tirto.id - "Macet bikin stres, perang enggak," seloroh Umelto Labetubun lewat pesan pendek kepada saya. Kamis sore lalu ia mengeluh saat harus menghadapi kemacetan parah di Jakarta. Sosok yang akrab disapa Alto ini dalam perjalanan ke kantor Tirto.
Ia berangkat dari Menteng ke Kemang lewat Jalan Kuningan. Kami sudah ingatkan bahwa pembangunan jalan bawah tanah Mampang akan membuatnya terjebak macet yang bisa bikin senewen siapa pun yang melintas.
"Pakai taksi saja dulu," kata Alto. "Switched to Gojek," imbuhnya, 15 menit kemudian. Setiba di Kemang, ia geleng-geleng kepala.
Alto lewat akun Facebook-nya sering membagikan informasi orisinal soal apa yang terjadi di Irak. Sudah lebih dari dua tahun ia tinggal di sana. Bekerja sebagai konsultan keamanan membuatnya punya akses dan sering hilir mudik dalam operasi militer dengan pasukan Irak. Ia sudah berkecimpung di bidang ini selama nyaris 17 tahun.
Tak hanya Irak, Alto pernah menetap di Afganistan, Yaman, dan Sudan Selatan. Proses panjang ini membuatnya paham soal keruwetan di Timur Tengah saat ini. Berikut petikan wawancara redaksi Tirto dengan Alto.
Posisi ISIS di Irak dan Suriah kini tinggal menunggu waktu, banyak wilayah sudah direbut kembali. ISIS di Marawi juga sudah dikalahkan. Mungkinkah kejadian sama di Timur Tengah dan Marawi terjadi pula di Indonesia?
Marawi punya struktur di situ. Ada kombatan dan konstruksi society-nya juga mendukung karena mereka memang lama berkecimpung dalam konflik. Ya sama seperti Timur Tengah-lah. Ketika hal macam ini nyambung, lalu dideklarasikan, ya jadi mudah. Saya pikir di Indonesia, peluangnya tetap masih ada, tapi sangat kecil.
Dulu sebelum ISIS muncul, intelijen menganggap yang masih berbahaya itu Al-Qaeda. Organisasi ini laten, cuci otaknya bagus. Sedangkan ISIS terlalu cepat secara struktur. Struktur dia secara militer gampang dihancurin.
Karena melawan struktur itu gampang. Tapi melawan paham itu yang susah. Ke depan, pola Al-Qaeda akan masih tetap sama: mereka tetap memainkan ideologi dan perang taktik asimetris. Beda dari ISIS, yang memainkan ideologi dan penguasaan teritorial, seperti di Marawi, misalnya. Karena itu, ketika ISIS hancur dan Al-Qaeda berkembang lagi di Indonesia, penguasaan teritorial seperti di Marawi sepertinya tidak akan terjadi.
Bagaimana Anda melihat para simpatisan ISIS di Indonesia?
Sebetulnya enggak butuh ISIS. Karena bibit Islam radikal sudah ada sejak lama. Dimulai pada 1942-1956 lewat fase pertama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Fase kedua, Komando Jihad, tahun 1980-an saat mereka kembali dari Perang Afganistan.
Dan fase ketiga, ya dimulai dari 1999 sejak konflik Maluku meletus. Bermula dari Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jamaah pimpinan Ja'far Umar Thalib, lalu merembet ke Kompak, Laskar Jundullah, Jamaah Islamiyah, sampai Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang booming baru-baru ini.
Mereka mendukung ISIS sebetulnya, cuma terlihat biar keren. Pakailah logo tauhid itu. Ya intinya biar lebih mendunia. Di sisi lain, biar mereka bisa mendapatkan dana bantuan dari luar.
Setahu Anda, bagaimana Posisi kombatan Indonesia dalam struktur ISIS di Irak dan Suriah?
Di dalam ISIS itu ada strata. Strata tertinggi itu dari Chechnya karena mereka militan dan punya pengalaman tempur. Kedua dari Eropa.
Status kemampuan kombatan Indonesia itu paling bawah, karena secara politik enggak punya gaung internasional. Ada sekitar 40 ribu orang pasukan dari hampir 100 negara.
Dan posisi simpatisan ISIS dari Cina pun masih jauh punya kasta lebih tinggi daripada kita. Kasta Indonesia itu sama seperti Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka. Maka muncul istilah PBSI. Posisi kombatan ISIS Indonesia tidak begitu dihargai di sana.
Kenapa banyak orang tertarik bergabung dengan ISIS?
Sebetulnya banyak orang bergabung bukan karena gaji, tapi karena ideologi. Aku selalu bilang, mereka itu bukan Islam. Tapi ideologi yang ditawarkan ISIS memang membawa-bawa Islam. Ia sebetulnya hijack Islam untuk dipakai menarik dukungan.
Lagi pula, korban paling banyak ISIS adalah orang muslim. Masjid juga dirusak lebih banyak daripada jumlah gereja. Di Mosul, gereja malah dipakai untuk racik bahan peledak. Dia pikir gereja oleh (pasukan) koalisi enggak bakalan dibom.
Tapi mereka hebat. Terlepas dari benar atau salah, orang-orang ini jenius. Dan kita harus akui itu. Jenius ini dalam artian: pertama, ISIS di Mosul itu punya pabrik bahan peledak yang paling canggih dan besar di dunia. Jadi mereka belajar buat bahan peledak yang tak bisa terdeteksi. Dan ilmu itu begitu dipraktikkan dalam waktu dua minggu sudah tersebar ke mana-mana: Afganistan, Libya, hingga semua daerah kekuasaan mereka.
Kedua, propaganda mereka luar biasa. Mereka belajar dari banyak kekurangan Al-Qaeda. Mereka tahu betul ketimbang nonton video ceramah kakek tua macam Ayman al-Zawahiri (penerus kepemimpinan Al-Qaeda setelah Osama bin Laden tewas), orang akan lebih tertarik menonton film propaganda seperti gim perang Call of Duty.
Jadi mereka paham psikologi massa. Kenapa mereka paham itu? Karena mereka adalah pentolan-pentolan tentara Saddam Hussein. Di strata paling tinggi ISIS itu hampir 80 persen adalah eks pejabat militer di era Saddam.
Mereka bertemu di Kamp Buqqa pada 2003-2004. Abu Bakar al-Baghdadi dan pentolan Saddam ketemu di sana. Di situlah mereka memikirkan bagaimana mengubah franchise Al-Qaeda di Irak menjadi Islamic Istate. Cara jenius pertama yang mereka bikin: mengganti nama Al-Qaeda dengan Islamic State. Karena dengan memakai simbol Islam di situ mereka ingin menampakkan diri universal; beda dari Al-Qaeda.
Itulah kenapa aku bilang kadang-kadang kita harus menghargai musuh—dalam tanda kutip—supaya kita bisa ketahui kekurangan dan kelebihannya.
Sebetulnya dari pemantauan, kekuatan militer ISIS itu hanya 40 persen, 60 persen sisanya kekuatan propaganda. Maka, wajar ketika mereka diserang habis-habisan, ISIS cepat mundur.
Di medan pertempuran apa yang membuat pasukan Irak kesusahan melawan ISIS?
Bom. Saya pernah datang ke sebuah rumah di Daquq, dekat Hawija, base ISIS terakhir di Irak. Di rumah itu dipasang 20 bahan peledak. Canggihnya, ada satu bom dipasang di frame foto. Pemicunya kabel kecil, gitu.
Saya masih ingat cerita ini. Ada satu rumah. Rumah ini sudah dianggap bersih oleh tentara. Lalu masuklah yang punya rumah. Dua hari kemudian, satu keluarga pemilik rumah itu meninggal semua. Ternyata satu bom dipasang di pipa penyucian air yang tentu saja tak terdeteksi.
Mereka memasang detonator di bawah pipa wastafel. Di pipa itu dipasang pelampung yang jadi trigger untuk detonasi. Ketika air menetes, pelampung naik, dan langsung meledak. Canggih.
Untungnya, ilmu memasang bom belum sampai ke Indonesia. Kalau apa yang dilakukan simpatisan ISIS di sini kelasnya masih rendahan. Kalau cuma bikin bom itu, kan, anak-anak di Maluku juga jago.
Ilmu-ilmu ISIS ini didapat dari mantan-mantan tentara Irak yang bergabung dengan mereka.
Banyak jenderal militer membelot melawan penguasa seperti di Irak juga terjadi di Suriah lewat pasukan pembebasan Suriah (FSA). Anda melihat pola ini rawan terjadi di Indonesia kah?
Kalau menurut aku, kecenderungan itu ada tapi masih sangat kecil. Sebab tentara kita itu tidak homogen. Di Papua, misalnya, ada tentara dari Jawa dan Kalimantan. Begitupun di Jawa; tidak semuanya tentara dari Jawa. Jadi semuanya masih bercampur baur.
Tapi, aku pikir, yang mesti diwaspadai adalah bahaya infiltrasi propaganda ISIS bagi orang Indonesia sekarang targetnya bukan sipil, tetapi prajurit TNI dan Polri—itu sasarannya.
Kenapa harus TNI dan polisi? Karena yang punya pengetahuan dan akses ke senjata serta bahan peledak itu cuma TNI-Polri. Jadi kenapa pos polisi diserang tapi tentara dipuja-puja itu tujuannya memecah belah. Karena negara ini akan jadi negara kacau kalau TNI dan polisi berkelahi.
Kalau misalkan di 4-5 titik lokasi saja polisi dan TNI dipancing berantem, itu bisa pecah merembet ke seluruh indonesia. Jadi jangka pendek hancurin Indonesia ya cuma itu.
Secara kualitas, pasukan Irak itu OK enggak, sih? Mosul direbut ISIS dengan amat mudah dan cepat. Dan saat merebutnya, pasukan Irak butuh waktu dan korban yang begitu banyak.
Ah parah. Mereka itu enggak punya nasionalisme, jadi saling serang. Ego divisi dan ego batalion begitu tinggi. Antara tentara dan polisi. Pasukan elite ISF (Iraq Special Operations Forces) dan Federal Police. Aku pernah diantar satu jenderal lewati check point yang dijaga kopral dari ISF. Enggak dikasih lewat. Padahal pangkatnya Jenderal, lho.
Mereka itu saling berantem, jadi kualitasnya parah, fighting spirit parah; beda jauhlah sama kita.
Dan sekarang, akhirnya, mereka pecah. Prediksi aku, kemungkinan besar Irak terpecah jadi 3-4 negara. Kelompok selatan yang didominasi Syiah kemungkinan jadi 1-2 negara. Di tengah, di sekitar Provinsi Anbar, Nineveh, dan Salahudin yang mayoritas Sunni jadi satu. Dan di utara, yang dikuasai Kurdi, kemungkinan bisa jadi dua negara.
Perpecahan ini menurutku bukan hal luar biasa. Karena konsep demokrasi tidak bisa diterapkan di Timur Tengah. Pondasinya enggak ada. Dialog dari bawah ke atas itu enggak ada. Semua orang ingin pertahankan kekuatan mereka, dan menekan orang lain.
Kalau kita perhatikan di Timur Tengah, perubahan kepemimpinan itu cuma dua: bapak ke anak atau revolusi. Tidak ada namanya mengundurkan diri. Contohnya Ali Abdullah Saleh di Yaman: dia mundur tapi sekarang balik lagi. Atau Masoud Barzani, Presiden Irak-Kurdi, baru-baru ini memutuskan mundur.
Apa yang sebetulnya terjadi di Timur Tengah?
Jadi salahnya kita terlalu melihat segala sesuatu sebagai agama. Bagi aku, orang-orang itu harus pergi ke sana, oh ternyata di sana bukan agama lagi. Karena perang terjadi antarsesama orang muslim, sesama orang Arab. Harus dibedah lagi interest mereka untuk perang itu apa. Jawaban yang aku dapat: mereka perang untuk pertahankan kekuasaan dari klan dan keluarga.
Jadi, kalau pernah pergi ke sana pasti bingung karena nuansanya sungguh enggak Islami. Gadis-gadis banyak yang enggak jilbaban, merokok di depan kita. Teman-temanku orang Irak, enggak ada yang puasa. Jadi sebetulnya isu agama bukan isu penting di Timur Tengah.
Bagi kita masih seksi. Padahal Timur Tengah udah berubah, mau jadi lebih terbuka. Kita malah mau jadi tertutup dan lebih anti-kebhinekaan.
Apa yang dilihat dari seorang anak Ambon yang punya pengalaman berkonflik seperti Anda terhadap konflik Timur Tengah?
Karena pengalaman konflik Ambon, aku lebih terbuka lihat perbedaan. Kalau menurut aku, perubahan di Timur Tengah memang sudah saatnya, dengan atau tanpa konflik. Timur Tengah itu terlalu protektif. Karena interest-nya adalah menjaga kepentingan keluarga penguasa. Negara di Timur Tengah terutama negara Arab itu dipimpin satu keluarga saja, enggak ada yang lain. Orang lain enggak boleh masuk.
Zaman dulu, mereka masih bisa kontrol semua, termasuk informasi. Mungkin seperti kita di zaman Soeharto lewat UU subversif. Tapi sekarang, kan, info enggak bisa dikontrol. Dibendung satu channel, orang bisa pakai VPN (Virtual Private Network).
Jadi, ada perubahan paradigma dari generasi muda untuk ingin berubah dengan role model, baik positif atau negatif, dari negara lain, seperti negara Eropa dan Asia, mungkin. Keinginan perubahan ini tidak bisa dibendung. Itu sebabnya Arab Saudi berubah. Tahun lalu di Saudi, perempuan bisa ikut pemilu. Tahun depan sudah boleh bawa mobil sendiri. Perubahan ini-itu enggak bisa dibendung lagi. Susah karena informasi itu alat propaganda paling kuat, kecuali kalau mereka mau jadi negara isolasi total seperti Korea Utara.
Sudah hampir 6 tahun sejak Arabian Spring meletus. Dan konflik di beberapa negara seperti Libya, Yaman, dan Suriah tak kunjung reda. Orang-orang di sana selama ini memandang Arabian Spring seperti apa?
Sebetulnya, orang-orang lokal, khususnya akar rumput menengah ke bawah, rata-rata tak memikirkan itu. Seperti Yaman, misalnya, yang paling berdarah. Kebetulan aku di Yaman pada 2011 saat Arabian Spring terjadi. Orang Yaman itu sekarang lebih memikirkan bagaimana dia bisa hidup.
Memang pada 2011 ada semangat mengganti Abd Rabbuh Mansur Hadi. Turun rezim diharapkan kondisi negara makin positif. Namun kenyataannya tidak. Mereka menyesal karena konflik terjadi. Penduduk Yaman menyesal mereka merasa dikucilkan dan ditelantarkan dunia internasional.
Kebingungan dan perpecahan ini sama seperti saat kita menuntut Soeharto turun. Tapi setelah turun, hari berikutnya bingung. Terlihat negara terpecah jadi banyak kubu. Ada kubu Habibie, ada kubu Amien Rais, dan kubu lain.
Kondisi keruwetan Arabian Spring ini juga sebetulnya mirip seperti 1998 di Indonesia. Yang buat kita tidak konflik itu karena kita tidak punya senjata. Proliferasi senjata itu enggak banyak di sini. Bayangkan di Yaman: 58 per 100 orang itu punya senjata. Di Irak: hampir 35 persen punya senjata.
Yang kedua, kita negara kepulauan, jadi pergerakan orang dari satu pulau ke pulau lain masih bisa dikontrol. Harus terbang atau pakai kapal. Dua hal ini membuat kita masih diselamatkan.
Ketiga, nasionalisme kita masih kuat. Kita masih bisa mau mati untuk negara; di Timur Tengah, susah. Contoh, penguasa Uni Emirat Arab itu paspampres-nya saja mantan Blackwater (pasukan bayaran). Ini dilakukan karena mereka tidak percaya sama tentaranya sendiri.
Bagaimana Anda melihat Suriah ke depan pasca-Raqqa yang sudah direbut kembali dari ISIS?
Suriah enggak kembali seperti dulu. Secara de facto sudah ada dua negara. Sudah ada demarkasi: sisi Sungai Efrat bagian barat dan timur. Barat dikuasai pemerintah Suriah, Rusia. Sisi timur dikuasai Kurdi, AS.
Menurutku, AS dan Rusia sudah bicara. OK, perang kita jaga sampai sini. Kesepakatannya, Bashar al-Assad tetap jadi presiden, tapi AS tetap mengontrol wilayah mereka dan tak saling ganggu.
Pekerjaan Anda sebagai konsultan keamanan sebetulnya apakah menuntut peran tersembunyi, menghindari publisitas, misalnya?
Sebetulnya aku baru mulai menulis cerita-ceritaku di Facebook dan jadi viral itu bulan Mei kemarin. Pas posting gambar dari Mosul. Selama ini sebelumnya aku enggak pernah bicarakan soal pekerjaanku di depan publik. Cuma aku pikir saat ini Indonesia sudah darurat setelah gaduh-gaduh apa yang terjadi di Pilkada Jakarta.
Jadi, yang ceritaku dari Mosul adalah bagian dari kontribusilah sebagai anak negeri. Paling tidak, aku bisa berbagi cerita dan pengalaman langsung dari lapangan, apa yang sebetulnya terjadi di Timur Tengah.
Bekerja di negara konflik menurutku biasa saja. Toh kalau soal ancaman sih di mana-mana sama. Bagiku ancaman terbesar di Jakarta bukan terorisme, tapi kecelakaan berkendara bermotor. Kemungkinan kita mati karena bom dan ditabrak ojek jauh lebih tinggi ditabrak ketimbang bom. Hehehe.
Aku udah 17 tahun bekerja di bidang ini. Paling tidak mengertilah yang mana mesti dilakukan dan enggak. Tapi risiko kalau buat aku paling tinggi itu kena bom dan diculik. Kalau saat perang ya gampang. Kita bisa tahu ketika dengar bunyi peluru, pasti paham dari mana trayektori peluru berasal hingga bisa berpikir proses mitigasi.
Tapi jujur saja, lebih enak tinggal di Mosul ketimbang Jakarta, enggak ada macet!
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam