tirto.id - Umm Majed (bukan nama sebenarnya) salah satu dari jutaan warga Suriah yang memilih meninggalkan Suriah akibat perang yang berlangsung sejak tahun 2011. Tahun lalu Umm memutuskan untuk lari ke Jerman bersama dua anaknya sementara suaminya masih tertinggal di kota Damaskus.
“Saya memutuskan untuk meninggalkan Suriah karena perang, yang menyebabkan kurangnya stabilitas, juga ketakutan akan kematian. Suami saya menolak untuk pergi, terlepas dari kesulitan yang ia hadapi di sana,” kata Umm kepada DW.
Sejak pecah perah di Suriah, banyak yang juga terpisah dari keluarganya. Menurut data badan PBB yang menangani pengungsi dunia (UNHCR), sekitar 5 juta warga Suriah lari meninggalkan negara tersebut. Ada yang menuju ke Lebanon, Turki, Yordania, Jerman dan negara Eropa lainnya. Ada juga yang memilih menjadi pengungsi internal. Jumlah mereka sekitar 6,3 juta orang.
Baca juga: Rusia yang Habis-habisan demi Suriah
Turki menampung sekitar 2,9 juta pengungsi asal Suriah, sedangkan Yordania menampung lebih dari 660 ribu laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sekitar 241 ribu lainnya di kamp pengungsi Mesir dan ratusan ribu hingga jutaan lainnya berada di negara-negara Eropa hingga negara Amerika Utara seperti Kanada.
Keinginan untuk Kembali ke Suriah
Saat melarikan diri dari perang, Umm bertekat untuk tak kembali lagi ke Suriah. Setelah satu tahun hidup di pusat penampungan di Berlin, Umm berubah pikiran dan kini berniat untuk kembali ke Suriah. Baginya Suriah adalah rumahnya dan di sana masih ada suaminya yang berada di kota Damaskus. Keinginan untuk bertemu sang suami serta keluarga lainnya menjadi alasan Umm untuk kembali ke Suriah.
Umm lalu menginformasikan keinginannya kepada polisi Jerman dan membeli tiket pesawat menuju ke Beirut, Lebanon. Memilih Beirut sebagai pintu masuk ke Suriah karena Beirut adalah kota yang paling dekat dengan Damaskus jika dibandingkan dengan kota lainnya.
Tak hanya Umm yang memiliki hasrat untuk kembali ke rumah mereka di Suriah. Sebagian besar pengungsi Suriah masih berharap untuk kembali ke rumah mereka. Sepanjang tahun 2017 berjalan, hampir 500 ribu pengungsi Suriah telah kembali ke rumah mereka.
Sekitar 440 ribu berasal dari pengungsi internal Suriah dan 31 ribu lainnya berasal dari luar negeri. Sebagian besar kembali ke Aleppo, Hama, Homs dan Damaskus. Sebagian besar mereka yang kembali ke rumah untuk memeriksa properti mereka, mencari tahu tentang anggota keluarganya.
Baca juga: Pelajar Indonesia Suriah: Konflik Suriah Bukan karena Agama
Dari Lembah Bekaa, Lebanon, beberapa pengungsi Suriah juga berkeinginan untuk kembali, salah satunya Qassim. “Bagi kami, ini sudah terlambat tapi kami ingin anak-anak kami memiliki masa depan di Suriah,” kata Qassim. “Tak ada masa depan di sini (Lebanon).”
Doaa al Zamel, pengungsi Suriah yang kini tinggal di Swedia juga memiliki keinginan untuk kembali. Ia keluar dari Suriah sejak November 2012. Ia menyeberang ke Eropa pada tahun 2014 menggunakan kapal melewati Laut Mediterania bersama lebih dari 500 pengungsi lainnya.
“Saya iri pada pegunungan dan pepohonan dan bebatuan karena mereka masih bisa menghirup udara Daraa [kota di Suriah] dan saya tak dapat melakukan itu.” Perasaan itu terus dirasakan Doaa. Menurut juru bicara UNHCR Melissa Fleming, hingga dengan saat ini, ia belum pernah bertemu dengan seorang pengungsi yang tak ingin kembali ke Suriah.
“Semua pengungsi merindukan kesempatan untuk bisa pulang. Saya berharap suatu hari Doaa bisa pulang ke rumahnya dan tidak sekedar pulang tetapi pulang ke Suriah yang damai, Suriah yang telah direkonstruksi dan Suriah yang didamaikan setelah tindak kejahatan yang berlangsung selama 6 tahun ini,” ujar Melissa.
Tantangan Pengungsi yang Kembali ke Suriah
Memilih kembali ke Suriah, bukanlah perkara mudah dan tak semulus yang diinginkan setiap pengungsi. Umm harus rela berpisah dengan anak lelaki tertuanya yang berusia 14 tahun. Ia kembali ke Suriah dan anaknya menetap di Jerman.
Semua itu ia lakukan demi asa depan anaknya. Menurut Umm, lebih baik anak tertuanya tetap di Jerman untuk mendapat fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik, dibandingkan jika anaknya harus kembali ke Suriah.
Baca juga: Perang Suriah Membuat Anak-Anak Alami Stres yang Berbahaya
Perang yang terjadi menghancurkan segalanya termasuk sekolah dan semua fasilitas pendidikan yang ada. Fasilitas penunjang seperti perpustakaan juga tumpas akibat perang. Umm tentu tak ingin mengambil risiko untuk membiarkan anaknya hidup tanpa pendidikan.
Lembaga PBB untuk urusan anak-anak (UNICEF) mengungkapkan hal senada bahwa dampak dari perang Suriah terhadap anak-anak adalah mereka kehilangan ruang kelas dan guru mereka, saudara, taman bermain hingga rumah mereka. Sekitar 4 juta anak-anak Suriah berusia 5-17 tahun terpaksa tak mendapat pendidikan.
Kondisi Suriah yang “hancur” setelah perang menjadi tantangan besar bagi para orang tua atau orang dewasa yang ingin kembali. Mereka harus memulai semuanya dari nol. Membangun rumah mereka yang rusak, sekolah, rumah sakit, jalan, dan lainnya.
Untuk membangun kembali Suriah seperti masa sebelum perang, termasuk berbagai fasilitas publik, kesehatan hingga pembangunan ekonomi, diperkirakan akan memakan waktu 10 hingga 15 tahun. Akan tetapi, pembangunan Suriah akan memakan waktu lebih lama dari proyeksi di atas jika Suriah tak kunjung damai.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani