Menuju konten utama

Kisah Pilu Ibu Kombatan ISIS dari Eropa hingga Amerika Utara

Ribuan anak muda dari berbagai negara pergi membela ISIS di Suriah, mati, dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi ibu meraka.

Kisah Pilu Ibu Kombatan ISIS dari Eropa hingga Amerika Utara
Militan ISIS di Tel Abyad, Suriah (2/1/2014). FOTO/REUTERS/Yaser Al-Khodor

tirto.id - Christine Boudreau, ibu paruh baya asal Calgary, Kanada, menghabiskan waktu senggangnya untuk melihat video-video yang dipublikasikan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sepanjang tahun 2013, ia duduk berjam-jam di depan layar komputer dan menyaksikan para kombatan muda menyanding senjata besar, aksi baku tembak, hingga eksekusi mengerikan seperti pemenggalan kepala "si kafir".

Boudreau bukannya sedang iseng. Tujuan utamanya ialah kesempatan melihat lagi anak lelakinya, Damian, yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, dan tak terdengar lagi kabarnya.

Kepada reporter New York Times Magazine Julia Ioffe, Boudreau menceritakan tragedi yang terjadi pada anaknya bermula saat Damian berusia 17 tahun. Usai dirawat di rumah sakit akibat percobaan bunuh diri, Damian menemukan cahaya iman Islam melalui perkenalannya dengan Al-Qur'an. Boudreau menghormati pilihan anaknya dan sedikit banyak bersyukur. Sebab, Damian kembali bekerja, mau bersosialisasi lagi, dan pembawaannya berubah jadi lebih tenang.

Namun, sejak 2011 Damian makin konservatif. Ia tak ikut makan bareng jika di meja ada minuman anggur. Boudreau diminta untuk mencari "imam" yang akan memimpinnya lagi dalam bahtera rumah tangga (ayah Damian telah lama meninggal), dan membolehkannya turut serta dalam praktik poligami.

Boudreau paling khawatir jika Damian menyinggung soal membunuh sebagai tindakan yang diperbolehkan. Kecurigaannya meningkat saat Damian terlihat sering menelepon teman-temannya secara diam-diam di luar rumah.

Pada musim panas 2012 Damian pindah ke sebuah apartemen yang terletak di atas masjid kota Calgary bersama teman-teman muslimnya. Bulan November, saat konflik di Suriah makin panas, Damian pamit ke ibunya jika dirinya mau belajar bahasa Arab di Mesir.

Setahun berselang, dua agen intelijen Kanada memberi kabar mengejutkan: Damian tak pernah menetap di Mesir, alih-alih bergabung dengan kelompok Jabhat al-Nusra, cabang al-Qaeda.

Meski sepenggal-sepenggal, komunikasi keduanya masih lumayan lancar hingga pada suatu saat ISIS sukses mengalahkan al-Nusra dan membawa Damian turut serta. Pada 14 Januari 2014 seorang reporter memberi peringatan pada Boudreau jika sebuah cuitan di Twitter mengatakan bahwa Damian telah dieksekusi oleh Tentara Pembebasan Suriah di Haritan, dekat Allepo. Hati Boudreau terluka dalam hingga saat ini, atas kematian anak yang amat ia sayangi.

Boudreau larut dalam depresi. Ia menangis sepanjang hari dan tak bisa tidur nyenyak. Kisah pedih yang ia ceritakan pada orang-orang terdekat dan para reporter kerap diiringi buliran air mata yang jatuh membasahi pipi. Dalam kondisi yang demikian, Boudreau tiba-tiba tersadar; ia tak ingin para ibu lainnya mengalami hal yang sama. Boudreau pun mendirikan organisasi dengan aktivitas utama menyebarkan ide deradikalisasi bagi anak-anak muda muslim di Kanada.

Baca juga: Pesan Intoleransi Bertebaran di Media Sosial

Pada suatu hari Boudreau dihubungi oleh seorang perempuan asal Denmark bernama Karolina Dam yang ternyata bernasib sama. Anak lelaki Dam, Lukas, pergi ke Suriah selama tujuh bulan dan kemudian diberitakan terluka di Allepo. Dam yakin, berita itu adalah berita kematian Lukas, sebab sejak saat itu tak ada lagi kabar dari anaknya. Keyakinan Dam benar adanya; seorang asing menghubungi Dam melalui nomor Lukas, mengabarkan bahwa Lukas telah tinggal nama.

Dam hanya permulaan. Setelahnya Boudreau dihubungi oleh ibu-ibu lain yang juga ditinggal anaknya pergi "berjihad".

Ada Torril, ibu asal Norwegia yang anaknya, Thom Alexander, direkrut ke Suriah. Adik Thom, Sabeen dan Sara, pernah dikirim ibunya ke sebuah stasiun di Oslo untuk menemui perekrut kombatan muda ISIS yang berjanji memberikan kabar Thom. Tak disangka, si perekrut menunjukkan foto Thom yang ditembak di bagian kepalanya dengan salah satu bola matanya sudah copot dari kelopaknya.

Saliha Ben Ali, ibu asal Brussels, Belgia, lahir dari orang tua imigran asal Moroko dan Tunisia. Pada Agustus 2013 anak laki-lakinya Sabri meninggalkan rumah tanpa pamit untuk berjuang di Suriah. Sabri juga akhirnya meregang nyawa. Hari kematiannya bersamaan dengan sakit perut yang dirasakan Ben Ali sepanjang hari. Ben Ali menganggapnya sebagai sinyal kematian yang datang melalui rahim yang dulu pernah ditinggali Sabri.

Infografik Radikalisasi

Kombatan Muda Berkulit Putih

Sejak perang sipil Suriah pecah lima tahun silam ada kurang lebih 20.000 pejuang dari berbagai negara yang bergabung dengan berbagai kelompok ekstremis Islam di Suriah dan Irak. Tiga ribu di antaranya berasal dari kawasan Eropa dan Amerika Utara. Sementara itu, menurut catatan AFP, terhitung dua tahun silam jumlah penduduk Eropa yang bergabung dengan ISIS berjumlah sekitar 4.000 orang.

Dalam laporan Simon Cotte untuk The Atlantic, disebutkan ada lebih dari 550 perempuan kulit putih yang telah menjadi ibu bagi anak-anak kombatan ISIS sekaligus ditugaskan untuk mendidik si anak jadi “singa” berikutnya. Mereka berkontribusi sesuai keahlian dan kemampuannya untuk ISIS. Selain motivasi, latar belakang mereka juga beragam. Mulai dari mantan penyanyi rap, pekerja kantoran, hingga murid sekolah menengah atau mahasiswa dengan bakat terpendam.

Baca juga: Sulitnya Merontokkan Radikalisme

Belgia adalah negara Eropa yang paling banyak memiliki warga di ISIS. Jumlahnya mencapai ratusan, tetapi angka pastinya tak diketahui. Peneliti independen Pieter Van Ostaeyen menyatakan pada The Atlantic bahwa per 2015 warga Belgia yang pergi ke Irak dan Suriah ada 516 orang atau lebih banyak dari perkiraan pemerintah Belgia.

David Thomson, penulis buku “The French Jihadists,” berkata pada CNNbahwa ada banyak alasan mengapa banyak pemuda muslim Perancis yang menjadi radikal hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke Suriah atau Irak.

“Frustasi karena agama, frustasi karena perkara material, merasa berdosa karena tinggal di Perancis, hingga keinginan untuk ambil bagian dalam momen bersejarah dan mati saat berjuang bersama koalisi,” jelasnya.

Kembali mengutip laporan panjang Julia Ioffe, yang dimuat di Highline Huffington Post, ahli deradikalisasi asal Jerman Daniel Koehler menjelaskan bahwa para perekrut calon jihadis ISIS di Eropa punya teknik propaganda yang sama dengan perekrutan kelompok neo-Nazi dan grup-grup sejenis. Anak muda disasar biasanya adalah anak muda usia galau alias sedang dalam pencarian identitas dan jati diri, dengan kata lain, mereka ditawari arah hidup terpadu, yakni berjuang di jalan Allah.

Anak muda juga jadi motor serangan teror yang terjadi di Eropa dalam beberapa tahun belakangan. Terduga pelaku serangan di Barcelona, Younes Abouyaaqoub, berusia 22 tahun. Terduga teroris yang ditembak mati polisi di Cambrils berusia antara 17-24 tahun. Tersangka teroris Finlandia adalah pemuda Maroko berusia 18 tahun. Penyerang di Manchester Arena berusia 22 tahun. Demikian juga dalam teror bom London pada 7 Juli 2005 silam, pelaku berusia di bawah 20 tahun.

Baca juga: Menjaga Kegiatan Rohis Sekolah dari Radikalisme

Koehler menemukan kesamaan dalam kasus Boudreau dan ketiga ibu lain yang membuat proses perekrutan melalui kelompok pengajian lebih mudah: absennya figur sang ayah, baik secara harafiah maupun absen dalam artian minim kedekatan emosional. Setelah sukses dicuci otak, lanjut Kohler, berturut-turut sang calon kombatan muda mengalami tiga hal berikut.

Pertama, korban propaganda menampakkan euforia. Ia merasa telah memahami dunia serta menemukan makna hidup: berjuang untuk idealisme yang dipropagandakan, misalnya, khilafah Islam. Ia lalu mencoba meyakinkan orang-orang terdekat untuk peduli dengan perjuangannya dengan cerita-cerita hiperbolis tentang, misalnya, penderitaan orang-orang Suriah.

Kedua, korban merasa frustasi karena keluarga dan temannya menolak idealisme yang diusungnya. Lalu muncullah konflik akibat perbedaan tafsir seputar pakaian, alkohol, musik, dan sebagainya. Di titik ini korban akan mendapat pengaruh dari para perekrut bahwa satu-satunya cara untuk memperjuangkan keyakinan si korban adalah meninggalkan rumah. Hijrah jadi elemen terpenting untuk membuktikan iman serta menjaganya.

Ketiga, atau tahap terakhir, korban melakukan persiapan fisik (bela diri) sambil menjual barang-barang pribadi atau milik orang-orang terdekat. Ia akan benar-benar berangkat ke medan perang saat modal perjalanannya cukup dan rasa frustasinya memuncak:

“Satu-satunya solusi atas masalah ini adalah kekerasan,” ujar benak sang korban.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SURIAH atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf