tirto.id - Pada 15 Maret 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu, perang saudara di Suriah mulai meletus. Setelah itu, perang ini memicu campur tangan pasukan multinasional. Serangan militer pertama Amerika Serikat ke basis pertahanan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah terjadi pada awal April 2017. Dalam catatan CNN, kapal perang AS menghujani sebuah basis pertahanan udara Suriah dengan misil pada tanggal 6 April 2017 atau sehari usai 80 warga Suriah meninggal akibat sebuah serangan senjata kimia.
Presiden AS saat itu, Donald Trump, menyatakan bahwa pemakaian senjata kimia telah “melanggar banyak batas”. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan pemeriksa senjata kimia internasional menerbitkan laporan (PDF) bahwa Assad bertanggung jawab atas serangan gas sarin. Departemen Luas Negeri AS kemudian juga khawatir dengan penggunaan klorin oleh Assad yang meneror warga Ghouta bagian timur.
Assad membantah tuduhan-tuduhan tersebut dan bahkan menegaskan pemerintahannya tidak memiliki senjata kimia. Assad mendapat dukungan dari Rusia dan Iran. AS yang konsisten meminta Assad turun panggung turut membekingi kelompok-kelompok pemberontak yang sebenarnya sedang kehilangan banyak wilayah kekuasaan dalam beberapa bulan terakhir, catat ABC News.
Dualisme pemain besar dan para pionnya dalam konflik yang sudah meletus sejak 2011 ini kian terang benderang. PBB memperkirakan korban yang jatuh sudah lebih dari 400.000 orang, sementara ratusan ribu lainnya dipaksa mengungsi. AS belum lelah mensponsori tumbangnya Assad, politisi yang telah memimpin dari Damaskus sejak 18 tahun yang lalu itu.
Namun AS dan Suriah tidaklah selalu sebengis sekarang dalam memperlakukan satu dan yang lainnya. Jejak sejarah mencatat hubungan yang terjalin serupa dengan dinamika AS dan negara dunia ketiga lain: kadang mesra, tetapi bisa berubah tegang. Sesekali jadi kawan, di waktu lainnya menyaru jadi musuh.
Periode tahun 1990 hingga 2000 bisa dikatakan sebagai masa kestabilan hubungan Washington dan Damaskus. Sepanjang Perang Teluk pertama (1990-1991) Suriah bekerja sama dengan AS sebagai anggota dari pasukan koalisi multinasional melawan Saddam Hussein, yang manuvernya membawa Irak berseteru dengan tetangga kaya minyak Kuwait.
Suriah pada awal 1990-an memang sudah jadi saingan Irak. Akibat menegangnya hubungan Irak-Kuwait, Suriah merespons dengan wacana menyerang Irak dahulu, demikian dalam catatan Geoff Simons dalam Iraq: From Sumer to Saddam (2003). Rencana ini dibenarkan oleh Kementerian Pertahanan AS, tetapi bisa digagalkan oleh Saddam melalui operasi intelijen.
Proses pembentukan barisan anti-Saddam cukup panjang. Salah satu bagiannya adalah lawatan James Baker ke beberapa negara untuk diajak berkoalisi, termasuk ke Suriah untuk bertemu dengan Presiden Hafez al-Assad—ayah dari Bashar al-Assad.
Hafez memiliki permusuhan personal yang cukup mendalam terhadap Saddam. Ia bahkan mengklaim Saddam telah berusaha untuk membunuhnya dalam beberapa tahun belakangan. Kunjungan Baker disambut baik oleh Hafez yang setuju mendelegasikan 100.000 pasukan Suriah ke pasukan koalisi. Keputusan ini Baker nilai penting untuk memastikan koalisi didukung oleh negara-negara Arab.
Suriah masuk dalam koalisi militer dari total 34 negara, jadi yang terbesar sejak Perang Dunia II. Setelah bertempur selama satu bulan lebih sedikit, mereka menang. Pasukan Irak dipaksa keluar dari Kuwait, meski Saddam masih berkuasa hingga satu dekade lebih.
Hubungan AS dan Suriah tetap membaik setelahnya. Mereka intim berkonsultasi pada Perjanjian Taif yang mengakhiri perang saudara di Lebanon. Pada 1991 Hafez menerima undangan dari Presiden George H.W. Bush untuk menghadiri konferensi perdamaian Timur Tengah serta turut terlibat dalam negosiasi bilateral lanjutan dengan Israel.
Suriah membebaskan sandera-sandera dari Barat yang ditahan di Lebanon selama perang dan mencabut larangan perjalanan yang sebelumnya merugikan orang-orang Yahudi di Suriah. Masuk pada era pemerintahan Bill Clinton, muncul beberapa upaya untuk melibatkan Assad dalam negosiasi perdamaian Timur Tengah. Untuk kepentingan ini, Clinton dan Hafez sempat bertemu di Jenewa pada Maret 2000.
Suriah adalah salah satu negara yang paling sering dipakai AS untuk menculik dan menyekap tawanan di luar teritori negara, untuk kemudian diinterogasi sambil disiksa. Namanya “rendisi luar biasa”. Korban biasanya berstatus sebagai tersangka kasus terorisme.
Meski sempat membantah, rezim George W. Bush nyatanya melakukan aksi ini sepanjang perang melawan teror pasca-serangan 11 September 2001, demikian catat New Yorker. Total korbannya ditaksir mencapai ratusan. Dalam laporan lain oleh Washington Post, ada 51 negara yang dilaporkan berpartisipasi dalam program “rendisi luar biasa” yang dijalankan CIA ini.
Menurut mantan anggota CIA Bob Baer, sebagaimana dikutip New Statesman, masing-masing negara punya spesialisasi sendiri-sendiri terkait apa yang akan dilakukan kepada korban, tergantung keputusan pimpinan,
“Jika Anda menginginkan interogasi yang serius, Anda mengirim seorang tahanan ke Yordania. Jika Anda ingin mereka disiksa, Anda mengirim mereka ke Suriah. Jika Anda ingin mereka hilang—tidak pernah melihat mereka lagi—kirimlah mereka ke Mesir."
Salah satu kasus yang terkenal melibatkan Maher Arar. Arar kelahiran Suriah tapi juga jadi warga negara Kanada. Pada 26 September 2002 ia ditahan oleh petugas imigrasi AS saat mau pulang ke Kanada usai menghadiri liburan keluarga di Tunisia. Selama dua minggu ia diinterogasi dalam kondisi terikat, lalu dikirim ke Yordania, lalu Suriah.
Di Suriah Arar diinterogasi lagi, tetapi kali ini sembari disiksa oleh agen intelijen Suriah selama hampir setahun. Usai dibebaskan ia berbicara kepada BBC News tentang penyiksaan kejam, yang seringkali berupa cambukan memakai kabel logam ke telapak tangannya. Oleh agen intelijen Suriah ia dipaksa menandatangani pengakuan sebagai orang yang punya kaitan dengan Al Qaeda.
Arar bisa dibebaskan berkat intervensi pemerintah Kanada. Pada tanggal 18 September 2006 penyelidikan otoritas Kanada menghasilkan temuan (PDF) yang sepenuhnya membersihkan Arar dari segala tuduhan terkait kegiatan teroris. Arar berjuang dengan menuntut balik pemerintah AS. Hasilnya hanya permintaan maaf secara resmi.
Pelaksanaan program penyiksaan bersama adalah era kemesraan terakhir antara AS dan Suriah. Hubungan keduanya mulai meregang sejak Suriah menolak invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Makin keruh saat Suriah gagal mencegah para pejuang anti-AS menyeberang ke Irak dari Suriah serta menolak mendeportasi pejuang anti-Saddam yang ditahan di Suriah.
Isu lain yang makin menjauhkan keduanya adalah perhatian AS pada intervensi terkait urusan Lebanon, catatan hak asasi manusia Suriah, dan isu program senjata pemusnah massal. Saat Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dibunuh dan pelaku dikaitkan dengan pemerintah Suriah, AS memanggil dubesnya di Damaskus untuk kembali ke Washington.
Ditambah kasus pemboman kedutaan besar AS pada akhir 2006 dan tuduhan mensponsori aksi-aksi terorisme, AS sempat menerapkan sanksi ekonomi ke Suriah. Pemerintahan Barrack Obama sebenarnya ingin memperbaiki situasi, namun perang sipil pecah tahun 2011. Sikap yang diambil pemerintah AS jelas, yakni mendukung kelompok pemberontak dan meminta Assad mengundurkan diri.
Di era Donald Trump situasinya belum banyak berubah, malah bisa dibilang lebih parah. Retorika Trump membuat isu anti-Muslim menghangat di dalam maupun di luar negeri. Intrik dengan Rusia juga bikin komunitas internasional khawatir Perang Dunia III bisa lahir dari kekacuan di Damaskus.
Dalam rentangan sejarah, AS dan Suriah mengalami dinamika bak sedang menumpangi roller coaster alias naik-turun. Misi diplomatik AS berjalan segera setelah mengakui kemerdekaan Suriah pada tahun 1946, atau tahun ketika Suriah benar-benar terbebas dari status wilayah mandat Perancis.
Hubungan normal dijajaki hingga tahun 1957 yakni ketika CIA melancarkan kudeta gagal kepada Presiden Suriah Shukri al-Quwatli. Dubes AS di Damaskus diusir, sementara dubes Suriah di Washington dipanggil pulang.
Perang Arab-Israel tahun 1967 yang diikuti dengan pendudukan Dataran Tinggi Golan juga sukses memperkeruh hubungan keduanya. Baru pada 1974 situasi agak mendingin ketika muncul kesepakatan damai antara Israel dan Suriah. Presiden AS Richard Nixon turut mencairkan ketegangan dengan melakukan kunjungan resmi ke Damaskus.
AS-Suriah bisa disejajarkan dengan AS-Irak. Saddam memang sejak awal 1990-an mengguncang Timur Tengah dan merepotkan AS hingga awal dekade 2000-an. Namun selama Perang Irak-Iran pada 1980-an, misalnya, AS mendukung Saddam Hussein melawan Ruhollah Khomeini. Secara ideologis kebetulan saat itu AS mulai bermusuhan dengan rezim baru Iran pasca revolusi.
Politik penuh kejutan bukan hal yang baru. AS yang kuat secara militer selalu menempatkan diri di atas kepentingan mana yang patut dijajaki, dan yang paling menguntungkan. Boleh jadi pernah mesra, lalu di suatu masa berbalik jadi pihak penebar derita. Hingga saat ini, administrasi Joe Biden pun belum menampakkan tanda-tanda mengakhiri perang di Suriah.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 April 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf