Menuju konten utama

Dendam Keluarga yang Disuburkan oleh Perang Marawi

Akibat ulah yang bikin Marawi porak poranda, klan Maute kini jadi sasaran kesal warga, dan bahkan jadi target aksi balas dendam kematian.

Dendam Keluarga yang Disuburkan oleh Perang Marawi
Ilustrasi konflik di Marawi. tirto.id/Gery

tirto.id - Rasa lega menyelimuti penduduk Kota Marawi. Kota ini sudah sepenuhnya direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Namun, rasa syukur itu tak dirasakan oleh Saima Maute, 34 tahun, warga Desa Ilean, Pawak, Kota Saguiran.

Pertengahan Oktober lalu, tiga hari usai Isnilon Hapilon dan Omarkhayam Maute tewas, Saima mengirim pesan pendek lewat Facebook.

"(emoji menangis) Tolong kami. Keadaan masih memburuk. Kami dibatasi. Tidak bisa bebas bepergian. Teror terus menimpa keluarga kami (emoji menangis)."

Saat ditanya ihwal kejadian apa yang menimpanya, Saima tak membalas. Pesan yang saya kirim tampaknya belum ia baca. Pada 25 Juli, saya berjumpa Saima di kamp pengungsi Saguiran, sebuah kota kecil sejauh 12-an menit dengan berkendaraan dari Marawi.

Perkenalan bermula ketika seorang jurnalis lokal menyarankan saya mengontak Saima. Menyandang titel marga "Maute", yang menyempil di nama belakang, bikin Saima dan 56 orang lain hidup kesusahan. Hidup mereka terisolasi akibat dituding macam-macam, terutama tuduhan terlibat aksi teror yang digagas Maute bersaudara, Omarkhayam dan Abdullah.

Itulah mengapa tiada jurnalis lokal yang mau mengangkat kisah Saima.

"Terlalu berbahaya. Militer akan mencurigai Anda. Semua polisi dan tentara mencari mereka (keluarga Maute)," saran seorang wartawan Inquirer, yang mengklaim bahwa tentara memukul rata semua orang bermarga Maute adalah teroris.

Setiba kami di Kamp Saguiran, Saima dan saudara iparnya, Aisyah, langsung masuk mobil tanpa diperintah. Ia meminta mobil melaju lebih jauh meninggalkan kamp secepatnya.

"Saya tidak nyaman. Banyak tentara dan polisi di sini. Kita ngobrol di tempat lain saja," katanya dalam bahasa Inggris terbata-bata. "Saya datang ke sini dari kampung dengan sembunyi-sembunyi."

Mobil melaju ke arah utara menjauhi Marawi menuju Kota Iligan, sebuah kota besar pusat bisnis dan logistik di bagian utara Mindanao. Sepanjang rute, kami melewati banyak pos pemeriksaan militer, salah satunya pos terbesar di Jembatan Pantar.

Belasan tentara terlihat berjaga. Saima gusar. Beberapa kali ia berganti posisi duduk. Jemarinya terus-menerus memelintir kertas. Ia khawatir, saat melewati pos jaga, semua orang akan disuruh menunjukkan kartu identitas.

"Saya akan kena masalah," katanya.

Beruntung, seorang tentara penjaga ternyata teman dekat supir kami. Hanya dengan bertegur sapa ringan, mobil yang kami tumpangi lolos dari pos penjagaan.

Mobil menepi di satu warung kecil, berjarak lima kilometer dari Jembatan Pantar. Ibu beranak dua ini bercerita, ia tinggal bersama keluarganya, berjumlah 120-an orang, di kampung Ilean. Ada 30 rumah, satu rumah ditempati dua hingga tiga keluarga.

Kehidupan ekonomi mereka biasa saja, mayoritas berdagang buah dan sayuran di Pasar Banggolo, Marawi.

"Hasilnya lumayan," kata Aisyah, yang bisa membawa uang sekitar 500-1000 Peso atau Rp130 ribu-Rp260 ribu per hari. Saudara-saudaranya yang lebih muda memilih jadi buruh migran ke Arab Saudi.

Namun, semua ini berubah sejak konflik Marawi meletus. Ada 56 orang pada keluarga ini yang memakai marga Maute; 36 di antaranya orang dewasa. Pergerakan dan kebebasan mereka terbatas. Nekat artinya bahaya.

Contoh itu menimpa Moca Maute, 22 tahun. Ia ditangkap di Bandara Ninoy Aquino, Manila, sebelum terbang ke Jeddah. Lain lagi dengan Jalanie Maute. Pemuda berumur 19 tahun ini ditangkap saat melintasi pos penjagaan di Jembatan Pantar. Butuh upaya keras dari keluarga melobi tentara agar Jalanie dibebaskan.

"Bagi kami uang 50 ribu Peso (Rp13 juta) untuk menyogok itu terlalu berat," keluh Saima.

Saima mengeluh bahwa para pria keluarga mereka acapkali dicurigai sebagai anggota Grup Maute, kelompok teror pemicu konflik Marawi.

Baca juga: Grup Maute, "Anak Muda Tak Tahu Diri'

Klan Maute Membentuk Grup Milisi

Sebelum bergabung dalam panji hitam Negara Islam (ISIS), Omarkhayam dan Abdullah membentuk milisi berbasis klan pada 2012. Di Mindanao, Filipina selatan, suatu hal lazim bila setiap keluarga berpengaruh memiliki milisi bersenjata.

Keluarga Maute, bagian dari kaum elite Mindanao, bertambah kuat posisinya setelah berdiri Kelompok Maute. Ayah mereka, Cayamora Maute, adalah seorang insinyur, dan ibu mereka, Farhana, terlibat dalam proyek-proyek konstruksi dan properti Mindanao.

Farhana punya relasi kekeluargaan yang erat dengan Ibrahim Macadato, mantan Wali Kota Butig. Butig adalah kota kecil, 60 kilometer dari selatan Marawi. Di kota inilah Kelompok Maute lahir dan semakin membesar, serta punya kamp pelatihan militer. Puncaknya, Februari dan November 2016, Kelompok Maute menguasai Balai Kota Butig dan memicu perang selama dua minggu.

Saima mengisahkan, keluarga Maute di Pawak memang memiliki tali darah dengan Keluarga Maute di Butig. Tapi hubungan ini jauh; empat generasi di atas melalaui garis canggah Saima, yaitu Mocagul Maute, yang dikucilkan oleh keluarga besar dan diusir hingga tinggal dan beranak-pinak di Pawak.

"Hingga kini kami tidak pernah berhubungan dengan mereka. Secara strata sosial pun jauh. Dengan kekayaan, mereka lebih dihormati, dan kami tidak," ucap Aisyah, menimpali.

‌Saima menyodorkan surat bercap pemerintah kota Baloi, Lanao del Norte. Isi surat ini menyebutkan, meski bermarga Maute, Saima "bersih dan sama sekali tidak terlibat" Kelompok Maute.

Surat ini sesekali kali ampuh melewati pos penjagaan, tetapi lebih sering tidak. Idealnya, surat macam ini dikeluarkan oleh otoritas lebih tinggi, misal dinas kependudukan provinsi atau militer, bukan pemerintah lokal.

"Ingin sekali kami menghilangkan nama ini, tetapi tidak bisa," kata Saima.

Baca juga: Selamat Datang di Kota Marawi, 'Kota Hantu' Penuh Peluru

Rido: Perang antarklan di Mindanao

Namun, betapapun Saima dan klan Maute lain berhubungan jauh dengan keluarga militan Maute, ia sesungguhnya sulit menghindari ancaman nyawa. Pangkalnya adalah kerisauan lebih besar terhadap budaya Rido yang mengakar kuat di Filipina selatan. Saima memprediksi, saat perang berakhir, cepat atau lambat ancaman pembunuhan akan menimpa keluarganya.

"Semua orang di Pawak memahami bahwa kami tidak berhubungan dengan teroris. Namun, setelah keluar Pawak, itu akan jadi soal. Nyawa kami jadi sangat terancam," katanya.

Pepatah bahwa darah lebih kental daripada air terserap dalam sifat kesukuan di Mindanao. Fanatisme puak ini kadang berujung kekerasan dan dendam tiada akhir. Perang panjang inilah yang disebut Rido.

Ilustrasi mengapa Rido bisa berbuntut panjang seperti ini:

Jika Anda membunuh kakak saya, dendam saya akan ditimpakan ke seluruh keluarga Anda. Jika pun saya tidak bisa membunuh Anda, saya akan berusaha membunuh kakak Anda, orangtua Anda, sepupu Anda atau saudara jauh Anda, yang mungkin Anda tak mengenalnya atau pernah bersua dengannya. Asalkan marga dia sama dengan Anda, sosok malang ini jadi target pembunuhan saya.

Di kalangan muslim Mindanao, pertengkaran keluarga semacam ini bisa gampang naik eskalasinya menjadi perang kecil dan melibatkan banyak pengikut.

Ditopang betapa mudahnya mendapatkan senapan bersenjata, perang klan ini bak perang antarnegara dengan penggunaan senjata berat seperti ranjau darat, mortir, senjata RPG, atau sniper. Polisi dan tentara biasanya enggan ikut campur dan membiarkan sesama muslim Filipina saling bantai.

Sialnya bagi Saima, dibanding suku-suku lain, apa yang disebut "budaya Rido" ini mengakar kuat pada suku Maranao, yang penduduknya mendiami pesisir kota di sekitar Danau Lanao seperti Marawi, Butig, Malabang, Piagapo, dan Saguiran.

Baca juga: Kelompok Militan Mindanao yang Tak Selamanya Akur di Marawi

Infografik HL Indepth Marawi pasca ISIS

Hasil riset Asian Foundation tahun 2007 menemukan, dari 1930-an hingga 2005, terlacak 1.266 kasus Rido di Mindanao dengan total korban mencapai 5.500 jiwa. Diperkirakan, 127 kasus Rido baru bertambah setiap tahun. Dan provinsi Lanao del Sur, tempat bernaung etnis Maranao, adalah penyumbang terbanyak kasus Rido, dengan 377 kasus.

Macmod R. Muti, Wali Kota Saguiran, membenarkan keluarga Saima dalam posisi terancam. Penduduk lokal di Saguiran mengenal dekat dan paham bahwa Keluarga Comagul Maute tidak berafiliasi dengan Kelompok Maute di Butig.

"Selama mereka masih di Saguiran, mereka akan aman karena kami melindungi mereka. Namun, akan jadi berbahaya saat mereka bepergian ke luar. Orang tak bisa membedakan mana keluarga Maute yang berasal dari Pawak dan Butig," katanya.

Kebencian etnis Maranao kepada keluarga Maute tak bisa dibendung, khususnya di kalangan milisi Front Pembebasan Muslim Moro (MILF). MILF adalah salah satu milisi terbesar di Mindanao dengan kekuatan pasukan mencapai 30 ribu orang. Cayamora Maute semula bagian dari MILF. Di sisi lain, Farhana, istri dari Cayamora, memiliki garis darah dengan Komandan Perang MILF, Abdul Aziz Mimbantas, yang wafat pada 2011.

Tapi kalangan MILF memandang Cayamora Maute adalah "antek oknum militer" untuk memperkeruh kondisi di Mindanao. Seorang pejabat intelijen militer Filipina pernah mengakui kepada Rappler bahwa mereka sering bekerja sama dengan Romato Maute.

Khair Hanafi, bekas staf Abdul Aziz Mimbantas, kepada redaksi Tirto berkata bahwa Mimbantas sempat meminta Romato menjaga jarak dengannya.

"Beliau paham Romato betul-betul berbahaya," katanya.

Beberapa bulan sebelum konflik meletus, Khair memergoki pertemuan antara Komandan Pasukan Mindanao Barat, Letnan Jenderal Carlito Galvez, dengan Farhana Maute di sebuah hotel di Kota Cotabato.

Menurut Khair, pertemuan itu "ironis" karena status keluarga Maute saat itu sudah populer bikin keonaran di Piagapo dan Butig serta mengklaim sebagai otak di balik aksi pengeboman di Kota Davao.

"Coba Anda pikir, untuk apa seorang jenderal berjumpa dengan mereka pada saat kondisi panas-panasnya?" kata Khair.

Di kalangan internal MILF, penangkapan Cayamora Maute di Davao, beberapa hari setelah konflik Marawi, dan lantas dinyatakan meninggal di penjara pada 28 Agustus lalu adalah "skenario militer" untuk melindungi asetnya itu.

"Dia waktu itu dicari-cari seluruh orang di Maranao. Jika dia pergi mengungsi bersama kami, sudah mati dia," ujar Khair, yang pernah 10 tahun tinggal di Indonesia.

Dendam terhadap Klan Maute

Untuk memahami lebih mendalam soal Rido dari apa yang sudah ditinggalkan akibat perang atas nama panji Negara Islam di Marawi, mungkin yang paling baik adalah menangkap ekspresi psikologis warga Maranao terhadap kematian Isnilon Hapilon dan Omarkhayam Maute, dua panglima ISIS di Marawi.

Orang Maranao meyakini penyebab kebodohan yang bikin Kota Marawi kini tinggal reruntuhan puing adalah ulah keluarga Maute.

Seorang perempuan bernama Bakwit Maranal, yang terlihat kumal, rambut acak-acakan dan tanpa kerudung, di depan layar teve mengatakan dengan nada puitis bahwa kematian Omar Maute dan Isnilon Hapilon adalah "sebuah keadilan." Seorang Maranao lain berharap agar kedua pria itu membusuk di neraka. Kematian kedua orang itu sedikitnya memuaskan murka penduduk.

Seorang pria lain lantas meminta seluruh Maranao menyatakan Rido untuk seluruh klan Maute. Adegan ini tercantum dalam pemberitaan saluran televisi lokal beberapa pekan lalu. Ekspresi kemarahannya merangkum perasaan kolektif penduduk Kota Marawi saat ini.

Saat berkunjung ke Marawi, bulan Juli lalu, saya sempat berjumpa dengan Utsman, 29 tahun, seorang pengungsi di Saguiran. Ia marah besar kakak dan adiknya tewas terkena peluru nyasar akibat perang Marawi. Sebagai seorang kombatan, ia berjanji akan membalas kematian itu. Katanya, upaya membalas dendam adalah upaya mengembalikan martabat yang telah direnggut.

"Martabat berada dalam jantung setiap Maranao yang menghormati dirinya sendiri."

Baca juga artikel terkait MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam