontak, katanya, asal pasang dan ngawur saat mengepaskan teropong pada Barret lokal.

"Teropong juga punya spesifikasi. Ada teropong untuk menembak jarak jauh dan teropong untuk jarak rata-rata. Saya mencoba banyak senapan Barrett yang disita. Kesimpulannya: semua cerita yang menyatakan banyak pasukan kami yang terbunuh akibat penembak jitu musuh dengan menggunakan senapan Barrett hanyalah rumor," katanya.

Namun, fakta di lapangan tidaklah demikian. Pasukan Filipina saat ini gampang ringkih menghadapi para penembak jitu ISIS di Marawi.

Kesuksesan strategi sniper ISIS tak terlepas dari kedekatannya dengan Kelompok Maute, Kelompok Abu Sayyaf, dan Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), yang menjalin koneksi secara tak langsung dengan MILF, ibu kandung mereka.

Tak ayal transfer ilmu dan senjata pun terjadi. "Hubungan ini tidak dilakukan secara resmi karena kami tidak setuju dengan perjuangan mereka," ucap Nas Pulindo, seorang Politbiro MILF di Cotabato. "Mereka mungkin memanfaatkan relasi keluarga dan kekerabatan sebagai bekas pejuang MILF."

Di Mamapasano, MILF bahkan bertempur berdampingan bersama BIFF melawan tentara Filipina. Kala itu SAF dan AFP sedang memburu Zulkifli Abdhir alias Marwan, buronan kakap Filipina dan Biro Investigasi Federal (FBI) yang ditengarai mendapat perlindungan dari BIFF. Operasi penangkapan dilakukan pada 25 Januari 2015.

Marwan berhasil dinetralisir. Saat hendak membawa jenazah Marwan, SAF tiba-tiba mendapat serangan mendadak dari Komando ke-105 MILF yang dipimpin oleh Ustaz Zacaria Guma. Namun, pihak MILF menilai SAF-lah yang terlebih dulu memulai tembakan.

  • Baca artikel soal pertempuran yang menewaskan Zulkifli bin Hir alias Marwan, jihadis Jemaah Islamiyah dari Malaysia yang jadi "penghubung dan pemersatu" para kelompok pendukung ISIS di Filipina selatan: Betapa Susah Melumpuhkan Kombatan ISIS di Marawi

Di Lanao del Sur, provinsi yang kini bergejolak sejak ISIS merebut Marawi, Kelompok Maute mendapatkan pelatihan intens soal sniper di Kamp John-Mack Brigade 303 yang dipimpin Abdullah Macapaar alias Comander Bravo.

Suhardi, wakil direktur Universitas Bhayangkara, yang nyaris 20 tahun tinggal di Filipina selatan sebagai diplomat mengatakan kepada saya bahwa ia sudah memprediksi perang akan berlangsung lama saat konflik Marawi pecah.

"Maute Group itu berlatih sniper dan RPG di Butig sampai enam bulan. Mereka betul terlatih dan mempersiapkan sniper," ujarnya.

Strategi sniper juga jadi komponen utama dalam Kelompok Abu Sayyaf.

Salah seorang pejabat militer yang enggan namanya disebut mengatakan bahwa salah satu faksi Kelompok Abu Sayyaf, yakni Isnilon Hapiilon, menyiapkan 40-an sniper untuk bertempur di Marawi.

"Ada 40 orang sniper dari Basilan. Dan ini belum termasuk dari faksi lain seperti Maute Grup, BIFF, atau AKP (Ansar al-Khilafaf Philippines). Anda bisa bayangkan betapa banyak sniper di Marawi saat ini," ucapnya.

"Satu sniper mungkin punya operasi area 1-5 bangunan," katanya, lagi.

Sejak pekan ketiga perang berlangsung, para milisi ISIS memusatkan pertahanan di satu titik dari empat desa: Bangolo, Lilod, Raya Madaya, dan Marinaut. Lokasi ini adalah pusat kota dan pusat bisnis di seberang sungai Agus.

Banyak bangunan bertingkat tiga hingga lima lantai di sana. Topografi ini memudahkan sniper menembaki tentara yang berusaha menyeberangi jembatan Bayabao, Desarip, dan Mapandi.

"Seorang penembak jitu bisa melumpuhkan pergerakan kesatuan kompi, bahkan sebuah batalion," kata Mayor Jenderal Rolando Bautista, Komandan Divisi Infanteri I.

Petaka pahit bagi tentara Filipina terjadi 9 Juni lalu ketika 13 marinir meregang nyawa saat hendak menyeberangi Jembatan Mapandi. Banyak dari mereka tewas karena penembak jitu.

Untuk bisa menembus pertahanan sniper yang menjaga jembatan, militer Filipina mengerahkan banyak pasukan dari batalion infanteri mekanis yang dilindungi GKN FS100 Simba atau Cadilac Cage 4x4. Terkadang kendaraan tempur FMS-M113 juga dipakai.

Seorang prajurit mengeluhkan strategi ini kadang tak efektif karena lebar jalan di Marawi sangat sempit, berkisar 7-12 meter.

Di sisi lain, musuh memiliki senapan mesin kaliber .50 dan RPG yang acap kali menembus serta menghancurkan kendaraan lapis baja. Untuk melindungi serdadu yang bertarung di garis depan, alhasil pertempuran sniper versus sniper pun terjadi. Sebagaimana ketika saya menyaksikan langsung pertempuran itu di Jembatan Mapandi.

Baca juga artikel terkait MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam