tirto.id - Nama Pondok Pesantren Darul Amal, Babelan, Kabupaten Bekasi, mendadak tenar sesudah serangan milisi ISIS di Kota Marawi, Filipina selatan. Maklum di pondok inilah pemimpin Grup Maute, Omar Khayam, sempat tinggal dan mengajar selama dua tahun.
Omar adalah menantu dari pemilik ponpes, KH Madrais Hajar. Omar menikah dengan Minhati Madrais pada 2009 di Kairo, Mesir. Pasangan itu kuliah di Universitas Al-Azhar. Setelah lulus, keduanya memutuskan menikah dan pulang ke Indonesia pada 2010 hingga 2011.
Tidak betah, Omar memboyong anak dan cucu-cucu Madrais ke Filipina. Nasib mereka di tengah konflik Marawi belum jelas benar—begitu yang dirasakan Madrais.
Pada 11 Agustus, saya mendatangi Pesantren Darul Alam. Penjaga masjid menyarankan, jika ingin bertemu dan wawancara dengan Madrais, saya bisa mencegatnya usai salat Jumat. Jika didatangi ke rumah, biasanya ia akan menolak. Alhasil, saya pun menunggu.
Usai salat Jumat, sampai masjid lengang, Madrais baru beranjak dari zikir dan berbalik pulang. Awalnya ia menolak dan menjauh. Namun, ketika saya berkata hampir 18 hari di Filipina selatan dan membawa sebuah kabar terkait anak, menantu, dan cucu-cucunya di Marawi, ia pun berbalik antusias. Ia mempersilakan saya duduk dan wawancara pun berjalan di emperan masjid.
“Bagaimana perkembangan terakhir di sana?"
"Sebelum Anda tanya, saya juga mesti tanya dulu Anda. Soalnya saya juga di sini gelap sekali. Bagaimana kabar dengan Omar Khayam?"
Ia hanya manggut-manggut ketika disodorkan foto menantunya yang dikabarkan tewas ternyata masih segar bugar. Dalam foto itu, Omar Khayam tersenyum memamerkan luka tembak di dada kiri yang tembus hingga punggung sudah kembali pulih.
“Saya pernah dengar kabar ini dari berita,” ujar Madrais. “Tapi, kan, dari berita tidak tahu benar atau tidak. Dulu juga, 2016, ketika penyerangan pertama (di Butig), diberitakan ia meninggal, tapi ternyata, eh muncul lagi."
Ketika saya mengatakan luka tembak Omar Khayam bukan disebabkan militer Filipina melainkan oleh anak buahnya sendiri yang kecewa dengan kepemimpinan sang menantu, Madrais pun meyakini narasi ini bisa saja terjadi.
"Pasukannya banyak,” ujarnya. “Saya yakin, di antara dia dan saudara-saudaranya saja pasti ada sedikit perselisihan.”
Sesudahnya situasi pun mencair. Madrais lebih terbuka terutama soal aktivitasnya yang pernah berkunjung ke Marawi.
Salah seorang informan saya, seorang petinggi Front Pembebasan Islam Moro (MILF) mengatakan pernah melihat Anda berkunjung ke Marawi dan bertemu dengan besan Anda, Romato Maute.
[Catatan: Meski tak terlibat langsung, ayah dari Abdullah dan Omar Maute disebut-sebut sebagai pemikir Grup Maute.]
Iya, pernah. Tahunnya lupa—(di akhir wawancara, ia menyebut tahun 2012). Tapi, pada waktu itu, belum ada apa-apa, belum seramai sekarang. (Grup Maute adalah sayap milisi organisasi Khilafah Islamiyah Movement. Aksi teror Maute mulai populer sejak 2013).
Janji Omar, waktu perkawinan itu, mau tinggal di sini. Tahu-tahu, baru dapat satu tahun, dia permisi pulang. Katanya, ada pernikahan keluarga. Setelah satu tahun, dua tahun, kok enggak pulang? Saya penasaran. Karena itu saya ke sana supaya jelas. Ingin menegaskan kalau mau pulang, ya nanti kita rencanakan bangun rumah. Kalau enggak, ya sudah.
Saya tanya ke dia, “Kenapa enggak mau kembali?” Susah. Katanya, “enggak mau.”
Anak saya (Minhanti Madrais) juga enggak bisa saya paksa ikut pulang karena terikat dengan dia. Dan, lagi pula, sudah ada anak (cucunya). Setelah pulang dari sana, mungkin karena merasa malu dan bersalah mengkhianati perjanjian, jadinya ya enggak pulang lagi (ke sini). Sampai sekarang enggak ada kabar lagi.
Baca juga: Grup Maute dalam Perang Marawi, 'Anak Muda Tak Tahu Diri'
Informan saya yang sama menyebut Anda datang bersama delapan orang lain. Dan salah satu di antaranya Sanusi?
[Catatan: Sanusi alias Ishaq adalah anggota senior Jemaah Islamiyah asal Tegal. Pernah mendapat pelatihan di Kamp Jabal Quba bersama pemimpin Kelompok Abu Sayyaf, Khadaffy Janjalani. Pada 2004, Sanusi bertempur di Poso dan kabur ke Mindanao pada 2006. Di Filipina, Sanusi menikahi anak Abdul Aziz Mimbantas, wakil ketua MILF. Sanusi tewas ketika operasi penangkapan oleh polisi pada 21 November 2012 di Mindanao State University, Marawi.]
Saya enggak kenal dia. Dia itu orang Indonesia yang kenal dekat dengan Omar, bukan? Saya tahunya di koran. Lagi pula, ketika di Indonesia, hubungan Omar masih terbatas. Enggak ada itu tamu-tamu dari luar yang datang ke sini.
Namun, setahu saya, semasa kuliah di Kairo, ia memang dikenal dekat dengan orang Indonesia terutama orang-orang Sulawesi. Ya mungkin bisa jadi dari situ kenal Sanusi. Tapi saya tidak kenal dia.
Baca juga: Orang-Orang Indonesia yang Bikin Keruh Konflik Marawi
Ketika terjadi pertempuran di Butig, dikabarkan ada tiga WNI perempuan yang terjebak di sana. Dan disebut-sebut tiga perempuan ini relasi dari Minhati Madrais, anak Anda?
Saya tidak tahu itu. Usai terakhir bertemu, saya tidak pernah komunikasi lagi. Mungkin mereka juga sudah malu karena tidak bisa tepati janji (pulang ke sini).
Berapa hari Anda di Marawi? Aktifitas yang dilakukan apa saja?
Cuma empat hari. Di sana juga enggak ke mana-mana. Cuma jalan-jalan ke kota, ke masjid. Itu saja. Tujuan saya ke sana cuma coba rayu mereka untuk mau pulang. Setelah itu saya enggak pernah jumpa lagi Omar, anak saya, atau besan saya lagi.
Sudah berapa kali Anda berjumpa dengan besan Anda?
Dua kali. Sebelum jumpa di sana, ayah dan ibu Omar (Romato dan Farhana) datang untuk lamaran. Ibu dan bapak Omar datang ke sini. Kalau soal ke Indonesia, setahu saya, Ibu Omar memang sering ke Indonesia. Dia, kan, pebisnis dan sering beli barang di sini.
Ketika di Indonesia, Anda sempat meminta Omar mengajar di pesantren Anda?
Iya, betul. Namun, mengajar bahasa inggris saja dulu. Karena dalam Islam pun, kan, ada banyak faksi-faksi (organisasi). Ada Muhammadiyah. Ada NU. Karena itu, saya sengaja minta dia satu tahun di sini mengajar bahasa Inggris saja. Maksud saya, nanti ilmu tafsir dan aqidah yang didapat dari Al-Azhar (diajarkan) belakangan saja.
Kemana saja Omar selama dia di Indonesia?
Terkadang dia ke Jakarta. Kadang ke Bandung. Kadang juga ke luar kota. Tapi, saya tidak tahu begitu detail dia kemana-mana dan bergaul dengan siapa saja.
Selama di Indonesia, perdebatan apa yang sering Anda lakukan dengan Omar?
Kami paling sekali berbeda dalam masalah merokok. Kalau saya ajak tahlil, dia selalu ngedumel, "Malas sekali saya, Pak, orang tahlil malah ngerokok." Alasannya itu aja.
Saya tahu dia memang tidak melakukan tahlil tapi alasan yang sering diungkap ke saya, ya, merokoknya. Mungkin dia tidak enak karena kalau memperlihatkan fiqih dan aqidah, bertentangan dengan saya.
Bagaimana diskusi soal politik Islam dan jihad, gagasan apa saja yang muncul dari pemikiran Omar?
Kita belum pernah bicara soal itu di sini. Obrolan kita sebatas rutinitas biasa saja. Dan dia pun enggak ada memunculkan gagasan-gagasan keras di sini.
Malahan, dulu, dia sempat saya kasih kesempatan untuk jadi penceramah di masjid ini. Dan kotbahnya pun bagus. Bicara akhlak, akidah. Di sini dia enggak ada aneh-aneh.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam