Menuju konten utama
Laporan dari Marawi:

Selamat Datang di Marawi: 'Kota Hantu' Penuh Peluru

Hari-hari di Marawi kini cuma ada desing peluru, derum truk militer dan kendaraan lapis baja, sampah di mana-mana, rumah dan toko tanpa isi.

Selamat Datang di Marawi: 'Kota Hantu' Penuh Peluru
Kondisi bangunan yang luluh lantak setelah perang antara tentara Filipina dan ISIS di Marawi, Filipina. tirto.id/Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Pemberitaan yang minim soal krisis Marawi oleh media di Indonesia bukan berarti di sana kini tidak terjadi apa-apa. Sampai tulisan ini diturunkan, perang masih berkecamuk. Pasukan Filipina masih kepayahan menghadapi ISIS. Kematian tetap menghantui prajurit Filipina dan warga sipil. Sampai hari Minggu lalu (6/8), total prajurit yang tewas mencapai 122 orang dan warga sipil 45 orang. Ke depan angka ini sangat mungkin bertambah.

Marawi masih jadi kota mati. Rumah-rumah masih kosong lantaran penduduk setempat—biasa disebut Maranao—mengungsi. Tidak ada aktivitas apa pun selain baku tembak. Tentara atau polisi berlalu-lalang menenteng senjata. Marawi masih muram dan mencekam.

"ISIS belum ditaklukkan. Doakan agar perang ini segera berakhir," kata Ismael Albinner, seorang serdadu yang menemani saya ke garis depan lewat pesan pendek sesaat sebelum saya pulang ke Jakarta, pekan lalu.

Saya sempat mengunjungi Marawi pada 22 Juli lalu. Kedatangan saya tepat 60 hari pendudukan ISIS di Marawi. ISIS memulai keonaran ini pada 23 Mei lalu. Evakuasi besar-besaran warga sipil berselang sesudah ISIS berkuasa di Marawi. Hampir 200-an ribu penduduknya kini terluntang-lantung.

Ini adalah ironis. Padahal suasana ibu kota Provinsi Lanao del Sur ini adalah kota yang indah, dikelilingi perbukitan dan udara sejuk, dengan ketinggian di atas 700 mdpl, terletak di tepian Danau Lanao—danau terbesar kedua di Filipina.

Namun kedamaian dan keindahan itu kini berganti jadi kengerian. Marawi lebih mirip seperti kota hantu. Sampah berserakan di mana-mana. Banyak pintu dan jendela beberapa toko dan rumah terbuka. Pecahan kaca berserakan.

Dari luar, kita bisa melihat tak ada lagi barang berharga. Terkadang alang-alang tumbuh subur di dalam puluhan rumah yang tak berpenghuni itu. Di luar, jalanan lengang. Sesekali hanya melintas truk militer atau kendaraan lapis baja.

Sejak perang berkecamuk, tidak sembarang orang bisa masuk ke Marawi. Mereka yang ingin masuk ke dalam kota mesti mendapatkan surat izin car pass dari pihak militer.

Pusat komando militer operasi gabungan terletak di Perkantoran Gubernur Lanao del Sur, Matampay, di utara kota. Ini lokasi teraman di Marawi—biasa disebut Zona Hijau (Green Zone).

Gerbang selalu tertutup dan dijaga secara bergilir oleh polisi atau tentara. Terlebih di samping perkantoran ini terdapat barak prajurit Filipina.

Tetapi, jangan samakan Green Zone di Marawi seperti di Bagdad, ibu kota Irak. Pos penjagaan di sini tak dilindungi karung-karung pasir. Tidak ada pula beton anti-bom. Pagar di sekeliling kompleks berbentuk teralis. Orang dari luar mudah menembaki kami yang ada di dalam. Nasib apes ini salah satunya dialami Adam Harvey, koresponden ABC, stasiun televisi berita dari Australia. Sebutir peluru kaliber 5.56 dari senjata M-16 nyasar dan menancap ke lehernya.

Kompleks ini tak sepenuhnya aman. Jika ditarik garis lurus, jarak antara Gubernuran dan wilayah ISIS di seberang Sungai Agus, tepatnya Raya Madaya, hanya 1,6-an kilometer.

Itulah sebabnya mayoritas wartawan di Marawi tak pernah melepaskan atribut rompi antipeluru, plus berdiri lama-lama di halaman depan kantor seperti yang dilakukan Harvey.

"Di sini Anda bisa mati gara-gara apes terkena peluru nyasar, dan itu sungguh tidak lucu," kata Divina, jurnalis lokal yang menemani saya di Marawi.

Saya tiba di Kompleks Green Zone sekitar pukul 09.00. Setelah berbincang dengan juru bicara Pasukan Tempur Gabungan Letkol Jo-ar Herrera, saya dipersilakan pergi ke garis depan di Jembatan Mapandi bersama rombongan wartawan lain. Ada dua wartawan asing lain yang diizinkan ikut selain saya: keduanya wartawan Jepang.

Dari kantor gubernur, kami diarahkan menuju ke barak marinir sementara di Mapandi Memorial Center, di Jalan Sultan Omar Dianalan, Lilod Saduc. Jaraknya sekitar 2 kilometer. Herrera menugaskan dua sersan bersenjata lengkap untuk ikut mengawal dan mengantar kami ke lokasi karena kami tertinggal rombongan.

Usai keluar dari kantor gubernur, ketika si sersan mengarahkan mobil berbelok ke arah selatan, saya mulai sedikit was-was. Panduan dari aplikasi Google Maps menunjukkan, untuk menuju Lilod Saduc, kami bisa memutar lewat utara melalui Jalan Campo Nao, Jalan Bacol, dan tiba di Jalan Sultan Omar Dianalan.

Namun, si sersan pilih jalan lain. Ia mengarahkan mobil ke selatan menuju perempatan Sarimanok, lalu berbelok melewati Rumah Sakit Amai Pakpak, dan berhenti sejenak di depan Taman Lanao. Jarak dari lokasi ini ke medan pertempuran hanya 700 meter. Suara rentetan senapan mesin jelas sekali terdengar. Dan benar saja: si sersan ternyata kebingungan.

Hampir saja ia mengarahkan mobil ke Jalan Insinyur Sacar Basman. Jika saja mobil terus melaju, kami akan langsung tembus ke Jembatan Bayabao—salah satu jembatan vital lain yang jadi rebutan antara kombatan ISIS dan pasukan Filipina. Untungnya seorang tentara keluar dari sebuah rumah dan memperingatkan kami serta mengarahkan ke rute yang benar.

"Saya baru dua hari di sini," kata si sersan dengan enteng sambil terkekeh.

Jalan Sultan Omar Dianalan membentang dari utara ke selatan Kota Marawi. Melewati empat desa: Lilod Saduc, Saduc, Lilod Madaya, dan Mocado Colony, serta melintasi Jembatan Mapandi. Lokasi jembatan ini dari barak marinir hanya 400 meter. Tak ayal baku tembak lebih terdengar keras di sini.

Awalnya, Komandan Batalion Tim Pendarat Marinir 7, Letkol Bill Pasla, menjanjikan para wartawan yang berjumlah 15 orang diberi akses melewati Jembatan Mapandi, masuk ke area ISIS di seberang Sungai Agus, dan menyaksikan pertempuran utama dari jarak dekat.

Agar bisa ke sana tentu mesti menaiki kendaraan lapis baja. Bagaimanapun, masih banyak milisi ISIS berjaga di sekitar area jembatan. Mereka bersembunyi di reruntuhan gedung, menembaki pasukan yang hendak menyeberang dan masuk ke arah mereka.

Itu adalah rute yang mengerikan.

Infografik HL Indepth Marawi

PADA 10 Juni—atau enam pekan sebelumnya—perang sengit berkecamuk antara pasukan marinir dan milisi ISIS yang berlangsung hingga 14 jam. Korban tewas dari pihak marinir mencapai 13 orang dan 40 lain luka-luka. Ketika hendak menyeberang, para marinir malang ini langsung dihujani tembakan sniper, granat berpeluncur roket (RPG), dan bom molotov. Tentu saja kami tak ingin nasib nahas itu menimpa kami.

Namun, rencana ini buyar seketika. Tiga kendaraan lapis baja GKN Simba, yang telah disiapkan untuk wartawan, langsung bergegas meninggalkan markas, berbelok ke arah Bunderan Sultan Omar Dianalan, lurus menembus Jembatan Mapandi.

Semakin jauh, deru suara mesin hilang dan berganti rentetan baku tembak yang semakin intens terdengar. "Ini di luar prediksi," ujar seorang perwira. "Kontak tembak sengit terjadi dan harus mengirimkan bantuan di garis depan. Kami mohon maaf."

Letkol Bill Pasla mengajak wartawan ke titik pertahanan terdepan pasukan Filipina di tepi Sungai Agus. Untuk menuju ke sana tidaklah aman. "Benar Anda ingin ke sana?" ujar si sersan pengawal berkali-kali kepada kami.

Sebagai kota perbukitan, kontur tanah di Marawi bergelombang, apa lagi di daerah tepian sungai. Semakin mendekat ke sungai, tanah semakin curam. Ini otomatis membuat pandangan musuh di seberang sungai bisa leluasa mengintai kami.

Itulah mengapa ketika melewat Jalan Maruhom, tentara Filipina berlarian lalu sejenak berlindung di tepi jalan, mencegah sniper membidik mereka. Beberapa hari sebelumnya, Antonio Jojo Sescon, seorang wartawan lokal, nyaris saja tertembak sniper. Peluru melesat hanya lima sentimeter dari kepalanya.

Untuk menetralisir ancaman sniper, militer Filipina melakukannya dengan kontra-sniper pula.

Saya diberi kesempatan mendatangi sarang pasukan khusus Marine Scout Sniper Rifle (MSSR) di tepi Sungai Agus. Sebagai seorang sniper, Nielboi jewason, marinir yang saya temui, cukup susah mengidentifikasi musuh di tengah perang kota. Katanya, musuh acapkali leluasa berpindah tempat dan muncul di lokasi yang tak terduga.

"Bombardir dari udara yang kami lakukan membuat mereka harus berpindah-pindah tempat," ucapnya.

Ketika mengintip dari lubang teropong milik Nielboi, tepian Sungai Agus di kubu ISIS memang sudah hancur total. Banyak bangunan sudah rata tanah, bikin sulit mereka bersembunyi. Para sniper ISIS pun mundur 100 meter, berlindung di bangunan-bangunan lebih tinggi.

Hari itu adalah hari yang berbeda dari biasanya. Peperangan berlangsung sengit. Jeda baku tembak hanya 5-10 detik. Hening sejenak. Lalu kembali terdengar letupan senjata di antara dua kubu.

Saya dikejutkan pelbagai suara deru tembakan. Terkadang tembakan tunggal: DOR. DOR. Kadang pula senapan mesin tanpa jeda selama beberapa detik: TRATATATATATA. Sesekali suara tembakan sniper terdengar beda; berbunyi seperti laser: CIUW CIUW CIUW.

Selain letupan senjata, suasana bising memenuhi udara dari pengeras suara di masjid.

Setiba di garis depan, saya kaget mendengar ceramah seseorang dari pengeras suara di sebuah masjid di Saduc. Saya tidak paham isi ceramah tersebut karena dalam bahasa lokal. Tapi nadanya menggebu-gebu; mengingatkan saya pada ceramah Jumat tetapi dengan suasana di tengah medan perang. Itu terdengar aneh, tentu saja.

Belakangan saya tahu itu adalah rekaman suara Walikota Marawi, Usman Gadamra. Militer sengaja memutarnya saat ISIS memberikan perlawanan hebat. Pesan yang diteriakkan sang walikota adalah membujuk milisi ISIS menyerahkan diri dan membebaskan para sandera.

"Sering juga suara itu langsung dari kalangan militer muslim atau alim ulama," kata Letkol Bill Pasla.

Di Marawi, saya bertemu dengan Bobby Lagsa, jurnalis Rappler, situsweb berita yang berbasis di Filipina dan punya kantor biro di Jakarta. Bobby bukan berasal dari Marawi. Ia tinggal di Cagayan de Oro, tiga jam perjalanan darat dari Marawi. Ia sudah meliput krisis ini hampir dua bulan. Setiap hari, ia menggeber sepeda motornya pulang-pergi Iligan-Marawi. Di Iligan, ia tinggal menumpang di rumah rekan sejawatnya sesama jurnalis.

Menurutnya, hampir setiap hari terjadi baku tembak. "Kadang berlangsung sengit, kadang juga dalam sehari hanya ada beberapa kontak tembak," ucapnya.

Jadi, pertanyaannya: Bagaimana mungkin ISIS di Marawi bertahan cukup lama, terutama dari segi logistik amunisi?

Bobby berkata, ISIS sudah mempersiapkan perang ini secara matang.

Sebelum terjadi perang, Marawi adalah salah satu kota yang tidak aman di Pulau Mindanao. Kepemilikan senjata di sini begitu luas, katanya. Hampir setiap rumah memiliki senjata dan amunisi yang cukup.

"Saya pikir banyak senjata dan amunisi mereka itu didapat setelah perang berlangsung," ujar Bobby.

Tepat pukul 16.12, hujan deras mengguyur Marawi. Lamat-lamat letupan kontak tembak semakin berkurang sampai akhirnya hening sama sekali.

Keesokan harinya, saya mengetahui: Di garis depan tempat kami menyaksikan peperangan dari jarak dekat itu, sembilan tentara Filipina tewas dan 41 lain luka-luka.

Saya terdiam cukup lama.

Baca juga artikel terkait MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam