tirto.id - Duta Besar Rusia untuk Ankara ditembak mati dalam sebuah serangan di sanggar seni di ibukota Turki. Serangan dilakukan pada Senin (19/12/2016) oleh seorang pria bersenjata sambil berteriak, "Jangan lupakan Aleppo".
Juru bicara kementerian luar negeri Rusia memastikan kematian Andrei Karlov menandai salah satu dari limpasan paling parah dari perang Suriah ke Turki. Hubungan Rusia dan Turki sejak lama bermasalah atas perang itu, dengan keduanya mendukung pihak berlawanan.
Rusia dan Turki terlibat dalam perang di Suriah, yang berbatasan dengan Turki. Turki menjadi penentang keras Presiden Suriah Bashar al-Assad., sementara Rusia mengerahkan tentara dan angkatan udaranya mendukung pemimpin Suriah tersebut.
Ketegangan meningkat dalam beberapa pekan belakangan saat pasukan Suriah dukungan Rusia berjuang menguasai bagian timur Aleppo, yang memicu aliran pengungsi.
Keterlibatan Rusia di Suriah sudah berlangsung lama. Pada pertengahan Maret lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memutuskan menarik pasukannya dari Suriah setelah hampir tujuh bulan menggelar operasi militer di sana. Keputusan ini mengagetkan, mengingat kehadiran Rusia cukup membantu Presiden Bashar al-Assad dalam merebut kembali wilayah yang diduduki oposisi. Namun, Rusia ternyata tak pernah benar-benar pergi. Mereka masih menyisakan sebagian misil dan pertahanan angkatan lautnya.
Rusia mulai membangun pangkalan udara militer di Khmeimim, Lattakia pada Agustus 2015. Operasi tempur dimulai 30 September 2015, dan kehadiran Rusia menjadi jaminan kemenangan Assad. Dalam waktu enam bulan, pemberontakan di Provinsi Homs, Lattakia dan Hama berhasil diredam. Palmyra yang dikuasai ISIS sudah diblokade selama dua bulan terakhir.
Kemajuan terbesar adalah saat dengan bantuan udara Kremlin, rezim Assad berhasil menutup total pintu masuk menuju Allepo dari Turki pada awal Februari lalu. Kota terbesar di Suriah ini merupakan ibukota oposisi. Di sana pulalah revolusi menuntut Assad pertama kali bergelora.
Blokade masif dari tentara Suriah di darat dan serangan bertubi-tubi Rusia dari udara itu bisa membuat Aleppo direbut kembali dalam waktu pendek. Tetapi, di saat kemenangan sudah di depan mata, Rusia memutuskan pergi dari Suriah secara tiba-tiba.
Biaya Menyokong Suriah Mahal
Ada banyak faktor yang membuat Putin memutuskan hengkang dari Suriah. Jika menilik dari faktor ekonomi, serangan udara yang gencar dilakukan Moskow menelan biaya cukup besar. Lembaga analisa dan riset militer, IHS Jane, memperkirakan pengeluaran Kremlin untuk menyokong Assad selama enam bulan terakhir berkisar $2 miliar, dengan estimasi biaya per bulan mencapai $80 juta sampai 120 juta.
Angka-angka ini mencakup biaya serangan bom, pasokan distribusi, pembangunan infrastruktur pangkalan udara, personel darat, termasuk biaya salvo dari rudal jelajah yang ditembakkan dari laut Mediterania.
Untuk membasmi kelompok oposisi dan ISIS, Putin mengerahkan 73 jet tempur pembom tipe Tupolev dan Sukhoi, serta 20 helikopter tempur tipe Mi-series. IHS melansir, biaya mengudara armada tempur ini berkisar $12 ribu per jam untuk pesawat dan $3.000 per jam untuk helikopter.
Tempo pemboman dengan armada ini di langit berkisar 90 menit per hari bagi pesawat dan 60 menit per hari bagi helikopter. Setiap hari, Moskow menghabiskan sekitar $710 ribu agar armada udara ini bisa menggelar operasi militer di Suriah. Angka itu belum termasuk biaya peluru, rudal, serta bom yang bisa mencapai $750 ribu per hari.
Untuk menerbangkan 4.000 personel militer ke Suriah, Rusia membutuhkan dana sekitar $440.000 per hari. Untuk biaya operasional bagi armada laut yang berjaga di Laut Mediterania dan Kaspia, Rusia mengeluarkan kocek sekitar $200.000. Biaya untuk logistik, intelejen, dan komunikasi mencapai $250 ribu. Jika ditotal, pengeluaran harian Rusia di Suriah mencapai $2,4 juta.
Menurut Ben Moores, analis senior di IHS, angka ini baru estimasi kasar. Biaya riil yang dikeluarkan Moskow per hari bisa mencapai dua kali lipat hingga $4,8 juta. Angka ini tak berbeda jauh dari pengakuan pejabat pertahanan Rusia pada The Moscow Times. Pejabat ini mengaku uang dari Kremlin untuk melindungi Damaskus mencapai $4 juta per hari.
Membuat Barat Kembali Kesal
Selama enam bulan menggelar operasi militer di Suriah sebelum akhirnya memutuskan keluar, Rusia setidaknya sudah melakukan 9 ribu serangan bom. Terlepas dari klaim kesuksesan Kremlin, mereka kini sedang disorot akibat pelanggaran HAM yang dilakukan.
Laporan lembaga independen Syirian Network for Human Rights (SNHR) mencatat bahwa sejak invasi dimulai 30 September 2015 hingga 14 Maret 2016, terdapat 1.984 korban sipil. Di antaranya ada 443 anak-anak dan 286 perempuan. Saat pengeboman terjadi, 85 persen korban berada di wilayah yang bukan area kontak tembak serta bukan bangunan militer. Artinya, armada Rusia sering menyasar sipil.
Dokumentasi NSHR juga mencatat Rusia menyerang tidak kurang dari 235 fasilitas vital sipil, dengan rincian: 52 fasilitas medis (rumah sakit dan ambulans), 47 tempat ibadah, 56 infrastruktur bangunan pribadi sipil (apartemen dan rumah), 47 fasilitas pendidikan, 25 fasilitas umum, 2 pusat kebudayaan, dan 6 kamp pengungsian.
Posisi Rusia dalam kancah politik internasional kini memang disorot. Selain di Suriah, intervensi Putin di konflik Ukraina dengan menganeksasi Krimea dan dukungan senjata bagi para pemberontak di timur Ukraina membuat mereka dikucilkan dunia Barat. Sejak 2014 lalu, koalisi Barat yang dipimpin Uni Eropa dan Amerika Serikat sepakat untuk mengembargo total Rusia di berbagai bidang.
Keputusan Rusia membantu Assad di konflik Suriah pun bisa dianggap sekadar menjadikannya proksi dalam persaingannya dengan Barat. Adagium “musuhmu adalah kawanku” betul-betul diterapkan Putin.
Rusia membantu Assad karena oposisi Assad sebelumnya disokong oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Para penyokong oposisi itu berharap kejatuhan Assad karena secara geografis hal itu akan memutus aliran hubungan Teheran–Hizbullah (Lebanon).
Selama ini, poros Teheran–Damaskus–Beirut ditakutkan mengancam eksistensi si anak emas Amerika Serikat, yakni Israel di Timur Tengah. Kejatuhan Assad diharapkan memberi efek domino pada kejatuhan Iran dan Hizbullah.
Di sisi lain, negara-negara Sunni di Timur Tengah yang dipimpin Arab Saudi tak suka dengan kemajuan Iran sebagai pemimpin negara-negara Syiah. Kekuasaan Iran mengancam hegemoni Saudi di Teluk Persia.
Kepentingan negara-negara Barat menyokong Saudi tentunya berbeda dengan kepentingan Putin mendukung Suriah. Lalu, apa motif sebenarnya Putin menerjunkan pasukan di Suriah? Ditengarai, Rusia ingin menjadikan perang di Suriah sebagai panggung untuk memposisikan diri sebagai kekuatan global, selain untuk menguji kekuatan angkatan perangnya.
Ruang untuk Kembali Dianggap Berkuasa
"Dia menunjukkan kepada dunia bahwa aksi militer yang keras dapat mengubah kebijakan AS, dan memaksa AS untuk memberi Rusia status digdaya yang didambakannya," kata Keir Giles, ahli kebijakan pertahanan Eurasia dari Chatham House, London, kepada Deustche Welle.
Giles menganggap kebijakan Obama-lah yang memungkinkan Putin melenggang masuk ke Suriah. Sikap Amerika yang tak mau secara serius terlibat di perang Suriah membuat kevakuman kekuasaan itu cepat diisi oleh Rusia.
Tony van der Togt, ahli hubungan internasional Rusia dari Clingendael Institute, Den Haag, menilai Rusia memanfaatkan kesalahan AS di masa kepemimpinan George W. Bush yang menginvasi Irak dan Afganistan. Putin memanfaatkan keengganan Obama yang tak mau mengulangi kesalahan Bush di Afganistan dan Irak.
Ahli lain, Mamuka Tsereteli dari Johns Hopkins' School of Advanced International Studies (SAIS), Washington, melihat Putin sukses mengambil jalan berbeda dari AS. Ia mendorong perundingan damai di Swiss. “Putin pergi ke Jenewa dengan memiliki posisi yang kuat,” kata Tsereteli. Putin pun bisa membanggakan diri sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Ini adalah langkah cerdik Putin di tengah rencana agresif Arab Saudi, Turki, serta 18 negara muslim lain untuk menggelar operasi darat “North Thunder” di Suriah Utara. Dengan dalih memerangi ISIS, sebanyak 150.000 pasukan, 2.540 jet tempur, 20.000 tank, dan 460 helikopter, hendak dilibatkan Saudi dkk dalam kecamuk perang Suriah.
Andai operasi ini dilakukan, tentu biaya perang Rusia akan melonjak. Tanpa operasi darat saja, kecamuk perang Suriah masih akan berlangsung lama. Jika Rusia hanya melakukan operasi tempur lewat udara semata, maka kegagalan koalisi AS akan terulang.
Kelompok ISIS dan oposisi memiliki sumber daya yang tak terbatas. "Anda tidak bisa mengalahkan sesuatu yang memiliki sumber cadangan tak terbatas. Setiap tahun, ada lebih banyak orang muda di Timur Tengah bergabung dengan milisi,” ucap Ben Moores, analis dari IHS Jane.
"Rusia melakukan serangan udara hampir setiap hari selama bertahun-tahun, hanya untuk tetap seimbang seperti itu," katanya. "Sebuah kemenangan militer tidak mungkin didapat.”
Rusia sebenarnya bisa memulai operasi darat, tetapi momentum ini tak bisa disamakan saat mereka menginvasi Afganistan pada dekade 1980-an. Selain situasi kawan-lawan yang sulit diterka, kondisi ekonomi Rusia sekarang tak sejaya Uni Soviet di masa itu. Dulu, pendapatan Soviet dari harga minyak yang tinggi dapat disalurkan untuk biaya konflik.
Kehabisan Uang dan Pariwara yang Usai
Tony van der Togt merasa motivasi Putin keluar dari Suriah dan mengkampanyekan perdamaian tak lepas dari faktor uang. Anggaran Rusia berada di bawah tekanan berat karena harga minyak yang rendah dan sanksi internasional.
"Tahun lalu, mereka menggunakan $100 per barel minyak untuk membiayai anggaran negara. Sebanyak 50 persen dari anggaran Rusia berasal dari pendapatan minyak dan gas," katanya. Tapi, situasi perdagangan minyak sudah jauh berbeda sekarang.
Harga minyak sekarang berada di bawah $40 per barel. Rusia pun berada dalam ancaman krisis fiskal. Tahun lalu, Ekonomi Rusia telah menyusut 3,7 persen dan diprediksi akan melemah 1 persen lagi di tahun ini.
"Putin menghadapi pilihan pelik. Dia memerintahkan semua kementerian untuk memotong anggaran sebesar 20 persen, dan anggaran militer sebesar 5 persen," kata van der Togt. Bagi kalangan militer, ini sangat mengagetkan karena bakal menjadi pemangkasan terbesar di bidang pertahanan sejak Putin menjabat pada 2000.
Selain itu, Putin pun merasa unjuk kekuatan yang dia lakukan di Suriah harus segera diakhiri. Leonid Bershidsky, seorang jurnalis ekonomi kenamaan di Rusia dalam kolomnya di Bloomberg memaparkan analisa menarik.
Dari awal, Kremlin memang sudah merencanakan operasi di Suriah akan berlangsung sebentar. Tujuannya adalah untuk menguji coba kekuatan perang dan pamer teknologi senjata baru.
Dalam hal pengalaman perang, sejak Uni Soviet bubar 1991, Rusia lebih banyak berperang di wilayah sendiri atau bekas jajahannya. Kesempatan militer untuk show off pun otomatis terbatasi.
Karenanya, operasi skala besar atau peperangan hibrida tak pernah Rusia lakukan. Lawan mereka hanyalah gerilyawan Chechnya. Dukungan untuk kelompok separatis Ukraina dan invasi ke Georgia pada 2008 silam bagi jenderal-jenderal Rusia adalah perang yang kelewat mudah.
Selain unjuk kekuatan, perang berskala besar juga merupakan kesempatan emas untuk menunjukkan persenjataan baru pada calon pembeli. Contohnya adalah saat Rusia berhasil menguji coba rudal jelajah 3M-14 dari laut Kaspia menuju Suriah, yang jaraknya lebih dari 1.500 km. Berdasarkan perjanjian internasional, jika tak dipakai untuk perang, rudal hanya boleh dipakai untuk radius maksimal 300 km.
Di Suriah jugalah pesawat jet Sukhoi SU-30 dan SU-35S mencicipi medan perang sesungguhnya. Dua jenis pesawat tempur ini sudah dijual ke 11 negara, termasuk Indonesia.
Jika membandingkan jumlah operasional yang terlibat di Suriah, angka itu tak sebanding dengan operasi militer Rusia di Georgia yang hanya melibatkan 9.000 tentara, 500 tank dan 200 pesawat tempur.
Dalam soal publisitas, Rusia pun telah meniru AS. Kini mereka rajin mendokumentasikan kesuksesan peluncuran rudal dan serangan bom. Rekaman-rekaman itu kemudian rutin diposkan pada laman Facebook dan Twitter dalam berbagai bahasa.
Namun, semua unjuk dan promosi kekuatan militer itu sekarang sudah dianggap menghabiskan terlalu banyak biaya. Dana $2,2 miliar di Suriah memang masih terasa kecil saat dibandingkan dengan anggaran anggaran militer Rusia 2015 lalu sebesar $50 miliar. Tapi, jika menilik dari nilai ekspor militer Rusia pada 2015 sebesar $15,5 miliar, maka “biaya promosi” di Suriah sebesar $2,2 miliar atau mencapai 14 persen penjualan itu bisa dianggap kelewat besar. Wajar jika Putin memilih setop dan pergi.
Apalagi, operasi darat North Thunder yang diwacanakan Arab Saudi, dkk, diperkirakan menyedot anggaran yang lebih besar lagi. Selain biaya akan membengkak, perang dengan koalisi negara Islam hanya akan membuat kondisi keuangan Rusia melemah. Selama ini, ekspor Rusia menuju negara-negara koalisi Arab Saudi pada 2014 saja mencapai $28 miliar atau setara 8,4 persen dari total ekspor sebesar $331 miliar.
Angka ini belum termasuk ekspor industri militer. Pada eksibisi “International Aviation and Space Show MAKS-2015” yang digelar di Moskow tahun lalu, Putin mengklaim dirinya berhasil mendapat kontrak jangka panjang dengan lebih dari 60 negara untuk kelengkapan pertahanan. Kontrak jangka panjang itu bernilai lebih dari $50 miliar.
Hampir 30 persen pemesan itu adalah negara-negara Islam koalisi Arab Saudi seperti Mesir, Al-Jazair, Qatar, Pakistan, Tunisia, dll. Hal ini sejalan dengan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 2014. Selain ke negara-negara Timur Tengah, alutsista militer Rusia terjual ke India (40 persen), Vietnam (10 persen), dan Cina (5 persen).
Putra Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman, pada Juni 2015 mendatangi Putin dan mengikat kerja sama militer senilai $10 miliar untuk 5 tahun ke depan. Saudi pun merencanakan kerja sama nuklir dengan Rusia senilai $30 sampai $40 miliar.
Kremlin tentunya tak ingin dana besar ini hilang. Industri pertahanan Rusia menaungi lebih dari 2,5 juta pekerja serta mencakup 20 persen dari semua pekerjaan manufaktur. Berlama-lama di Suriah hanya akan membuat keuangan dalam negeri jadi kacau. Oleh karenanya, masuk akal jika iklan Rusia di Suriah diakhiri dua pekan lalu.
Selama hampir tujuh bulan, Sang Beruang sudah cukup menunjukkan ototnya ke hadapan dunia sebagai negara digdaya sekaligus mempromosikan dagangan militernya. Meski demikian, pariwara itu dibayar cukup mahal dengan kematian 1.984 orang.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti