tirto.id - Ketika mereka diajak bernyanyi, mereka hanya diam tanpa merespons. Tak ada tawa di wajah mereka. Ketika menggambar, mereka akan menarik garis dan menggambar anak-anak dalam perang atau tank atau menggambar tentang pengepungan dan kekurangan makan. Mereka adalah anak-anak Suriah.
Perang Suriah yang sudah berlangsung lebih dari enam tahun ini telah membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, keluarga, pekerjaan dan anak-anak harus berhenti ke sekolah karena gedung sekolah yang hancur.
Perang yang terus terjadi menyebabkan jutaan anak Suriah dilaporkan hidup dalam tingkat stres yang berbahaya, menurut laporan lembaga Save the Children. Dalam laporannya yang berjudul Invisible Wound, organisasi nonpemerintah ini menyebutkan bahwa terjadi krisis kesehatan mental yang mengerikan terjadi pada anak-anak Suriah.
Emosi Terganggu
Laporan Save the Children tersebut merupakan hasil studi terhadap 450 orang di tujuh wilayah dari 14 wilayah yang ada di Suriah. Orang-orang tersebut meliputi anak-anak dari berbagai usia, orangtua, pengasuh, pekerja sosial dan guru.
Save the Children menemukan bahwa hampir semua anak dan 84 persen orang dewasa mengatakan pengeboman dan berondongan peluru adalah penyebab utama stres pada anak-anak. Selain itu, sebagian anak-anak mengalami lebih dari satu kali kejadian traumatis seperti terluka, kehilangan orang yang dicintai hingga kehilangan rumahnya karena perang.
Sekitar 71 persen yang diwawancarai Save the Children mengungkapkan bahwa anak-anak semakin sering mengompol atau kencing tanpa sadar. Yang menurut laporan, itu adalah gejala dari toxic stress dan post-traumatic stress disorder (PTSD).
Ada juga anak-anak yang dilaporkan kehilangan kemampuan berbicara atau mulai mengalami kesulitan berbicara sejak pecah perang di Suriah. Sedikitnya sekitar tiga juta anak di bawah usia 3 tahun tak mengenal apa-apa selain perang. Perang yang tak kunjung berakhir itu membuat anak-anak selalu dirundung duka dan kesedihan yang sangat mendalam.
Tekanan emosional anak-anak Suriah semakin diperparah karena kurangnya makanan, air bersih dan perawatan medis. Alexandra Chen dari Child Protections and Mental Health Specialist di Harvard University mengungkapkan, anak yang berulang kali mengalami peristiwa traumatis yang ekstrem dapat menempatkannya pada risiko yang tinggi mengalami toxic stress.
Mempengaruhi Otak
Stres sesungguhnya adalah reaksi normal tubuh terhadap sesuatu yang mengganggu kehidupan. Anak-anak pun dapat dilanda stres dalam proses tumbuh dan belajar. Namun, stres yang berlebihan pada anak menyebabkan efek negatif dalam jangka panjang karena selain mempengaruhi emosi anak-anak, ia juga menyebabkan beberapa bagian otak overdeveloped, sedangkan bagian lainnya terbelakang.
Terdapat tiga respons stres pada manusia menurut Center on the Developing Child Harvard University. Mulai dari positive stress response, tolerable stress response, dan toxic stres response. Positive dan tolerable stress masih berada dalam taraf aman, sedangkan toxic stress adalah yang paling buruk.
University of Georgia Extantion memaparkan dampak dari toxic stress pada anak-anak. Yang pertama adalah koneksi sinaptik yang minim. Anak yang hidup dengan stres yang berkepanjangan memiliki kesempatan yang minim untuk berlatih mengambil keputusan, memecahkan masalah dan keterampilan berpikir lainnya untuk memperkuat neuron.
Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat menyebabkan fungsi keterampilan eksekutif menjadi terbelakang yang kemudian menyebabkan kesulitan untuk bersekolah, kesulitan dalam hubungan atau relasi, memiliki masalah perilaku dan tantangan lainnya.
Kedua, persistent hyper-arousal. Ketika seorang anak mengalami stres, batang otak, otak kecil, dan sistem limbik akan sangat aktif bekerja. Bagian otak tersebut akan mengontrol pengelolaan emosi. Maka, anak-anak cenderung akan menyerang dengan agresif ketika ada ancaman. Bahkan jika “ancaman” itu hanyalah seperti disenggol teman.
Akibat yang ketiga adalah mengurangi kemampuan anak-anak dalam proses belajar. Anak yang hidup dengan toxic stress fokus pada kelangsungan hidup mereka dan sering tidak memiliki energi tersisa untuk berkonsentrasi dan belajar. Ujungnya, mereka tentu akan tertinggal soal pelajaran.
Dampak Saat Dewasa
Penelitian selama dua dekade terakhir menegaskan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak akan dibawa hingga dewasa. Buku Robin Karr-Morse dan Meredith Wiley berjudul Ghost of the Nursery memaparkan bagaimana mereka yang melakukan tindakan kriminal, jika dilihat ke belakang ke masa kecilnya, mereka adalah anak-anak yang hidup dalam tingkatan stres yang tinggi.
Meskipun ketika tumbuh dewasa mereka tidak melakukan tindak kekerasan, anak-anak yang tinggal di lingkungan toxic stress tetap akan terkena dampak dari hal yang mereka alami di masa kecil. Bahkan, mereka akan akan dirasakan seumur hidup: mudah terserang penyakit seperti kanker, tekanan darah tinggi, atau jantung.
“Hal ini mungkin memiliki dampak seumur hidup dan menghancurkan kesehatan mental dan fisik anak-anak ini, mengganggu perkembangan otak dan organ lain dan meningkatkan risiko penyakit jantung, penyalahgunaan zat, depresi, dan gangguan kesehatan mental lainnya saat dewasa,” kata spesialis perlindungan anak dan kesehatan mental di Harvard University, Alexandra Chen.
Maka, toxic stress pada bayi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan sosial emosi, mental, perkembangan otak, tapi juga pada fungsi-fungsi tubuh hingga mempengaruhi mereka di saat dewasa nanti.
Masalah ini tentu akan berpengaruh pada masa depan generasi di Suriah. Menyembuhkan mental dan psikis anak-anak yang rusak membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin seumur hidup mereka. Memperbaiki keadaan mental anak tak bisa selekas perbaikan rumah atau sekolah yang rusak akibat bom dan mortir.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani