Menuju konten utama

Dana Kemanusiaan yang Masuk Kantong Kelompok Bersenjata Suriah

Sebagian dana bantuan kemanusiaan dari Inggris hingga Australia rupanya mengalir ke grup ekstremis di Suriah, Pakistan, Somalia, hingga Filipina. Bagaimana bisa?

Dana Kemanusiaan yang Masuk Kantong Kelompok Bersenjata Suriah
Milisi Jabhat Al-Nusra. REUTERS/Stringer.

tirto.id - Inggris ingin turut berperan dalam mengamankan situasi di Suriah. Pada tahun 2013 mereka juga terlibat pembentukan Polisi Pembebas Suriah (FSP) oleh Koalisi Nasional Suriah selaku basis oposisi utama rezim Bashar al-Assad. Pihak yang mengelolanya adalah Adam Smith International (ASI) yang berkantor di Kota Gaziantep.

Selama beroperasi dari 2014 hingga sekarang, FSP tidak menenteng senjata. Operasinya dirancang tidak ofensif. Didukung donor dari banyak lembaga internasional, mereka mengadakan pelatihan, menjalankan misi perekrutan orang lokal, memberi bantuan teknis, manajemen dana, hingga bantuan peralatan keamanan pendukung. Penempatannya di wilayah yang dikuasai pihak oposisi, antara lain di Provinsi Aleppo, Idlib, dan Daraa.

Salah satu peraturan pokok FSP adalah tidak diperbolehkan ikut campur dalam sistem pengadilan lokal. Akibat area penempatan FSP dikuasai beragam faksi bersenjata, maka FSP juga tak boleh mendukung pelaksanaan hukum dengan cara yang ekstrem.

Lebih penting lagi, FSP dilarang keras menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok bersenjata. ASI menerima dana bantuan dari warga sipil Inggris yang ingin uangnya benar-benar dimanfaatkan FSP untuk membangun kembali Suriah yang terkoyak-koyak akibat perang sipil sejak lima tahun lalu.

Baca juga: Pengungsi asal Suriah Rindu Kampung Halaman Meski Hancur

Sayangnya, fakta yang ditemukan BBC Panorama dan dipublikasikan pada Senin (4/12/2017) menunjukkan indikasi sebagian dana sumbangan justru diberikan untuk kelompok bersenjata.

Panorama melaporkan sejumlah petugas FSP di Provinsi Aleppo menyerahkan sebagian gajinya, secara tunai, untuk kelompok bersenjata Nour al-Din al-Zinki yang mengontrol area tersebut. Sebenarnya pada Juli 2016 ASI sudah memperingatkan bahwa 20 persen dari gaji anggota FSP diserahkan paksa untuk membiayai pengamanan yang disediakan Nour al-Din al-Zinki. Hanya saja belum ada upaya maksimal untuk mengatasi hal itu karena kuatnya kekuasaan grup tersebut.

Nour al-Din al-Zinki punya rekam jejak yang buruk menurut Amnesty International. Gerakan ini, bersama Divisi ke-16, Front Levant, Ahrar al-Sham, dan Front al-Nusra, diketahui terlibat penculikan dan penyiksaan terhadap wartawan dan pekerja kemanusiaan di Aleppo saat dikuasai pemberontak pada 2014 dan 2015. Bersama Brigade Abu Amara, kelompok ini juga dituduh mengeksekusi korban yang diklaim sebagai homoseks dengan cara dilempar dari atas bangunan.

Baca juga: ISIS Runtuh, Al-Qaeda Siap Bangkit Kembali

Panorama membuka dokumen ASI lain yang menunjukkan nama-nama yang sudah meninggal, plus nama fiktif, yang tercantum sebagai penerima gaji FSP. Satu kantor FSP di Koknaya, Idlib, seharusnya diisi 57 petugas yang biasa digaji ASI. Namun saat staf ASI berkunjung ke kantor tersebut pada September 2016, tak ada satu pun petugas yang tampak. Setelah itu barulah diketahui kasus serupa terjadi di daerah-daerah Suriah lainnya.

Panorama juga menemukan FSP menyediakan dukungan administratif kepada pengadilan yang dijalankan secara ekstrim oleh cabang al-Qaeda, Jabhat al-Nusra. Mereka pernah mengeksekusi dua orang perempuan di dekat Kota Sarmin pada Desember 2014 lalu dengan cara dilempari batu sampai meninggal.

FSP kemudian jadi organisasi yang rapuh. Al-Nusra diketahui turut memilih orang-orang baru yang masuk di FSP. Ada kasusseorang anggota Al-Nusra menyamar menjadi anggota FSP dan selama dua bulan berhasil mengelabuhi ASI dengan meminta bayaran sebagai personel FSP lain.

Kasus-kasus ini otomatis membuat pemerintah Inggris segera menutup sementara kanal penyaluran sumbangan warga kepada FSP lewat ASI. Dalam pernyataan yang dikutip BBC News, juru bicara pemerintah Inggris akan mengambil kebijakan investigasi dan tindakan hukum yang diperlukan untuk menanggulangi kasus kerja sama FSP dengan organisasi teroris maupun yang terlibat dengan tindak-tindak pelanggaran hak asasi manusia.

Bukan Kecolongan yang Pertama

Pada Juli 2012 Amber Rudd selaku Sekretaris Departemen Dalam Negeri Inggris melaporkan bahwa warga di negaranya telah menyalurkan ratusan ribu poundsterling tiap tahun kepada ekstremis atas nama donasi. Asalnya rata-rata dari donasi publik tanpa nama. Rudd bahkan berani mengklaim kanal ini menjadi pemasukan utama bagi bersenjata itu, demikian tulis Independent.

Pihak-pihak yang dimaksud Rudd tidak hanya orang-orang yang bersimpati dengan kelompok-kelompok bersenjata lalu mengirimkan dana agar kelompok tersebut bisa tetap beraktivitas. Namun juga warga yang mengira bahwa sumbangannya ditujukan untuk bantuan kemanusiaan di Timur Tengah.

Baca juga: Kisah Pilu Ibu Kombatan ISIS dari Eropa hingga Amerika Utara

Beberapa pihak menganggap laporan Rudd sebagai tindakan politis yang menekan orang-orang Islam di Inggris. Tuduhan ini dipicu oleh latar belakang Rudd sebagai politikus konservatif. Selama ini Rudd dan barisan pendukungnya memang getol mempromosikan kebijakan-kebijakan anti-terorisme dan anti-radikalisme yang lebih sering menyasar generasi muda Inggris.

Meski demikian, dua tahun sebelum bicara kepada media, kepala Charity Commision William Shawcross melaporkan kasus serupa. Dilaporkan Telegraph, Shawcross membeberkan sejumlah uang dari donasi kemanusiaan warga Inggris untuk pemulihan krisis di Suriah lari ke kantong kelompok-kelompok bersenjata. Kondisi berbahaya di lapangan akibat eskalasi konflik yang meluas saat itu membuat tak hanya pihaknya, akan tetapi juga organisasi pengumpul dana bantuan kemanusiaan lain, kesusahan memastikan sumbangan sampai ke tangan yang tepat.

"Banyak uang terkumpul yang menuju ke Suriah, beberapa di antaranya pasti masuk ke kelompok bersenjata. Sangat sulit bagi semua organisasi untuk memastikannya," ujar Shawcross.

Infografik Donasi Mengalir ke kantong ektrimis

Manuver Curang Ekstrimis Somalia, Pakistan, hingga Filipina

Ketakutan serupa mengemuka pada Desember 2016 kemarin, menurut The Sun, yang merilis dokumen bahwa donasi senilai setengah miliar poundsterling dari warga Inggris untuk korban konflik di Somalia ditengarai jatuh ke tangan milisi bersenjata. Dokumen kepunyaan Departemen untuk Pembangunan Internasional sebenarnya bersifat rahasia, namun bocor ke publik. Disebutkan bahwa kelompok bersenjata yang paling mungkin menerima donasi adalah al-Shabaab.

Strategi pendanaan organisasi dengan memanfaatkan derita kaum Rohingya juga ada. Kasusnya diungkap Perserikatan Bangsa-Bangsa akhir September 2017, sebagaimana dilaporkan VOA News, didalangi oleh kelompok teroris yang bermarkas di Pakistan.

Mereka bergerilya di Kota Rawalpindi di Provinsi Punjab untuk menyebarkan selebaran di beberapa surat kabar berisi permintaan sumbangan untuk “Muslim Myanmar yang tertindas” dalam bahasa Urdu. Pihak yang bisa dikontak menurut selebaran adalah Jamaat ud Dawa dan badan amalnya Yayasan Falah e Insaaniyat. Agar lebih dramatis, dalam selebaran juga dipampang foto pria, perempuan, dan anak-anak Rohingya dalam kondisi yang mengenaskan.

Baca juga: Dendam dan Kemiskinan Dorong Pemuda Somalia Jadi Teroris

Kepala Jamaat ud Dawa menyatakan tak ada penipuan dan rekam jejak mereka selama ini tergolong jelas dalam upaya membantu meringankan beban saudara-saudara muslimya. Meski demikian jurnalis investigasi asal Bangladesh yang kenyang meliput seputar Rohingya, Ali Ahsan, berkata pada VOA News bahwa klaim tersebut hanyalah “berita bohong”. Konfirmasi serupa juga dinyatakan jurnalis Bangladesh lain yang tak pernah menemukan dana dengan jumlah besar sebagaimana yang diklaim Jamaat ud Dawa.

Jamaat ud Dawa adalah sayap organisasi kelompok teroris Lashkar-e-Taiba. Lashkar-e-Taiba adalah salah satu grup ekstremis terbesar dan teraktif di Asia Selatan. Mereka kerap melakukan serangan teror di Pakistan maupun India, termasuk dalam penyerangan Mumbai pada 2008 yang menewaskan 164 orang dan insiden penyerangan parlemen India tujuh tahun sebelumnya yang menewaskan total 14 pejabat parlemen termasuk 5 pelaku.

Lashkar-e-Taiba dilarang pemerintah Pakistan sejak enam tahun lalu. Sedangkan Jemaat ud Dawa tak pernah benar-benar dilarang sehingga bisa tetap aktif mengonsolidasikan kekuatan di akar rumput, termasuk mengakali orang-orang lewat proyek dana bantuan palsu.

Baca juga: Suburnya Terorisme Islamis, Tanda Kegagalan Pemerintah Pakistan

Baru-baru ini, tepatnya pada 11 November 2017, The Weekend Australian merilis laporan yang menarik: pemerintah Australia memperkaya Mohammad Khayam Maute, salah satu dari tujuh orang berpengaruh di kelompok pemberontak Maute yang bertanggung jawab dalam pengepungan Kota Marawi, Filipina.

Mohammad Khayam sedianya bertugas untuk membangun sekolah, laboratorium sains, dan perpustakaan di Daerah Otonomi Muslim Mindanao, Filipina Selatan, dalam sebuah kontrak yang dananya berasal dari Australian Agency for International Development atau AusAID. Kontrak ini kontroversial, terutama bagi pemerintah Filipina, yang selama ini kesusahan meredam bara perlawanan dari kelompok Maute.

Proyeknya sudah berjalan sejak 2012 dan total nilai proyeknya sebesar $12,7 juta, sehingga bisa dibayangkan berapa keuntungan yang diperoleh Mohammad Khayam. Kontroversi ini membuat Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menghentikan proyek tersebut pada bulan Maret kemarin, tepatnya saat berkunjung ke Mindanao. Dalam kesempatan tersebut ia bertemu dengan para penerima manfaat dari proyek AusAID.

Di dalam negeri, publik Australia mempertanyakan komitmen pemerintahnya dalam upaya menjaga perdamaian regional. Mindanao tak hanya menjadi wilayah yang menjadi pusat konflik internal Filipina selama berdekade-dekade, akan tetapi juga tempat latihan teroris di Asia Tenggara, termasuk pelaku bom Bali, demikian catat The Weekend Australian.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SURIAH atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS